BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan hal terpenting bagi setiap oarang. Oleh sebab itu, pendidikan harus
mendapatkan perhatian yang seriua dari prioritas yang tinggi oleh pemerintah,
pengelola pendidikan maupun masyarakat umumnya. Pendidikan umumnya tercipta
dalam situasi formal dilingkungan sekolah melalui proses pembelajaran dikelas
yang melibatkan interaksi guru dan siswa. Suatu pendidikan yang penting adalah
prosesnya bukan nilai semata karena dengan proses siswa dapat memahami dan
mengerti maksud dari pembekajaran sehingga pada akhirnya ouput yang dihasilkan
baik dan berkualitas. Disamping itu Zakiah Daradjat juga mengungkapkan bahwa:
Pendidikan merupakan usaha sadar
yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang berlangsung disekolah dan luar
sekolah. Usaha sadar tersebut dilakukan dsalam bentuk pelajaran dimana ada
pendidik yang melayani para peserta didiknya melakukan kegiatan belajar, dan
pendidik menilai atau mengukur tingkat keberhasilan belajar peserta didik
tersebut dengan prosedur yang ditentukan.[1]
Dengan
demikian output dari pendidikan yang berkualitas tidak terlepas darin peran
guru vdalam proses pembelajaran serta stategi, metode atau pun model yang
digunakan guru dalam penyamppain materi kepada siswa, dimana dengan strategi
itu guru dituntut mampu menciptakan situasi pembelajaran yang aktif, kreatif,
inovatif, efektif, dan menyenangkan khususnya pada pelajaran matematika.
Matematika
sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai jenjang pendidikan dasar
hingga keperguruan tinggi, selain sebagai sumber dari ilmu lain juga merupakan
sarana berfikir logis, analitik, dan sistematis. Disamping itu mata pelajaran
matematika juga sangat berkaitan dengan konseb-konsep yang abstrak, jam
belajarpun lebih banyak dibandingkan dengan jam mata pelajaran lainnya, maka
dalam penyajiaan materi matematika harus dapat disajikan lebih menarik dan
sesuai dengan kondisi dan keadaan siswa. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar
proses pembelajaran siswa lebih aktif dan termotivasi dalam belajar. Untuk
itulah perlu adanya suatu metode khusus yang dioterapkan guru seperti penulis
maksudkan diatas.
Selama
ini rendahnya pemahaman konsep matematika lebih banyak disebabkan karena
strategi, metode, atau pun pendekatan tertentu yang digunakan oleh guru dalam
proses penbelajran masoh bersifat tradisional dan kurang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengembangkan pola pikirnya sesuai dengan kemampuan
masing-masing, siswa hanya mendengarkan dan mencatat dari penyampaian guru sehingga keaktifan siswa
dalam mengikuti proses pembelajaran hampir tidak ada. Siswa dikatakan belajar
aktif, kreatif dan produktif jika ada mobolitas, misalnya nampak dari interaksi
yanng terjadi antara guru dan siswa, antara siswa itu sendiri maka komunikasi
pembelajaran tidak hanya terjadi satu
arah melainkan multi arah (feed back).
Fenomena
diatas terjadi di SMP Negeri 2 Syamtalira Aron. Di SMP ini khususnya kelas VIII
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran dikelas keaktifan siswa masih rendah. Hal
ini dilihat dari masih rendahnya keaktifan bertanya,mengemukakan ide dan
keaktifan mengejakan latihan soal-soal didepan kelas. Siswa juga cenderung
tidak berani menanyakan materi yang belum paham kepada gurunya, padahal guru
telah memberikan waktu unttuk bertanya. Selain keaktifan,motivasi siswa dalam
belajar matematika juga masih rendah. Antusias siswa dalam belajar matematika
masih kurang sehingga pemahaman konsep yang didapat juga masih rendah khususnya
pada materi jaring-jaring kubus dan balok yang dianggap susah.
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara awal peneliti dengan guru bidang studi matematika ada beberapa faktor
yang menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa diantaranya adalah
metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru kurang bervariasi, biasanya kuru
hanya menggunakan metode ceramah dan demontrasi, metode PBL (Problem Based
Learning) sendiri belum pernah dilakukan. Disamping itu gurru dalam belajar
hanya berpagang teguh pada diktat-diktat atau buku-buku paket saja dan kurang
mengaitkan dalam kehidupan nyata, hal ini mengakibatkan siswa merasa bosan
sehinga menurunkan minat belajarnya.guru juga menjadi pusat dan penentu
jalannya proses pembelajaran, yang demikian menyebabkan rendahnya pemahaman
konsep matematika siswa. Faktor-faktor yang tersebut diatas diakibatkan oleh
penggunaan metode yang tidak tepat dalam proses pembelajaran sehingga
menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa.
Dalam
pembelajaran seringkali dijumpaii adanya
kecenderungan siswa yang tidak mau bertanya kepada guru meskipun mereka
sebenarnya belum mengerti tentang konsep mayeri yang disampaikan guru. Masalah
ini membuat guru kesulitan dalam memillih metode pembelajaran yang tepat untuk
menyampaikan materi kepada siswa
akibatnya pemahaman kionsep matematika lemah sehingga susah memahami materi
selanjutnya. Dalam artian bahwa suatu mayteri tidak dapat dikuasai dengan baik
jika pemahamn materi prasyarat belum dipahami dengan baik, sebagai mana
pendapat Hudojo bahwa “mempelajari konsep B yang mendasar pada konsep
A,terlebih dahulu harus memahami konsep A, tidak mungkin memahami konsep B
sebelum memahami konsep A.”[2]
Agar dalam pelaksanaan pembelajaran
tidak membosankan sehingga siswa senag dalam pembelajaran matematika, maka
dalam pelaksanaannya dapat menerapka berbagai metode. Salah satunya adalah
melalui penggunaan metode pembelajaran yang tepat dalam proses belajar
mengajar.
Untuk
mengatasi masalah tersebut maka guru sebagai tenaga pengajar dan pendidik harus
silalu meningkatkan kualitas profesionalismenya yaitu dengan cara memberikan
kesempatan belajar kepada siswa dengan melibatkan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran, disamping itu juga diupayakan siswa untuk memiliki
hubungan yang erat dengan guru,teman-temannya juga lingkungan sekitarnya. Salah
satu metode yang melibatkan siswa secara aktif adalah metode PBL.Metode PBL
memiliki karakteristik yang khas yaitu menggunakan masalah dunia nyata sebagai
konteks belajar bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis dan
keterampilan untuk memecahkan masalah, serta untuk memperoleh keterampilan dan
konsep esensial dari materi pelajaran.
Menurut
Wawan Dasna dan Sutrisno, pembelajaran berbasis masalah (PBL), merupakan salah
satu pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada
siswa. PBL adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan sisswa untuk
memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus
memiliki keterampilan untuk memecahkannya.”[3]
PBL
tidak da[pat dilaksanakan jika guru tidak dapat mengembangkan lingkungan kelas
yang memugkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Secara garis besar
PBL terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan
bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk dapat melakukan
penyelidikan secara inquiry. Situasi masalah yang autentik dan bermakna sendiri
dapat ditemukan pada materi jaring-jaring kubus dan
balok.pembelajaran jaring-jaring kubus dan balok dengan metode PBL diharapkan
mampu membuat pelajaran tersebut menjadi lebih menarik bagi siswa dan dapat
menguatkan konsep-konsep matematika siswa sehingga siswa tidak cepat lupa
dengan materi yang telah diajarkan karena metode PBL ini menitik beratkan dunia
nyata dalam pembelajaran.
Berdasarkan
uraian diatas yang telah penulis uraikan, maka prnulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan mengangkat judul “Peningkatan Kemampuan Pemahaman Konsep Melalui
Metode Penbelajaran Berbasis Masalah Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2
Syamtalira Aron.”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas penulis telah
mengemukakan dengan jelas masaah yang terjadi dalam pembelajaran matematika,
maka dapat di identifikasikan masalah sebagai berikut:
1.
Metode pembelajaran yang kurang bervariasi dan hanya berpegang teguh
pada diktat-diktat buku-buku paket saja dalam proses pmbelajaran.
2. Rendahnya pemahaman konsep matematika siswa pada
materi jaring-jaring kubus dan balok.
3. Proses belajar mengajar yang masih berpusat pada
guru.
4. Guru dalam mengajar kurang mengaitkan dalam
kehidupan nyata.
5. Hasil belajar siswa rendah.
6. PBL belum pernah dilakukan.
7. Siswa tidak mampu memecahkan masalah materi
jaring-jaring kubus dan balok.
C.
Fokus Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka dalam
penelitian ini dibatasi dengan difokuskan permasalahan pada kemampuan pemahaman
konsep matematika siswa SMP Negeri 1 Syamtalitara Aron kelas VIII pada materi
Kubus dan Balok.
D.
Pertanyaan
Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan identisifikasi
masalah diatas, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah
peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika melalui metode pembelajaran
berbasis masalah pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Syamtalira Aron ?”
E.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
“mengetahui bagaimanakah peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika
melalui metode pembelajaran berbasis masalah pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2
Syamtalira Aron.”
F.
Manfaat
Penelitian
Adapun
mamfaat dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Secara teoritis
a. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan
kualitas pembelajaran khususnya yang berkaitan dengan pemahaman konsep
matematika pada materi jaring-jaring kubus dan balok.
b. Sumbangan pemikiran dan bahan acuan guru agar
berusaha untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika sehingga siswa hasil
belajar pun meningkat, dan juga lembaga pendidikan agar dapat membangkitkan
motivasi yang tinggi terhadap p[elajaran matematika khisusnya pada materi
jaring-jaring kubus dan balok.
2. Secara praktis
a. Memberikan gambaran bagi guru tentang pemahaman
konsep matematika pada materi jaring-jaring kubus
dan balok.
b. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap upaya
peningkatan belajar siswa dalam pelajaran matematika di SMP.
G.
Definisi
Operasional
Untuk menghindari kesalahan pahaman para pembaca
terhadap istilah dalam proposal ini, maka peneliti merasa perlu menjelaskan
beberapa istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian ini.Adapun
istilah yang penulis anggap perlu dijelaskan sebagai berikut :
1.
Metode pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Menurut
Wawan Dasna dan Sutrisno, pembelajaran berbasis masalah (PBL), merupakan salah
satu pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada
siswa. PBL adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan sisswa untuk
memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus
memiliki keterampilan untuk memecahkannya.[4]
Adapun
metode pembelajaran berbasis masalah ini yang penulis maksudkan dalam
penelitian ini adalah suatu proses pelajaran yang mampu meningkatkan belajar
siswa, mengharuskan siswa untuk berpasitipasi aktif, belajar untuk
menyelesaikan masalah, dapat meningkatkan semangat dan motivasi siswa dengan
metode pembelajaran yang dipergunakan akan meningkatkan pemahaman konsep
matematika siswa secara aktif dan efisienn.
2.
Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
Peran siswa secara umum dalam pembelajaran berbasis masalah
adalah mempersiapkan diri untuk belajar dan bekerja secara berkelompok serta
berperan aktif dalam pembelajaran. Arends mengemukakan ada 5 langkah utama
dalam penggunaan pembelajaran berbasis masalah. Langkah tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2.2. langkah-langkah Pengalisis Berbasis
Masalah
Langkah
|
Tinngkah Laku Guru
|
Langkah 1:
Orientasi kepada masalah.
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan,memotivasi siswa agar terlibat pada pemecahan
masalah yang dipilihnya.
|
Langkah 2:
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
|
Langkah 3:
Membimbing menyelidikan individual dan kelompok.
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya.
|
Langkah 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
|
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, vidio dan model serta membantu mereka
berbagi tugas dengan temannya.
|
Langkah 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan.
|
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
|
Sumber: Tanwey Gerson Ratumanan.[5]
Adapun
pelaksanaan tahapan pembelajaran berbasis masalah membutuhkan banyak perencanaan, seperti
halnya model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa lainnya, antara lain:
1.
Penetapan tujuan
Pertama kali mendeskripsikan bagaimana penbelajaran
berbasis masalah direncanakan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti
keterampilan, menyelidiki dann membantu siswaa belajar secara mandiri. Dalam
pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah bisa diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah disampaikan.
2.
Merancang situasi masalah
Dalam penelitian ini, peneliti memberikan siswa
keluasan dalam memilih masalah untuk diselidiki karena cara ini dapat
membangkitkan motivasi siswa. Masalah yang bersifat autentik, mengandung
teka-teki dan tidak terdefinisikan secara ketat, memungkinkan bekerjasama,
bermakana bagi siswa dan konsisten dengan tujuan pembelajaran.
3.
Organisasi sumber daya dan logistik
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa
dimungkinkan peralatan ataupun media dengan materi dengan materi yang
dipelajari.
3.
Meningkatkan Pemahaman Konsep matematika
Menurut Darjitno, Pemahaman konsep adalah “
pengertian/pendapat yang terbentuk dalam pikiran siswa tentang sesuatu idea,
gagasan.”[6] Sedangkan
Wololfolk mendefinisikan konsep sebagi “suatu kategori yang diginakan untuk
mengelompokkan ide-ide, peristiwa-peristiwa,orang-orang, objek-objek yang
serupa. ’’[7] begitu
juga dengan Anas sudijono dalam bukunya pengantar evaluasi pendidikan
mendefinisikan “pemahaman adalah kemampuan seseoarang untuk mengerti atay
memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat.”[8]
Dengan demikian, pemahamn konsep matematika
merupakan suatu pemahamn yang abstrak daroi sekelompok objek, sehingga
memungkinkan kita untuk mengelompokkan objek-objek yang lain kedalam contoh
atau noncontoh dari kelompok tersebut serta dapat menerapkan konsep dalam
pemecahan masalah, dimana ini telah mencapai taraf pemahaman yang lebih tinggi
pada peserta didik dan dapat dilihat dengan evaluasi itu sendiri.
Meningkatkan pemahaman konsep dalam penelitian ini
yaitu : Upaya yang dilakukan guru untuk memberikan pemahaman tentang konsep
matematika dengan mengacu pada 4 indikator pemahaman konsep yaitu : 1) Menuliskan
konsep, 2) Mengindentifikasi konsep, 3) Memberikan contoh konseb dan bukan
contoh konsep dan 4) menerapkan konsep dalam pemecahan masalah khususnya pada
materi jaring-jaring Kubus dan Balok dengan metode pembelajaran berbasis masalah.
4.
Materi
Jaring-jaring Kubus dan Balok
a. Jaring-jaring
Jaring-jaring disebut
juga bukaan.[9] Jika
suatu kubus diiriskan pada beberapa rusuk, kemudiaan direbahkan menjadi bangun
datar, maka bangun datar tersebut berupa jarng-jaring.[10]
b. Kubus
dan Balok
Kubus
adalah bangun ruang yang dibatasi oleh
enam daerah bujur sangkar yang kongruen ke enam daerah bujur sangkar itu
disebut bidang sisi atau disingkat dengan sisi.[11]”
sedangkan balok adalah bangun ruang yang dibatasi oleh enam daerah persegi
panjang.[12]”
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jaring-jaring kubus adalah enam buah
persegi yang jika dilipat-lipat menurut garis persekutuan dua persegi dapat
membentuk kubus. Sedangkan jaring-jaring balok adalah rangkaian enam buah
persegi panjang yang jika dilipat-lipat menurut garis persekutuan dua persegi
panjang dapat membentuk balok dan tidak ada sisi yang ganda.
Dengan
demikian tidak semua rangkaian enam buah persegi dan oersegi paanjang merupakan
jaring-jaring kubus dan balok. Jaring-jaring kubus merupakan salah satu materi yang
dipelajari pada kelas VIII SMP.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Pemahaman Konsep
1.
Pengertian
pemahaman Konsep
Para
ahli spikologi menyadari pentingnya konsep, sehingga definisi yang diberikan
berdasarkan pandangan masing-masing dan belum ada yang disepakati secara umum.
Woolfolk mendefinisikan konsep sebagai “suatu katagori yang digunakan untuk
mengelompokkan ide-ide, peristiwa-peristiwa, orang-orang, objek-objek yang
serupa.”[13] ormrod
mendefinisikan konsep sebagai “suatu cara pengelompokan atau pengkatogorian
secara mental dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa didunia. ”[14]
Menurut Gagne konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita
mengelompokkanbenda-benda kedalam contoh atau
noncontoh.
”[15]
Definisi-definisi
konsep yang dikemukakan diatas pada dasarnya mengacu pada sesuatu yang diterima
dalam pikiran atau suatu ide yang umum dan abstrak. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Darjitno bahawa “Konsep adalah pengertian umum.”[16]
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan diatas maka dapat kita pahami bahwa
konsep merupakan pengertian umum yang berupa ide abstrak dari sekelompok objek,
sehingga memungkinkan kita untuk mengelompokkan objek-objek yang lain kedalam
contoh atau non contoh dari sekelompok tersebut.
Konsep
dalam matematika merupakan salah satu objek kajian disamping tiga objek yang
lain, yaitu: fakta, (relasi) dan prinsip. Selain itu, konsep-konsep dalam
matematika disusun dari konsep-konsep terdahulu dan fakta-fakta. Sedangkan
untuk menunjukkan konsep tertentu digunakan batasan atau definisi. Hal ini
memberikan gambaran bahwa suatu konsep digunakan secara berkesinambungan untuk
menjelaskan konsep-konsep lain dalam matematika, karena sifat dari matematika
adalah hirarkis. Dengan demikian kesalahan konsep yang diterima oleh soswa akan
berakibat fatal untuk mempelajari konsep-konsep berikutnya yang berkaiatn
dengan konsep tersebut.
Untuk
memahami suatu konsep siswa didorong memiliki kemampuan untuk mengorganisasi,
memproses, menyimpan dan mengungkapkan kembali struktur pengetahuan atau informasi
yang telah diperolehnya. Kunci untuk memahami startegi-strategi yang dipakai
siswa untuk memperoleh konsep ialah dengan cara menganalisis bagaimana cara
mereka mendekati atau memahami informasi yang ada melalui contoh-contoh. Selain
khusus, apakah mereka itu mengkonsentrasikan pada contoh khusus tentang suatu informasi, atau apakah mereka
itu mengingat semuanya atau sebagian besar informasi ?.
Jika
dihubungkan dengan pengertian belajar, maka belajar konsep adalah belajar untuk
memperoleh konsep. Terbentuknya konsep dalam benak siswa adalah tujuan utama
dari belajar konsep. Konsep yang terbentuk sebagai hasil belajar akan menjadi
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa. Menurut Peaget bahawa
“Terbentuknya pengetahuan baru ini dapat terjadi karena proses asimilasi dan
akomodasi. ”[17]
Amisilasi
adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru dan langsung menyatu
dengan struktur mental yang sudah dimiliki oleh seseorang. Ausubel
berpendapat bahwa “pembentukan konsep
dengan asimilasi mengikuti pola ruleeg. ”[18]
Dalam hal ini siswa terlebih dahulu
diberikan definisi dari suatu konsep kemudian dilanjudkan dengan memberikan
contoh-contoh dari konsep tersebut. Dengan demikian diharapkan siswa dapat
memahami konsep yang dipelajari.
Akomodasi
adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan
pengalaman baru. Ausubel menyatakan bahwa “pembentukan konsep dengan akomodasi
mengikuti pola eg-rule.”[19]
pada pola ini siswa diberikan sejumlah objek yang merupakan contoh dan noncontoh
dari konsep tertentu, kemudian melalui proses deskriminasi dan abstraksi siswa
menetapkan suatu aturan untuk menentukan kriteria dari konsep tersebut.
Hasil
belajar konsep yang dialami siswa berupa konsepsi yang terbentuk dari benak
masing-masing siswa. Konsepsi yang dimiliki masing-masing siswa mungkin berbeda
antara satu siswa dendgan siswa lainnya. Hal ini sesuai dengan pemahaman mereka
masing-masing selama proses belajar berlangsung. Hal ini seperti yang
dinyatakan oleh Darjitno bahwa “konsepsi dapat berbeda untuk setiap orang. ’’[20]
Adapun
konsepsi yang diharapkan terbentuk dalam benak siswa setelah proses belajar
berlangsung adalah konsep yang benar sesuai dengan konsep yang dipelajari,
yaitu konsep yang sesuai dengan konsep ynag dikemukakan/disepakati oleh para
ahli. Atau dengan kata lain konsepsi yang dimilki oleh siswa merupakan konsep
keilmuan.
Namun
teerbentuknya konsepsi yang salah adalah kemungkinan yang bisa saja terjadi,
karena konsepsi yang terbentuk pada siswa didasarkan pada kemampuan mereka
dalam memaknai apa yang mereka pelajari selama proses belajar berlangsung.
Dengan kata lain konsepsi merupakan tafsiran tentang suatu konsep. Hal inni
seperti yang dinyatakan oleh Dahar bahwa “konsepsi ialah pengertian/pendapt
yang terbentuk dalam pikiran tentang sesuatu idea, gagasan. ”[21]
Bedasarkan
uraian diatas menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dimilki oleh siswa
setelah melalui suatu proses pembelajaran matematika dapat dilihat dari
indikator-indikator yaitu:
1)
Menyatakan ulang sebuah
konsep,
2)
Mengklasifikasi
objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya),
3)
Memberi contoh dan non
contoh dari konsep,
4)
Menyajikan konseb dalam
berbagai bentuk representasi matematis,
5)
Mengembangkan syrat
perlu atau syrat cukup suatu konsep
6)
Menggunakan,
memamfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu,
7)
Mengaplikasikan konsep
atau algoritma pemecahan masalah.[22]
Pada kurikulum 2004 Standar Kompetensi
Penbelajaran Matematika SMP/MTS dinyatakan bahwa kemampuan yang perlu
diperhatikan dalam penilaian pembelajaran matematika antara lain adalah
pemahaman konsep dan prosedur (algoritma). Lebih jauh dinyatakan bahwa siswa
dikatakan memahami konsep bila siswa mampu mendefinisikan konsep,
mengindeitifikasi dan memberikan contoh atau bukan contoh dari konsep.
Sedangkan siswa dikatakan memahami prosdur jika mampu mengenali prosedur atau
proses menghitung yang benar atau tidak benar.
Dengan
demikian dapat peneliti tentuakn indikotor pemahaman konsep matematiak yang
menjadi rumusan dalam penelitian ini, dimana rumusan tersebut peneliti membuat
soal tes bentuk uraian sebagai alat ukur mengacu pada indikator-indikator
yaitu: (1) menuliskan konsep, (2) mengindentifikasi konsep, (3) memberikan
contoh konsep dan bukan contoh konsep dan (4) menerapkan konsep dalam pemecahan
masalah.
2. Golongan dan Jenis-Jenis Pemahaman Konsep
Pemahaman berdasarkaan taksonomi tujuan dari Bloom
menyebutkan bahwa pemahaman dapat digolongkan dalam tiga segi yang berbeda
yaitu[23] :
a.
Pemahaman Translasi
Pemahaman translasi adalah kemampuan
untuk memahami suatu ide yang dinyatakan dengan cara lain dari pada pernyataan
asli yang dikenal sebelumnya. Misalnya, individu mampu mengubah soal yang
tertulis dalam kalimat kedalam bentuk symbol dan sebaliknya.
b.
Pemahaman Interprestasi
Pemahaman
interprestasi adalah kemampuan untuk memahami atau mampu mengertikan suatu ide
yang diubah atau disusun dalam bentuk lain seperti kesamaan,grafik, tabel,
diagram dan sebagainya
c.
Pemahaman Ekstrapolasi
Pemahaman
ekstrapolasi adalah keterampilan untuk meramalkan kelanjutan dari kecendrungan
yang ada menurut data tertentu.
Sedangkan jenis pemahaman menurut Skemp menyatakan
bahwa pemahaman ada dua jenis, yaitu:
1.
Pemahaman instrumental, yaitu hafalan sesuatu secara terpisah atau dapat
menerapkan suatu pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan suatu secara
algoritmik saja.
2.
Pemahaman relisional, yaitu dapat mengaitkan suatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses
yang dilakukan.[24]
Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman
konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana.
Dalam hal ini seseorang hanya memahami urutan pegerjaan atau algoritma.
Sedangkan pemahaman resional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan
pada penjelasan masalah yang lebih luas dan sifat pemakaian lebih bermakna.
3.
Manfaat Pemahaman Konsep
Menurur
Evranita pengajaran yang menekankan kepada pemahaman mempunyai sedikitnya 5
(lima) keuntungan sebagai berikut:
1.
Pemahaman memberikan generatif artinya bila seorang telah memahami suatu
konsep, maka pengetahuan itu akan mengakibatkan pemahaman yang lain karena
adanya jalinan antar pengatahuan yang dimulai siswa.
2.
Pemahaman memacu ingatan artinya suatu pengetahuan yang telah dipahami
dengan baik akan diatur dan dihubungkan secara efektif dengan pengetahuan yang
lain.
3.
Pemahaman mengurangi banyak hal yang harus diingat artinya jalinan yang
terbentuk antara pengetahuan yang satu dengan yang lain dalam struktur
kognitif siswa yang mempelajarinya
dengan penuh pemahaman merupakan jalinan yang sangat baik.
4.
Pemahaman meningkatkan transfer belajar artinya pemahaman suatu konsep
matematika akan diperoleh siswa yang aktif menemukan kesurupaan dari berbagai
konsep tersebut.
5.
Pemahaman mempengaruhi keyakinan
siswa yang memahami matematika dengan baik akan mempunyai keyakinan yang pasti
yang selanjutnya akan membantu perkembangan pengetahuan matematikanya.[25]
Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui
tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik
dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat mmberikan uraian yang lebih rinci
tentang hal itu dengan menggunakan kata-kata sendirinya.
Kemampuan pemahaman adalah salah satu tujuan pentin dalam pembelajaran,
memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya
sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih
mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri.
4.
Format Penilaian Pemahaman Konsep Matematika
Pemberian skor hasil belajar siswa dalam
pembelajaran ini berbeda dengan pemberian skor tes objektif yang terlihat hanya
produknya, sementara dalam pembelajaran ini yang dipentingkan adalah proses
menemukan jawaban. Dalam pemberian skor soai uraian, bila ingin diukur
pemahaman konsep matematika pada setiap langkah atau proses berfikirnya dalam
menyelesaikan soal tersebut, maka butir soal diosusun untuk setiap proses
bersangkutan.. namun bila ingin mengukur proses penyelesaain soal seecara
keseluruhan, butir soal disusun sedemikian sehingga memuat semua prooses
penyelesaian yang ingin diukur.
Kriteria pemberian skor pemahaman konsep matematika
siswa dapat dilakukan melalui rubrik analitik seperti tampak pada tabel 2.1
Tabel 2.1: Rubrik Penilaian Pemahaman Konsep
Matematika Siswa
Aspek dan
Skor
|
Indikator
|
Pemahaman konsep
|
|
4
|
Siswa menunjukkan pemahaman yang lengkap baik
pada langkah penyelesaian maupun pada penafsiran/penjelasan terhadap jawaban
|
3
|
Siswa menunjukkan pemahaman yang baik, sedikit
kesalahan mungkin terjadi pada pemahaman masalah atau pengembangan strategi
penyelesaian atau pada poenafsiran jawaban
|
2
|
Siswa menunjukkan pemahaman yang miminal,
pernyataan masalah mungkin kurang jelas bagi siswa. Srtategi yang digunakan
atau penafsiran jawaban kurang cocok dengan masalahnya
|
1
|
Siswa menunjukkan pemahaman yang samar-samar.
Strategi yang digunakan atau penafsiran jawaban kurang cocok dengan
masalahnya.[26]
|
0
|
Siswa tidak menunjukkan pemahaman terhadap masalah. Srategi yang
digunakan dan jawaban yang diperoleh tidak cocok dengan masalah.
|
Untuk mendapatkan nilai skor dalam rentang seratus
maka dapat diubah menjadi:
|
|
Skor
total jawab benar
Skor maksimal
5.
Pola perkembangan kelompok dan individu
Setelah skor pemahamn konsep matematika diubah
menjadi nilai sesuai ketentuan diatas, maka nilai tersebut dapat menentukan
tuntasnya pembelajaran, serta dapat dilihat poin perkembangan kelompok dan
individu peneliti akan menyajikan nilai atau data hasil tes siswa kedalam
sebuah tabel dengan menempuh empat langkah, yakni sebagai berikut:
a. Menentukan skor dasar berdasarkan skor tes awal
b. Menghitung selisih antara skor akhir setiap
tindakan
c. Menghitung poin perkembangan individu dengan
ketentuan sebagai berikut:
Tabel 2.2 kriteria poin perkembangan individu
Skor Peserta Didik
|
Poin
Perkembangan
|
Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar
|
5
|
10 poin hingga 1 poin dibawah skor dasar
|
10
|
Skor dasar hingga 10 poin diatasnya
|
20
|
Lebih dari 10 poin diatasnya
|
30
|
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor dasar)
|
30
|
d. Menghitung poin perkembangan kelompok, yaitu jumlah
poin perkembangan individu pada suatu kelompok dibagi dengan banyaknya anggota
kelompok berdasarkan kriteria sebagai berikut:
26 – 30 : Sangat baik
21– 25 : Baik
16– 20 : Cukup baik
11 – 15 : Kurang
0 – 10 : Sangat kurang.[27]
B.
Metode Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning)
1.
Pengertian Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning)
Menurut Arends dalam Abbas, Model pembelajaran
berbasis masalah (BPL) adalah “ model pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun
pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan
inkuiri, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri”.[28]
H.S Barrow dalam Suhaila sebagai pakar pembelajaran
berbasis masalah menyatakan bahwa definisi pembelajaran berbasis masalah adalah
”sebuah model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah digunakan
sebagai titik awal untuk mendapatkan atau menginteraksikan ilmu baru.dengan
demikian masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar siswa dapat menyokong
keilmuannya”.[29]
masalah yang dijadikan sebagai titik awal pembeljaran tersebut harus
berdasarkan masalah dunia nyata, yang dapat memancing siswa untuk
menyelasaikannya berdasarkan pengetahuan
yang mereka sudah kuasai sebelumnya sehingga akan terbentuk pengetahuan
yang baru dan siswa memilki ketrampilan dalam menyelasaiklan masalah, sebagai
yang dikatakan oleh Ward dalam Suhaila menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah adalah “suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahakan
suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mem,pel;ajari pengetahuan yang berhunbungan dengan masalah-masalah tersebut dan
sekaligus memliki terampilan dalam menyelasaikan masalah”.[30]
Metode ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan
nyata sebagi sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan
ketrampilan berfikir kritis dan memecahkan masalah, serta menadapatkan
pengetahuan konsep-konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri
untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran
berbasis masalah penggunaanya didalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam
situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana itu belajar. Dalam model
pembelajaran berbasis masalah, guru berperan sebagi penyaji masalah, penanya,
mengadakan dialog, membantu menemukam masalah dan memberi fasilitas penelitian.
Selain itu guru menyiapkan dukungan dan
dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual
siswa. Pembelajaran berbasis masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat
menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan.
Pembelajaran berbasis masalh juga dapt meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan dan aktifitas siswa, baik secara indifidual maupun secara
kelompok. Pada pembelajaran berbasis masalah guru berperan pemberi rangsanganm,
pembimbing kegiatan siswa dan penentu arah belajar siswa.
Jadi pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah
pembelajaran yang memberikan masalah sebagai awal pembelajaran untuk
mendapatkan ilmu yang baru serta melibatkan siswa dalam penyelesaiannya.
2.
Ciri-ciri Metode Pembelajaran berbasis Masalah
Berbagai perkembangan pembelajaran berbasis masalah
telah menunjukkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:
a.
Pengajuan Masalah atau Pertanyaan
Pembelajaran berbasis masalah bukan hanya
mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu,
pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pembelajaran disekitar
pertanyaan dan masalah keduanya secara sosial penting dansecara pribadi
bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan pada situasi kehidupan nyata yang
autentik, menghindari jawaban sedrhana dan memungkinkan adanya berbagai macam
solusi untuk situyasi itu. menurut Arends dalam Abbas, pertanyaan dan masalah
yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
Autentik, yaitu masal;ah harus lebih berakar pada kehidupan nyata siswa dari
pada berakar pada prinsip-prinsip ilmu tertentu.
2.
Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan
jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya
menyulitkan penyelesaian siswa.
3.
Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah
dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa.
4.
Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya
bersifat luas, artinya masalah tersebut m,ecakup seluruh materi pelajaran yang
akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber tersedia. Selain itu,
masalah yang telah disusun tersebutt harus didasarkan pada tujuan penbelajran
yang telah ditetapkan.
5.
Mamfaat, yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermamfaat,
baik siswa sebagi pemecah masalh maupun guru sebagi oembuat masalah. Masalah
yang bermamfaat adalah masal;ah yang dapat m,eningkatkan kemampuan berfikir
memecahkan siswa, serta membangkitkan motifasi belajar siswa.[31]
b.
Berfokus pada keterkaiatan antara disilpin
Meskipun pembelajaran berbasis masalah mungkin
berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu Spsial),
masalah yang akan diselediki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
c.
Penyelidikan Autentik
Pembelajaran berbasis masalah siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyta terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis
dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen (jika diperlukan), membuat referensi dan merumuskan kesimpulan.
Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang
dipelajari.
d.
Menghasilkan Produk/Karya dan Menerlukannya.
Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan
yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, vidio atau
program komputer.[32]
Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa
bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam
kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan
terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi
inkuiri dan dialog serta untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
keterampilan berpikir.
3.
Tahap- tahap Pembelajaran Berbasis Masalah
Peran siswa secara umum dalam pembelajaran berbasis masalah
adalah mempersiapkan diri untuk belajar dan bekerja secara berkelompok serta
berperan aktif dalam pembelajaran. Arends mengemukakan ada 5 langkah utama
dalam penggunaan pembelajaran berbasis masalah. Langkah tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Tahapan Pengalisis Berbasis Masalah
Tahapan
|
Tinngkah Laku Guru
|
Tahap 1:
Orientasi kepada masalah.
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan,memotivasi siswa agar terlibat pada pemecahan
masalah yang dipilihnya.
|
Tahap 2:
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
|
Tahap 3:
Membimbing menyelidikan individual dan kelompok.
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya.
|
Tahap 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
|
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, vidio dan model serta membantu mereka
berbagi tugas dengan temannya.
|
Tahap 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan.
|
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
|
Sumber: Tanwey Gerson Ratumanan.[33]
Adapun
pelaksanaan tahapan pembelajaran berbasis masalah membutuhkan banyak perencanaan, seperti
halnya model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa lainnya, antara lain:
4.
Penetapan tujuan
Pertama kali mendeskripsikan bagaimana penbelajaran
berbasis masalah direncanakan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti
keterampilan, menyelidiki dann membantu siswaa belajar secara mandiri. Dalam
pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah bisa diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah disampaikan.
5.
Merancang situasi masalah
Dalam penelitian ini, peneliti memberikan siswa keluasan dalam memilih
masalah untuk diselidiki karena cara ini dapat membangkitkan motivasi siswa.
Masalah yang bersifat autentik, mengandung teka-teki dan tidak terdefinisikan
secara ketat, memungkinkan bekerjasama, bermakana bagi siswa dan konsisten
dengan tujuan pembelajaran.
6.
Organisasi sumber daya dan logistik
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa dimungkinkan peralatan ataupun
media dengan materi dengan materi yang dipelajari.
4.
Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah
Menurut Wina Sanjaya pembelajaran berbasis masalah
mempunyai keunggulan sebagai berikut:
a. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus
untuyk lebih memahami isi bacaan.
b. Pemecahan masalah dapat menentang kemampuan serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru siswa.
c. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas
pembelajaran siswa’
d. Pemecahan masalah dapt membantu siswa bagaimana mentranfer pengetahuan mereka
untuk memahami masalah dalam kehidupan siswa.
e. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan
pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka
lakukan.
f. Melalui pemecahan masalah bisa diperlihatkan kepada
siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya cara berfikir dan sesuatu yang
harus dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari
buku-buku saja.
g. Pemecahan masalah dianggap menyenangkan dan lebih
disukai siswa’
h. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan
siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan berfikir mereka untuk
menyelesaikan dengan pengetahuan baru.
i. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk megaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dengan dunia
nyata.
j. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa
untuk secara terus-menerus belajar meskipun belajar pada pendidikan formal
telah berakhir.[34]
Adapun keunggulan pembelajaran berbasis masalah itu
menurut Wee Kek didalam M. Taufik Amir menyebutkan lima keunggulan antara lain:
a.
Punya keaslian seperti didunia kerja
Masalah yang disajikan sedapat mungkin memang
merupakan cerminan masalah yang dihadapi kerja. Siswa bisa memamfaatkannya
nanti bila menjadi lulusan yang akan bekerja.
b.
Dibangun dengan memperhitung pengetahuan sebelumnya.
Masalah yang dapat dirancang dapat membangun
kembali pemahaman siswa atau pengetahuan
yang telah didapat sebelumnya. Jadi, sementara pengetahuan-pengetahuan yang
baru didapat, ia bisa melihat kaitannya
dengan bahan yang telah ditentukan dan dipahami sebelumnya.
c.
Membangun pemikiran yang metakognitif dan
konstruktif
Masalah yang diberikan membuat siswa terdorong
melakukan pemikiran metakognitif. Artinya kita berefleksi seperti apa pemikiran
kita terhadap suatu hal.
d.
Meningkatkan minat dan motivasi dalam pembelajaran.
Dengan masalah yang menarik dan menantang siswa
akan tergugah untuk belajar. Bila relavansinya tinggi nanti saat praktik,
biasanya siswa teransang rasa ingin tahunya dan bertekat untuk menyelesaikan
masalahnya. Diharapkan pembelajran yang tadinya tergolong pasif bisa tertarik
untuk aktif.
e.
Sasaran pembelajaran terlaksana dengan baik
Sasaran tersebut dapat sendiri oleh siswa saat
mereka bernalar dan melakukan revisi.[35]
Namun demikian, selain keunggulan pembelajaran
berbasis masalah juga mempunyai kelemahan, antara lain:
a.
Mana kala siswa tidak memliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang mempelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa
enggan untuk mencoba.
b.
Keberhasilan model pembelajaran berbasis masalah membutuhkan waktu untuk
persiapan.
c.
Kapasitas siswa yang banyak sulit bagi guru yang menerapkan pembelajaran
ini.[36]
C.
Pembelajaran Konvensional
Ujang Soekandi mendeskripsikan bahwa pendekatan
konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang
konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah agar siswa mengetahui sesuatu
bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan ada saat proses pembelajaran siswa
lebih banyak mendengarkan. Disini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang
dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya
sebagai “pentranfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of computer technologi menyebutnya dengan istilah “pengajaran
tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada
guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan
disekolah-sekolah diseluruh dunia. Berdasarkan penjelasan diatas, maka
pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang
lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke
siswa, metode pembelajaran lebih banyak metode ceramah dan demontrasi, dan
materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Pada pembelajaran konvesional guru berperan aktif
dibandingkan dengan siswa, kegiatan guru yang yutama adalah menerangkan dan
siswa mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Dalam proses
mengajar guru hanya berpedoman pada buku teks dan LKS, guru hanya menggunakan
metode ceramah dan tanya jawab, siswa sendiri harus mengikuti cara belajar yang
dipilih oleh guru dengan patuh dan siswa jarang sekali mendapatkan kesempatan
untuk bertanya dan bernalar ataupun memberikan tanggapan, sehingga pembelajaran
konvesional siswa menjadi pasif dan hasil belajar siswa menjadi kurang bermakna
karena pembelajaran ditekankan pada hafalan. Pembelajaran konvensional sendiri
mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
1. tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik
dengan mendengarkan
2. sering tetjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa
tertarik dengan apa yang dipelajari
3. pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan
pemikiran yang kritis
pembelajaran konvensional lebih mengutamakan pada tujuan
penbelajaran penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses
meniru dan siswa dituntut untuk dapat menguggkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari melalui latihan atau tes standar. Karakteristik pembelajaran
konvensional dalam penerapan dikelas antara lain:
1. siswa adalah penerima informasi
2. siswa cenderung belajar secara individual
3. pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis
4. perilaku dibangun atas dasar kebiasaan
5. keterampilan dikembangkan atas dasar latihan
berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran
konvensional dimaknai sebagai pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada
guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode
pembelajarannya dengan penyampaian informasi, dimana guru berbicara memberikan
materi ajar secara aktif dan peserta didik mendengarkan atau menerimanya.
D.
Perbedaan
Pedagogik Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dengan
Pembelajaran Konvensional.
Berikut
ini akan diperlihatkan perbedaan pembelajaran konvensional dengan pembelajaran
berbasis masalah, yaitu sebagai berikut:
Tabel
2.1 Perbedaan Pedagogik
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dengan Pembelajaran Konvensional.
No
|
Pembelajaran Berbasis Masalah
|
Pembelajaran Konvensional
|
1
|
Guru
menjelaskan masalah kepada siswa dan meminta kepada siswa untuk mengemukakan
ide mereka untuk memecahkan masalah tersebut dengan mencari dan menemukan
jawaban dari sesuatu yang dipertanyakan
|
Siswa
memperoleh informasi secara pasif, guru mendomonasi pembelajaran
|
2
|
Aktivitas
pembelajaran dilakukan melalui tanya proses tanya jawab antara guru dan siswa
dalam menyelesaikan soal
|
Kesempatan
siswa terbatas, lebih banyak mendengar dan menonton hasil kerja guru
|
3
|
Guru berperan
sebagai konsultan, teman kritis dan fasilitator
|
Pemantauan
melalui observasi dan interverensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat
belajar kelompok sedang berlangsung
|
4
|
Siswa secara
bersamaan dengan anggota kelompok mencari selesaian dari permasalahan pada
materi tersebut
|
Akuntabilitas
individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah
seorang siswa sedangkan yang lainnya hanya melihat
|
5
|
Kegiatan
didalam terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan
sehari-hari kedalam dunia matematika
|
Pembelajaran
bersifat abstrak tanpa mengaitkan dengan kehidupan nyata
|
6
|
Berorientasi
pada bagaimana proses siswa mendapatkan jawaban
|
Penekanan
sering hanya pada penyelesaian tugas
|
E. Teori Belajar Yang Mendukung Metode Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning)
Ada beberapa teori tentang belajar yang mendukung
metode problem based learning (PBL), beberapa diantaranya adalah:
1.
Teori Belajar Menurut Piaget
Menurut “Peaget” belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangankognitif peserta didik. Peserta
ddik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik
yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan
tilikan dari guru.[37]
Implikasi teori perkenbanmgan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang
dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuia
dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat
menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi denagn lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya
dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya.
5. Didalam
kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temannya.[38]
Jadi, guru dalam teopri peaget ini hendanya banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan
sekitarnya. Teori peaget ini sesuai dengan metode PBL (Problem Based Learning),
yang mana metode PBL juga menekankan kepada peserta didik agar berinteraksi
aktif dengan lingkungan sekitar dan guru sebagai tenaga pengajar juga
memberikan kesempatan belajar kepada siswanya.
2.
Teori Belajar Menurut Gagne
Menurut
“Gagne” bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian dialah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.[39]
Dalam pemprosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi- kondisi
dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam
diri individuyang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif
yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut
Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi;
(2) pemahaman; (3) pemorolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6)
generalisasi; (7) perlakuan: (8) umpan balik.[40]
Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Keduanya sangat berkaiatn erat dan tidak dapat dipisahkan agar
hasil belajar siswa dapat tercapai sebaik mungkin. Teori belajra menurut Gagne
ini juga sesuai dengan metode PBL, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
yaitu pada metode PBL siswa belajar menyusun pengetahuan yang dipperoleh dengan
cara membangun penalaran yang diperoleh dari hasil berinteraksi dengan sesama
individu sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Jadi
lingkingan sangat mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Hai ini sama
dengan teori belajar yang dimukakan oleh Gagne.
3.
Teori Belajar Menurut Bruner
Menurut “Bruner” belajar bermakna hanya dapat
terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar
penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar
penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan baerpikir secara bebas dan
melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan
masalah.[41]
Dalam teori belajarnya,
Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif
jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam
hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1. Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru
2. Tahap transformasi, yaitu tahap memahami,
mencernakan dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam
bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan
3. Evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil
trasformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.[42]
Teori Bruner mempunyai ciri khas dari pada teori
belajar yang lain yaitu tentang ”discovery” yaitu belajar dengan menemukan
konsep sendiri. Disamping itu, karene teori Bruner ini banyak menuntut
pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut “kurikulum
spiral kurikulum”. Kelebihan-kelebihan dari teori belajar menurut Bruner
diantaranya adalah pengetahuan siswa bertahan lama, meningkatkan penalaran
siswa dalam belajar, siswa cenderung berfikir kiritis dan melatih
keterampilan-keterampilan siswa dalam memecahkan masalah. Kelebihan-kelebihan
dari teiri belajar Bruner ini juga merupakan kelebihan-kelebihan dari metode
PBL. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori belajar menurut Bruner ini mendukung
metode PBL.
F.
Hasil Penelitian Yang Relevan
Terdapat
beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan model problem
based learning, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Suhaila pada
tahun 2010 dengan judul “Penerapan Model Problem Based Learning untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Peluang di Kelas XI SMA Negeri 5
Lhokseumawe”. Tujuan penelitia ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
penerapan model problem based learning dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas XI SMA negeri 5 Lhokseumawe pada materi peluang. Tahap-tahap
pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap
(1)mengorientasi siswa pada masalah, tahap (2)mengorganisasikan siswa untuk
belajar, tahap (3)membimbing penyelidikan individual dan kelompok, tahap
(5)menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom
action research). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5
Lhokseumawe sebanyak 31 siswa. Adapun indikator keberhasilan penelitian ini
adalah sebagai berikut: Penelitian ini berhasil atau tuntas apabila 75% siswa
memperoleh skor KKM dan
kegiatan pembelajaran baik dari sisi peneliti maupun siswa berdasarkan hasil
observasi berada pada kategori baik, secara keseluruhan hasil penelitian
menunjukkan pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning
efektif diterapkan pada materi peluang di kelas XI IPA SMA Negeri 5
Lhokseumawe. Hal ini dikarenakan beberapa aspek criteria keefektifan
pembelajaran terpenuhi, yaitu sebagai berikut: (1) hasil belajar siswa
meningkat atau tuntas dengan persentasedari 64,51% menjadi 93,5% pada materi
peluang disub materi aturan perkalian dalam masalah sehari-hari. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan model problem based lerning dapat
meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5
Lhokseumawe. (2) aktifitas siswa dalam mengikuti pembelajaran sangat aktif, hal
ini terlihat dari perolehan persentase hasil observasi yang terus mengalami
peningkatan yaitu dari 75% meningkat menjadi 93,18%. (3) kemampuan peneliti dalam
mengelola pembelajaran berada pada kategori “sangat baik”. Hal ini juga
berdasarkan peningkatan hasil observasi yang terus meningkat, dimana perolehan
persentase sebesar 79,17% meningkat sebesar 90,28%, yaitu mengacu pada
indicator keberhasilan penelitian, maka secara keseluruhan telah tercapai
sehingga dapat dikatakan bahwa dengan penerapan model problem based learning
hasil belajar siswa SMA Negeri % Lhokseumawe pada materi peluang lebih
meningkat.
Selain
itu penelitian Aan Hasanah pada tahun 2009 dalam penelitiannya yang berjudul
“Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa
Sekolah Menengah Pertama Melalui Problem Based Learning yang menekankan
pada Representasi Matematika”. Penelitian
ini merupakan studi
eksperimen di SMP
Negeri 6 Cimahi
dengan subjek populasinya adalah seluruh siswa SMP dan mengambil 2
sampel kelas II SMP Negeri 6
Cimahi secara acak
dari 11 kelas
yang ada. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1)
kemampuan pemahaman matematika pada
kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah
dengan menekankan representasi matematik lebih baik dari matematika dari
kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran
biasa, (2) kemampuan penalaran
matematika kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran berbasis
masalah dengan menekankan
representasi matematik lebih baik dari
matematika dalam kelompok yang memperoleh
pembelajaran biasa, (3) Terdapat
korelasi yang signifikan
antara kemampuan pemahaman dan
penalaran matematika, (4) sikap
siswa pada kelompok eksperimen
terhadap pembelajaran berbasis
masalah dengan menekankan
representasi matematika adalah positif, (5) pada kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran berbasis
masalah dengan menekankan
representasi matematika
siswa lebih aktif
belajar dari matematika dari kelompok
siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa.
Selanjutnya
penelitian Susilawati pada tahun 2007,
dalam penelitiannya yang
berjudul “Penerapan Problem Based Learning Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengajukan dan
Memecahkan Masalah Matematika
Siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Neger i Di
Bandung”. Menunjukkan hasil bahwa:
Kemampuan siswa mengajukan dan
memecahkan masalah matematika sebelum pembelajaran dengan pendekatan problem
based learning, telah ada namun masih tergolong rendah, hal ini terlihat
dari kecilnya persentase
pengajuan dan pemecahan
masalah matematika terselsaikan mengandung
informasi baru. Melalui
penerapanpembelajaran problem
based learning kemampuan
siswa mengajukan dan memecahkan masalah
matematika mencapai kriteria
hasil belajar yang
baik, secara kualitas terdapat
perbedaan yang signifikan
antara siswa yang pembelajarannya dengan
pendekatan problem based learning
dan yang menggunakan pembelajaran
dengan pendekatan biasa.
Hal ini nampak
dari besarnya jumlah respon siswa mengajukan dan memecahkan masalah
matematika yang berkualifikasi tinggi.
Secara umum siswa memiliki sikap
positif terhadap
pembelajaran dengan pendekatan problem based learning,
demikian pula sikap positif. Sikap
positif ini menjadi
faktor pendukung siswa
dalam upaya meningkatkan proses
dan keberhasilan dalam belajar matematika.
G.
Materi Jaring-Jaring Kubus Dan Balok
Materi jaring-jaring kubus dan balok yang
dipelajari pada penelitian ini adalah memberikan contoh jaring-jaring kubus dan
balok,menyatakan pengertian jaring-jaring kubus dan balok dan menggambarkan
jaring-jaring kubus dan balok.untuk memudahkan mempelajari materi ini guru
menggunakan alat peraga terutama dalam menggambar jaring-jaring kubus dan
balok. Alat peraga yang digunakan adalah kubus dan balok yang terbuat dari
kertas karton dan kertas karton digunting menyerupai sisi kubus dan balok.
Memperagakan gambar jaring-jaring kubus dan balok,
dalam penelitian ini akan dibahas sebagai berikut:
1. Memperagakan menggambar jaring-jaring kubus.
|
|||||||
|
|||||||
|
|||||||
Gambar 2.1 Kubus
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||
|
||||||||||
|
||||||||||
|
||||||||||
|
||||||||||
Gambar 2.2 Kubus yang diiris menurut rusuk-rusuk tertentu
Guru menyediakan kubus yang terbuat dari karton
seperti pada gambar 2.1 kemudian menyuruh siswa untuk mengiris kubus tersebut.
Jika kubus itu diiris sepanjang rusuk AE, EH, HD, EF, FB, HG, dan GC seperti
gambar 2.2, kemudin direbahkan diatas bidang datar maka akan diperoleh bangun
datar yang disebut jaring-jaring Kubus sperti pada gambar 1.3 berikut:
|
|
Gambar 2.3
jaring-jaring Kubus
Gambar 2.3 diatas adalah salah satu bentuk
jaring-jaring Kubus ABCD,EFGH. Jaring-jaring Kubus merupakan rangkaian enam
buah persegi yang jika dilipat menurut garis persekutuan dua persegi dapat
membentuk Kubus dan tidak ada sis yang
ganda. Dengan menggunakan gunting kertas karton yang berbentuk sisi-sisi Kubus,
siswa dapat menggambar jaring-jaring Kubus dalam bentuk yang lain.
2.
|
Memperagakan
menggambar Jenis-Jenis balok
Gambar 2.4
Balok
Gambar 2.5 Balok yang diiris menurut rusuk-rusuk tertentu.
Guru menyediakan balok yang terbuat dari karton
seperti pada gambar 2.4 kemudian menyuruh siswa untuk mengiris balok tertsebut,
apabila balok diiris menurut rusuk-rusuk tertentu sehingga tidak ada satupun
sisi yang terlepas dari sisi lainnya. Jika Balok itu diiris sepanjang AE, EH,
HD, EF, FB, HG, dan GC seperti pada gambar 2.5, kemudian direbahkan diatas
bidang datar maka diperoleh bangun datar yang disebut jaring-jaring balok
seperti pada gambar 2.6 berikut ini.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar
2.6 jaring-jaring Balok
Gambar 2.6 diatas adalah salah satu bentuk
jaring-jaring Balok ABCD,EFGH. Jaring-jaring Balok adalah rangkaian enam buah
persegi panjang yang dilipat-lipat menurut garis persekutuan dua persegi
panjang maka akan membentuk sebuah balok. Dengan menggunakan guntingan kertas
karton yang berbentuk sisi Balok siswa dap[at merancang atau menggambar
jaring-jaring Balok dalam bentuk lain.
H.
Hipotesis Tindakan
Hipotesis merupakan dugaan sementara dari seorang
peneliti dan kebenaran dari hipotesis tersebut membutuhkan suatu pembuktian.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sukardi bahwa “hipotesis
secara definisi berarti jawaban sementara yang kebenarannya masih diuji dengan
data yang diperoleh dari lapangan.”[43]
Berdasarkan pendapat diatas maka yang menjadi
hipotesis dalam penelitian ini adalah “Dengan Penerapan Metode Pembelajaran
Berbasis Masalah Pemahaman Konsep pada materi jaring-jaring kubus dan balok Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Syamtalira Aron akan
lebih meningkat.”
[1] Zakiah Darajdjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Cet IV, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2000), hal. 47.
[2] Herman Hudojo, Strategi Mengajar Belajar Matematika,
(Malang: IKIP Malang, 1990) hal. 14.
[3]Wawan Dasna dan Sutrisno, Pembelajaran Berbasis Masalah, (Problem
Based Learning), Jurnal Pendidikan, (online) di akses melalui situs; http://lubisgrafura.
Wordpress.com/2007/09/19 Pembelajaran Berbasis Masalah/16 Januari 2012.
[4]Ibid,
[5] Tanwey
Gerson Ratumanan, Belajar dan
Pembelajaran, (Ambon : Unesa University
Press, 2004), hal.148
[6] Darjitno dikutip dalam
Dian Anggraini, (Pemahaman Konsep Bangun Datar Segi Enpat pada siswa kelas VIII
SMP Negeri & Lhoksemawe, “Skripsi,
(Lhoksemawe: STAIN Malikussaleh, 2009), hal. 6.
[7] Ibid, hal. 19
[8] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 50.
[9] Sunardi dan haryanto, Matematika Kelas III SLTP, ( Jakarta,
PT. Cemaka Putih, 1999 ). Hal.3.
[10] Tim Pengembangan
Kompetensi, Matematika Kelas I SLTP,
( jakarta, PT. Sinar Grafika, 2003 ), hal. 250.
[11] Ibid, hal. 244.
[12] Ibid, hal. 245.
[13] Suradi,
Yeori Pembeentukan Konsep dan Hubungannya dengan Pembelajaran Matematika, “Jurnal Matematika atau Pembelajarannya,
“ No. 8 Edisi Khusus, (2002), hal. 587-591.
[14] Ibid, hal. 587.
[15] Ibid, hal. 587.
[16] E.V.Berg, Miskonsepsi Fisika dan Remediasi,
(Salatiga: UKSW, 1991), hal. 63.
[17] Woolfolk dikutip di
dalam Suradi, Teori Pembentukan Konsep dan Hubungannya dengan Pembelajaran
Matematika, “Jurnal Matematika atau
Pembelajarannya, “ No. 8 Edisi Khusus, (2002), hal. 588.
[18] Ibid, hal 82.
[20] Ibid, hal 63.
[21]R.W.Dahar, Teori-teori Belajar, (Jakarta:
Depdikbud, 1989), hal. 40.
[22] Hasanah Aan, Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan
Penalaran Matematik melalui Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan Pada
Representasi Matematik, (Bandung: UPI, 2004).
[24] Fariza, Peningkatan kemampuan Pemahaman
Matematika... ..., hal. 45.
[25] Evranita, Pemahaman Konsep dalam Matematika,
(Online), 2010, http://www.bpgdisk-
[26]Al-Krismanto dan Agus Dwi
Wibawa, Modul Matematika SMP Program
Bermutu, (Yogyakarta: PPPPTK, 2010), hal. 18.
[27] Ilawati,
pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah berbasis realistik untuk
meningkatkan pemahaman konsep pada materi PLDV kelas VIII di SMPN murah mulia,
“Skripsi, (lhokseumawe: STAIN malikussaleh, 2010), hal. 71.
[28] Abbas, Pengambangan Perengkat Pembelajaran
Matematika Berorientasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah, (Surabaya :
Unesa University Press, 2000), hal 12
[29] Suhaila, Penerapan Model Problem Based Learning Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Meteri Peluang di Kelas XI SMA Negeri 5
Lhokseumawe, (lhokseumawe : STAIN Malikussaleh, Skripsi, 2010), hal.25
[31] Abbas,
Pengambangan Perengkat Pembelajaran
Matematika Berorientasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah, (Surabaya :
Unesa University Press, 2000), hal 12
[32] Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya
dalam KBK, (Malang Universitas Negeri Malang, 2003), Hal 56
[33] Tanwey
Gerson Ratumanan, Belajar dan
Pembelajaran, (Ambon : Unesa University
Press, 2004), hal.148
[36] Muslim
Ibrahim, Pembelajaran Berdasarkan Masalah,
(Surabaya :
Unesa University Press, 2005) hal. 27
[37] Dr. H. Syaiful Sagala,
konsep dan makna pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal.24.
[38] Ibid, hal.25
[40] Ibid, hal. 18
[41] Ibid, hal. 35.
[42] Ibid, hal. 36.
[43] Sukardi. Metodologi Penelitian Kompetensi dan
Prakteknya, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) hal .49
No comments:
Post a Comment