Monday, April 11, 2016

ANALISA MENGAPA ACEH MEMILIKI BANYAK PARTAI (BAHAN MAKALAH ILMU POLITIK)

ANALISA MENGAPA ACEH MEMILIKI BANYAK PARTAI

Karena Aceh saat ini merupakan daerah yang memiliki kekhususan, yang mempunyai Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Dalam perjanjian damai (MoU Helsinki), antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Aceh bisa mengurus segala hal yang diberikan Pemerintah Pusat. Kecuali beberapa hal yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama
Pendirian partai politik lokal tersebut mengacu pada kesepakatan bersama bahwa bangsa Indonesia masih ingin bersatu.  Wilayah NKRI untuk sementara waktu adalah bentuk yang paling ideal bagi negara kita.  Untuk itu sebaiknya pendirian partai politik lokal tidak seharusnya diperbolehkan untuk berlaga di tingkat pemilihan umum nasional.  Partai-partai politik lokal tersebut tidak seharusnya mengidentifikasikan dirinya dengan suatu etnis, agama, kepercayaan, maupun golongan masyarakat tertentu ataupun menggunakan symbol-simbol kedaerahan yang memicu perbedaan diatas persatuan.  Partai-partai ini akan memberikan saluran bagi terwujudnya partisipasi rakyat di tingkat daerah.  Walaupun begitu partai-partai politik nasional masih tetap diperbolehkan untuk berlaga di daerah.
Dalam konteks perpolitikan internasional, pendirian partai politik lokal masih merupakan polemik, baik untuk tataran nasional maupun internasional.  Keberadaan partai politik lokal atau local political party di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris merupakan bentuk perpanjangan dari partai-partai politik berbasis nasional. Sedangkan dalam konteks Indonesia, pendirian partai politik menurut Undang-Undang Partai Politik Nomor 31/2002 pada prinsipnya harus melalui Departemen Hukum dan Perundang-undangan dan HAM dengan pertimbangan masak-masak terhadap dampak pada kedaulatan negara dan bangsa Indonesia.  Analisis yang dilakukan oleh Todung Mulya Lubis (2003) mengatakan bahwa,
 “wacana pemilu pernah muncul gagasan untuk pemilu lokal di mana partai politik lokal bisa turut serta. Partai lokal bisa saja merebut posisi Gubernur, Bupati, dan DPRD sebelum kelak ikut dalam pemilu nasional. Tetapi, gagasan ini ditolak mentah-mentah elite politik di Jakarta sehingga pemilu lokal dan partai lokal tak mungkin diadakan. Jadi, seandainya GAM bersedia mentransformasi dirinya menjadi partai politik maka sistem politik yang ada tak mungkin mengakomodasinya. Lagi-lagi ketakutan dominan adalah runtuhnya negara kesatuan.”
Kompas, 4 September 2003

Oleh Todung Mulya Lubis

Apabila koridor penyusunan RUU PA adalah NKRI, maka hak mendirikan partai politik lokal juga berlaku di daerah lain.  Alangkah lucunya apabila otonomi daerah yang diberlakukan sekarang pada akhirnya akan menjadi otonomi daerah yang “pilih kasih”.  Disini kunci peran pemerintah pusat untuk menjadi agen pemersatu daerah bukan sebaliknya. Mengenai hal ini, mantan presiden Habibie berpendapat bahwa,  “Jika ada parpol lokal di Aceh, maka harus ada juga di daerah lain, supaya tidak ada kecemburuan,” ketika menerima anggota Pansus RUU PA beberapa waktu yang lalu.  Sependapat dengan Bapak Habibie, hendaknya pembahasan mengenai pendirian partai politik lokal di Aceh juga harus mengantisipasi akan adanya gelombang reaksi daerah yang menuntut hak pendirian partai politik lokal.
Pendirian partai politik lokal akan memunculkan masalah baru, itu jelas.  Akan tetapi itulah arti dari demokrasi untuk rakyat sesungguhnya.  Jeda antara rakyat dan pemerintah akan terjembatani melalui institusi politik yang tersedia dekat dengan.  Tak pelak, pendirian partai politik lokal menjadi suatu pilihan yang sukar untuk dihindari oleh bangsa Indonesia.  Apalagi kita bukanlah negara bermaksud mengisolasi diri dari pergaulan bangsa-bangsa yang mengatakan dirinya “beradab” di dunia.  Negara kita membutuhkan pengakuan bahwa kita adalah bangsa yang dapat dipercaya, salah satunya adalah dengan meluluskan salah satu butir kesepakatan Helsinki mengenai pendirian partai politik lokal dalam RUU PA dengan pertimbangan dan mekanisme peraturan yang jelas dan tegas. 
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.


No comments:

Post a Comment