ANALISA
MENGAPA ACEH MEMILIKI BANYAK PARTAI
Karena Aceh
saat ini merupakan daerah yang memiliki kekhususan, yang mempunyai
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Dalam perjanjian damai (MoU Helsinki),
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Aceh
bisa mengurus segala hal yang diberikan Pemerintah Pusat. Kecuali beberapa hal
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan pemerintahan yang
bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama
Pendirian partai politik lokal tersebut
mengacu pada kesepakatan bersama bahwa bangsa Indonesia masih ingin
bersatu. Wilayah NKRI untuk sementara
waktu adalah bentuk yang paling ideal bagi negara kita. Untuk itu sebaiknya pendirian partai politik
lokal tidak seharusnya diperbolehkan untuk berlaga di tingkat pemilihan umum
nasional. Partai-partai politik lokal
tersebut tidak seharusnya mengidentifikasikan dirinya dengan suatu etnis,
agama, kepercayaan, maupun golongan masyarakat tertentu ataupun menggunakan
symbol-simbol kedaerahan yang memicu perbedaan diatas persatuan. Partai-partai ini akan memberikan saluran
bagi terwujudnya partisipasi rakyat di tingkat daerah. Walaupun begitu partai-partai politik
nasional masih tetap diperbolehkan untuk berlaga di daerah.
Dalam konteks perpolitikan
internasional, pendirian partai politik lokal masih merupakan polemik, baik
untuk tataran nasional maupun internasional.
Keberadaan partai politik lokal atau local
political party di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris
merupakan bentuk perpanjangan dari partai-partai politik berbasis nasional.
Sedangkan dalam konteks Indonesia, pendirian partai politik menurut
Undang-Undang Partai Politik Nomor 31/2002 pada prinsipnya harus melalui
Departemen Hukum dan Perundang-undangan dan HAM dengan pertimbangan masak-masak
terhadap dampak pada kedaulatan negara dan bangsa Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh Todung Mulya
Lubis (2003) mengatakan bahwa,
“wacana pemilu pernah muncul gagasan untuk
pemilu lokal di mana partai politik lokal bisa turut serta. Partai lokal bisa
saja merebut posisi Gubernur, Bupati, dan DPRD sebelum kelak ikut dalam pemilu
nasional. Tetapi, gagasan ini ditolak mentah-mentah elite politik di Jakarta
sehingga pemilu lokal dan partai lokal tak mungkin diadakan. Jadi, seandainya
GAM bersedia mentransformasi dirinya menjadi partai politik maka sistem politik
yang ada tak mungkin mengakomodasinya. Lagi-lagi ketakutan dominan adalah
runtuhnya negara kesatuan.”
Kompas, 4 September 2003
Oleh Todung Mulya Lubis
Apabila koridor
penyusunan RUU PA adalah NKRI, maka hak mendirikan partai politik lokal juga
berlaku di daerah lain. Alangkah lucunya
apabila otonomi daerah yang diberlakukan sekarang pada akhirnya akan menjadi
otonomi daerah yang “pilih kasih”.
Disini kunci peran pemerintah pusat untuk menjadi agen pemersatu daerah
bukan sebaliknya. Mengenai hal ini, mantan presiden Habibie berpendapat
bahwa, “Jika ada parpol lokal di Aceh,
maka harus ada juga di daerah lain, supaya tidak ada kecemburuan,” ketika
menerima anggota Pansus RUU PA beberapa waktu yang lalu. Sependapat dengan Bapak Habibie, hendaknya
pembahasan mengenai pendirian partai politik lokal di Aceh juga harus
mengantisipasi akan adanya gelombang reaksi daerah yang menuntut hak pendirian
partai politik lokal.
Pendirian partai politik lokal akan memunculkan masalah baru, itu
jelas. Akan tetapi itulah arti dari
demokrasi untuk rakyat sesungguhnya.
Jeda antara rakyat dan pemerintah akan terjembatani melalui institusi
politik yang tersedia dekat dengan. Tak
pelak, pendirian partai politik lokal menjadi suatu pilihan yang sukar untuk
dihindari oleh bangsa Indonesia. Apalagi
kita bukanlah negara bermaksud mengisolasi diri dari pergaulan bangsa-bangsa
yang mengatakan dirinya “beradab” di dunia.
Negara kita membutuhkan pengakuan bahwa kita adalah bangsa yang dapat
dipercaya, salah satunya adalah dengan meluluskan salah satu butir kesepakatan
Helsinki mengenai pendirian partai politik lokal dalam RUU PA dengan
pertimbangan dan mekanisme peraturan yang jelas dan tegas.
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat dengan
pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan
Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai
lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.
Pemerintahan
Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa. Perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi.
Ketahanan
dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan
syari’at Islam yang melahirkan
budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya
implementasi formal penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at Islam
dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada
di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah
sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan
Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN
4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh
Merdeka yang ditandatangani
pada tanggal 15 Agustus2005 dan merupakan suatu
bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi,
serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
No comments:
Post a Comment