BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Pemahaman Konsep
1.
Pengertian
pemahaman Konsep
Para
ahli spikologi menyadari pentingnya konsep, sehingga definisi yang diberikan
berdasarkan pandangan masing-masing dan belum ada yang disepakati secara umum.
Woolfolk mendefinisikan konsep sebagai “suatu katagori yang digunakan untuk
mengelompokkan ide-ide, peristiwa-peristiwa, orang-orang, objek-objek yang
serupa.”[1]
ormrod mendefinisikan konsep sebagai “suatu cara pengelompokan atau
pengkatogorian secara mental dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa didunia.
”[2]
Menurut Gagne konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita
mengelompokkanbenda-benda kedalam contoh atau
noncontoh.
”[3]
Definisi-definisi
konsep yang dikemukakan diatas pada dasarnya mengacu pada sesuatu yang diterima
dalam pikiran atau suatu ide yang umum dan abstrak. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Darjitno bahawa “Konsep adalah pengertian umum.”[4]
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan diatas maka dapat kita pahami bahwa
konsep merupakan pengertian umum yang berupa ide abstrak dari sekelompok objek,
sehingga memungkinkan kita untuk mengelompokkan objek-objek yang lain kedalam
contoh atau non contoh dari sekelompok tersebut.
Konsep
dalam matematika merupakan salah satu objek kajian disamping tiga objek yang
lain, yaitu: fakta, (relasi) dan prinsip. Selain itu, konsep-konsep dalam
matematika disusun dari konsep-konsep terdahulu dan fakta-fakta. Sedangkan
untuk menunjukkan konsep tertentu digunakan batasan atau definisi. Hal ini
memberikan gambaran bahwa suatu konsep digunakan secara berkesinambungan untuk
menjelaskan konsep-konsep lain dalam matematika, karena sifat dari matematika
adalah hirarkis. Dengan demikian kesalahan konsep yang diterima oleh siswa akan
berakibat fatal untuk mempelajari konsep-konsep berikutnya yang berkaiatn
dengan konsep tersebut.
Untuk
memahami suatu konsep siswa didorong memiliki kemampuan untuk mengorganisasi,
memproses, menyimpan dan mengungkapkan kembali struktur pengetahuan atau
informasi yang telah diperolehnya. Kunci untuk memahami startegi-strategi yang
dipakai siswa untuk memperoleh konsep ialah dengan cara menganalisis bagaimana
cara mereka mendekati atau memahami informasi yang ada melalui contoh-contoh.
Selain khusus, apakah mereka itu mengkonsentrasikan pada contoh khusus tentang suatu informasi, atau apakah mereka
itu mengingat semuanya atau sebagian besar informasi ?.
Jika
dihubungkan dengan pengertian belajar, maka belajar konsep adalah belajar untuk
memperoleh konsep. Terbentuknya konsep dalam benak siswa adalah tujuan utama
dari belajar konsep. Konsep yang terbentuk sebagai hasil belajar akan menjadi
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa. Menurut Peaget bahawa
“Terbentuknya pengetahuan baru ini dapat terjadi karena proses asimilasi dan
akomodasi. ”[5]
Amisilasi
adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru dan langsung menyatu
dengan struktur mental yang sudah dimiliki oleh seseorang. Ausubel
berpendapat bahwa “pembentukan konsep
dengan asimilasi mengikuti pola ruleeg. ”[6]
Dalam hal ini siswa terlebih dahulu
diberikan definisi dari suatu konsep kemudian dilanjudkan dengan memberikan
contoh-contoh dari konsep tersebut. Dengan demikian diharapkan siswa dapat
memahami konsep yang dipelajari.
Akomodasi
adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan
pengalaman baru. Ausubel menyatakan bahwa “pembentukan konsep dengan akomodasi
mengikuti pola eg-rule.”[7]
pada pola ini siswa diberikan sejumlah objek yang merupakan contoh dan
noncontoh dari konsep tertentu, kemudian melalui proses deskriminasi dan
abstraksi siswa menetapkan suatu aturan untuk menentukan kriteria dari konsep
tersebut.
Hasil
belajar konsep yang dialami siswa berupa konsepsi yang terbentuk dari benak
masing-masing siswa. Konsepsi yang dimiliki masing-masing siswa mungkin berbeda
antara satu siswa dendgan siswa lainnya. Hal ini sesuai dengan pemahaman mereka
masing-masing selama proses belajar berlangsung. Hal ini seperti yang
dinyatakan oleh Darjitno bahwa “konsepsi dapat berbeda untuk setiap orang. ’’[8]
Adapun
konsepsi yang diharapkan terbentuk dalam benak siswa setelah proses belajar
berlangsung adalah konsep yang benar sesuai dengan konsep yang dipelajari,
yaitu konsep yang sesuai dengan konsep ynag dikemukakan/disepakati oleh para
ahli. Atau dengan kata lain konsepsi yang dimilki oleh siswa merupakan konsep
keilmuan.
Namun
teerbentuknya konsepsi yang salah adalah kemungkinan yang bisa saja terjadi,
karena konsepsi yang terbentuk pada siswa didasarkan pada kemampuan mereka
dalam memaknai apa yang mereka pelajari selama proses belajar berlangsung.
Dengan kata lain konsepsi merupakan tafsiran tentang suatu konsep. Hal inni
seperti yang dinyatakan oleh Dahar bahwa “konsepsi ialah pengertian/pendapt
yang terbentuk dalam pikiran tentang sesuatu idea, gagasan. ”[9]
Bedasarkan
uraian diatas menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dimilki oleh siswa
setelah melalui suatu proses pembelajaran matematika dapat dilihat dari
indikator-indikator yaitu:
1)
Menyatakan ulang sebuah
konsep,
2)
Mengklasifikasi
objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya),
3)
Memberi contoh dan non
contoh dari konsep,
4)
Menyajikan konseb dalam
berbagai bentuk representasi matematis,
5)
Mengembangkan syrat
perlu atau syrat cukup suatu konsep
6)
Menggunakan,
memamfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu,
7)
Mengaplikasikan konsep
atau algoritma pemecahan masalah.[10]
Pada kurikulum 2004 Standar Kompetensi
Penbelajaran Matematika SMP/MTS dinyatakan bahwa kemampuan yang perlu
diperhatikan dalam penilaian pembelajaran matematika antara lain adalah
pemahaman konsep dan prosedur (algoritma). Lebih jauh dinyatakan bahwa siswa
dikatakan memahami konsep bila siswa mampu mendefinisikan konsep,
mengindeitifikasi dan memberikan contoh atau bukan contoh dari konsep.
Sedangkan siswa dikatakan memahami prosdur jika mampu mengenali prosedur atau
proses menghitung yang benar atau tidak benar.
Dengan
demikian dapat peneliti tentuakn indikotor pemahaman konsep matematiak yang
menjadi rumusan dalam penelitian ini, dimana rumusan tersebut peneliti membuat
soal tes bentuk uraian sebagai alat ukur mengacu pada indikator-indikator
yaitu: (1) menuliskan konsep, (2) mengindentifikasi konsep, (3) memberikan
contoh konsep dan bukan contoh konsep dan (4) menerapkan konsep dalam pemecahan
masalah.
2. Golongan dan Jenis-Jenis Pemahaman Konsep
Pemahaman berdasarkaan taksonomi tujuan dari Bloom
menyebutkan bahwa pemahaman dapat digolongkan dalam tiga segi yang berbeda
yaitu[11] :
a.
Pemahaman Translasi
Pemahaman translasi adalah kemampuan
untuk memahami suatu ide yang dinyatakan dengan cara lain dari pada pernyataan
asli yang dikenal sebelumnya. Misalnya, individu mampu mengubah soal yang
tertulis dalam kalimat kedalam bentuk symbol dan sebaliknya.
b.
Pemahaman Interprestasi
Pemahaman
interprestasi adalah kemampuan untuk memahami atau mampu mengertikan suatu ide
yang diubah atau disusun dalam bentuk lain seperti kesamaan,grafik, tabel,
diagram dan sebagainya
c.
Pemahaman Ekstrapolasi
Pemahaman ekstrapolasi adalah keterampilan untuk
meramalkan kelanjutan dari kecendrungan yang ada menurut data tertentu.
Sedangkan jenis pemahaman menurut Skemp menyatakan bahwa pemahaman ada dua
jenis, yaitu:
1.
Pemahaman instrumental, yaitu hafalan sesuatu secara terpisah atau dapat
menerapkan suatu pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan suatu secara
algoritmik saja.
2.
Pemahaman relisional, yaitu dapat mengaitkan suatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses
yang dilakukan.[12]
Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman
konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana.
Dalam hal ini seseorang hanya memahami urutan pegerjaan atau algoritma.
Sedangkan pemahaman resional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan
pada penjelasan masalah yang lebih luas dan sifat pemakaian lebih bermakna.
3.
Manfaat Pemahaman Konsep
Menurur
Evranita pengajaran yang menekankan kepada pemahaman mempunyai sedikitnya 5
(lima) keuntungan sebagai berikut:
1.
Pemahaman memberikan generatif artinya bila seorang telah memahami suatu
konsep, maka pengetahuan itu akan mengakibatkan pemahaman yang lain karena
adanya jalinan antar pengatahuan yang dimulai siswa.
2.
Pemahaman memacu ingatan artinya suatu pengetahuan yang telah dipahami
dengan baik akan diatur dan dihubungkan secara efektif dengan pengetahuan yang
lain.
3.
Pemahaman mengurangi banyak hal yang harus diingat artinya jalinan yang
terbentuk antara pengetahuan yang satu dengan yang lain dalam struktur
kognitif siswa yang mempelajarinya
dengan penuh pemahaman merupakan jalinan yang sangat baik.
4.
Pemahaman meningkatkan transfer belajar artinya pemahaman suatu konsep
matematika akan diperoleh siswa yang aktif menemukan kesurupaan dari berbagai
konsep tersebut.
5.
Pemahaman mempengaruhi keyakinan
siswa yang memahami matematika dengan baik akan mempunyai keyakinan yang pasti
yang selanjutnya akan membantu perkembangan pengetahuan matematikanya.[13]
Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui
tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik
dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat mmberikan uraian yang lebih rinci
tentang hal itu dengan menggunakan kata-kata sendirinya.
Kemampuan pemahaman adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran,
memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan
hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih
mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri.
B.
Metode Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
1.
Pengertian Metode Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning)
Menurut Arends dalam Abbas, Metode pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah “ metode
pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun
pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan
inkuiri, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri”.[14]
H.S Barrow dalam Suhaila sebagai pakar pembelajaran
berbasis masalah menyatakan bahwa definisi pembelajaran berbasis masalah adalah
”sebuah metode pembelajaran yang
didasarkan pada prinsip bahwa masalah digunakan sebagai titik awal untuk
mendapatkan atau menginteraksikan ilmu baru.dengan demikian masalah yang ada
digunakan sebagai sarana agar siswa dapat menyokong keilmuannya”.[15] masalah
yang dijadikan sebagai titik awal pembeljaran tersebut harus berdasarkan
masalah dunia nyata, yang dapat memancing siswa untuk menyelasaikannya
berdasarkan pengetahuan yang mereka
sudah kuasai sebelumnya sehingga akan terbentuk pengetahuan yang baru dan siswa
memilki ketrampilan dalam menyelasaiklan masalah, sebagai yang dikatakan oleh
Ward dalam Suhaila menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah “suatu
metode pembelajaran yang melibatkan
siswa untuk memecahakan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah
sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhunbungan dengan
masalah-masalah tersebut dan sekaligus memliki terampilan dalam menyelasaikan
masalah”.[16]
Metode ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan
nyata sebagi sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan
ketrampilan berfikir kritis dan memecahkan masalah, serta menadapatkan pengetahuan
konsep-konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu
siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah
penggunaanya didalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam situasi
berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana itu belajar. Dalam metode pembelajaran berbasis masalah, guru berperan
sebagi penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukam masalah
dan memberi fasilitas penelitian. Selain itu guru menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan
inkuiri dan intelektual siswa. Pembelajaran berbasis masalah hanya dapat
terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan
membimbing pertukaran gagasan. Pembelajaran berbasis masalh juga dapat meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan dan aktifitas siswa, baik secara individual maupun
secara kelompok. Pada pembelajaran berbasis masalah guru berperan pemberi
rangsanganm, pembimbing kegiatan siswa dan penentu arah belajar siswa.
Jadi pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah
pembelajaran yang memberikan masalah sebagai awal pembelajaran untuk
mendapatkan ilmu yang baru serta melibatkan siswa dalam penyelesaiannya.
2.
Ciri-ciri Metode Pembelajaran berbasis Masalah
Berbagai perkembangan pembelajaran berbasis masalah
telah menunjukkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:
a.
Pengajuan Masalah atau Pertanyaan
Pembelajaran berbasis masalah bukan hanya
mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu,
pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pembelajaran disekitar
pertanyaan dan masalah keduanya secara sosial penting dansecara pribadi
bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan pada situasi kehidupan nyata yang
autentik, menghindari jawaban sedrhana dan memungkinkan adanya berbagai macam
solusi untuk situyasi itu. menurut Arends dalam Abbas, pertanyaan dan masalah
yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
Autentik, yaitu masal;ah harus lebih berakar pada kehidupan nyata siswa dari
pada berakar pada prinsip-prinsip ilmu tertentu.
2.
Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan
jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya
menyulitkan penyelesaian siswa.
3.
Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah
dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa.
4.
Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya
bersifat luas, artinya masalah tersebut m,ecakup seluruh materi pelajaran yang
akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber tersedia. Selain itu,
masalah yang telah disusun tersebutt harus didasarkan pada tujuan penbelajran
yang telah ditetapkan.
5.
Mamfaat, yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermamfaat,
baik siswa sebagi pemecah masalh maupun guru sebagi oembuat masalah. Masalah
yang bermamfaat adalah masal;ah yang dapat m,eningkatkan kemampuan berfikir
memecahkan siswa, serta membangkitkan motifasi belajar siswa.[17]
b.
Berfokus pada keterkaiatan antara disilpin
Meskipun pembelajaran berbasis masalah mungkin
berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu Spsial),
masalah yang akan diselediki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
c.
Penyelidikan Autentik
Pembelajaran berbasis masalah siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis
dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen (jika diperlukan), membuat referensi dan merumuskan kesimpulan.
Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang
dipelajari.
d.
Menghasilkan Produk/Karya dan Menerlukannya.
Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan
yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, metode fisik, vidio atau program komputer.[18]
Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa
bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam
kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat
dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan
dialog serta untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
3.
Tahap- tahap Pembelajaran Berbasis Masalah
Peran siswa secara umum dalam pembelajaran berbasis masalah
adalah mempersiapkan diri untuk belajar dan bekerja secara berkelompok serta
berperan aktif dalam pembelajaran. Arends mengemukakan ada 5 langkah utama
dalam penggunaan pembelajaran berbasis masalah. Langkah tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Tahapan Pengalisis Berbasis Masalah
Tahapan
|
Tinngkah Laku Guru
|
Tahap 1:
Orientasi kepada masalah.
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan,memotivasi siswa agar terlibat pada pemecahan
masalah yang dipilihnya.
|
Tahap 2:
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
|
Tahap 3:
Membimbing menyelidikan individual dan kelompok.
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya.
|
Tahap 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
|
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, vidio dan metode serta membantu mereka berbagi tugas dengan
temannya.
|
Tahap 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan.
|
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
|
Sumber: Tanwey Gerson Ratumanan.[19]
Adapun
pelaksanaan tahapan pembelajaran berbasis masalah membutuhkan banyak perencanaan, seperti
halnya metode -metode pembelajaran yang
berpusat pada siswa lainnya, antara lain:
1.
Penetapan tujuan
Pertama kali mendeskripsikan bagaimana penbelajaran
berbasis masalah direncanakan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti
keterampilan, menyelidiki dann membantu siswaa belajar secara mandiri. Dalam
pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah bisa diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah disampaikan.
2.
Merancang situasi masalah
Dalam penelitian ini, peneliti memberikan siswa keluasan dalam memilih
masalah untuk diselidiki karena cara ini dapat membangkitkan motivasi siswa.
Masalah yang bersifat autentik, mengandung teka-teki dan tidak terdefinisikan
secara ketat, memungkinkan bekerjasama, bermakana bagi siswa dan konsisten
dengan tujuan pembelajaran.
3.
Organisasi sumber daya dan logistik
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa dimungkinkan peralatan ataupun
media dengan materi dengan materi yang dipelajari.
4.
Keunggulan dan Kelemahan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Wina Sanjaya pembelajaran berbasis masalah
mempunyai keunggulan sebagai berikut:
a. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus
untuyk lebih memahami isi bacaan.
b. Pemecahan masalah dapat menentang kemampuan serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru siswa.
c. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas
pembelajaran siswa’
d. Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana
mentranfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan siswa.
e. Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk
mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang
mereka lakukan.
f. Melalui pemecahan masalah bisa diperlihatkan kepada
siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya cara berfikir dan sesuatu yang
harus dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari
buku-buku saja.
g. Pemecahan masalah dianggap menyenangkan dan lebih disukai
siswa’
h. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan
siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan berfikir mereka untuk
menyelesaikan dengan pengetahuan baru.
i. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk megaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dengan dunia
nyata.
j. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa
untuk secara terus-menerus belajar meskipun belajar pada pendidikan formal
telah berakhir.[20]
Adapun keunggulan pembelajaran berbasis masalah itu
menurut Wee Kek didalam M. Taufik Amir menyebutkan lima keunggulan antara lain:
a.
Punya keaslian seperti didunia kerja
Masalah yang disajikan sedapat mungkin memang
merupakan cerminan masalah yang dihadapi kerja. Siswa bisa memamfaatkannya
nanti bila menjadi lulusan yang akan bekerja.
b.
Dibangun dengan memperhitung pengetahuan sebelumnya.
Masalah yang dapat dirancang dapat membangun
kembali pemahaman siswa atau pengetahuan
yang telah didapat sebelumnya. Jadi, sementara pengetahuan-pengetahuan yang
baru didapat, ia bisa melihat kaitannya
dengan bahan yang telah ditentukan dan dipahami sebelumnya.
c.
Membangun pemikiran yang metakognitif dan
konstruktif
Masalah yang diberikan membuat siswa terdorong
melakukan pemikiran metakognitif. Artinya kita berefleksi seperti apa pemikiran
kita terhadap suatu hal.
d.
Meningkatkan minat dan motivasi dalam pembelajaran.
Dengan masalah yang menarik dan menantang siswa
akan tergugah untuk belajar. Bila relavansinya tinggi nanti saat praktik,
biasanya siswa teransang rasa ingin tahunya dan bertekat untuk menyelesaikan
masalahnya. Diharapkan pembelajran yang tadinya tergolong pasif bisa tertarik
untuk aktif.
e.
Sasaran pembelajaran terlaksana dengan baik
Sasaran tersebut dapat sendiri oleh siswa saat
mereka bernalar dan melakukan revisi.[21] Namun demikian,
selain keunggulan pembelajaran berbasis masalah juga mempunyai kelemahan,
antara lain:
a.
Mana kala siswa tidak memliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang mempelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa
enggan untuk mencoba.
b.
Keberhasilan metode pembelajaran
berbasis masalah membutuhkan waktu untuk persiapan.
c.
Kapasitas siswa yang banyak sulit bagi guru yang menerapkan pembelajaran
ini.[22]
C.
Pembelajaran Konvensional
Ujang Soekandi mendeskripsikan bahwa pendekatan konvensional
ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep
bukan kompetensi, tujuannya adalah agar siswa mengetahui sesuatu bukan mampu
untuk melakukan sesuatu, dan ada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak
mendengarkan. Disini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud
adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai
“pentranfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of computer technologi menyebutnya dengan istilah “pengajaran
tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada
guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan
disekolah-sekolah diseluruh dunia. Berdasarkan penjelasan diatas, maka
pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang
lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke
siswa, metode pembelajaran lebih banyak metode ceramah dan demontrasi, dan
materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Pada pembelajaran konvesional guru berperan aktif
dibandingkan dengan siswa, kegiatan guru yang yutama adalah menerangkan dan
siswa mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Dalam proses
mengajar guru hanya berpedoman pada buku teks dan LKS, guru hanya menggunakan
metode ceramah dan tanya jawab, siswa sendiri harus mengikuti cara belajar yang
dipilih oleh guru dengan patuh dan siswa jarang sekali mendapatkan kesempatan
untuk bertanya dan bernalar ataupun memberikan tanggapan, sehingga pembelajaran
konvesional siswa menjadi pasif dan hasil belajar siswa menjadi kurang bermakna
karena pembelajaran ditekankan pada hafalan. Pembelajaran konvensional sendiri
mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
1. tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik
dengan mendengarkan
2. sering tetjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa
tertarik dengan apa yang dipelajari
3. pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan
pemikiran yang kritis
Pembelajaran konvensional lebih mengutamakan pada
tujuan penbelajaran penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai
proses meniru dan siswa dituntut untuk dapat menguggkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari melalui latihan atau tes standar. Karakteristik
pembelajaran konvensional dalam penerapan dikelas antara lain:
1. siswa adalah penerima informasi
2. siswa cenderung belajar secara individual
3. pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis
4. perilaku dibangun atas dasar kebiasaan
5. keterampilan dikembangkan atas dasar latihan
Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran
konvensional dimaknai sebagai pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada
guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode
pembelajarannya dengan penyampaian informasi, dimana guru berbicara memberikan
materi ajar secara aktif dan peserta didik mendengarkan atau menerimanya.
D.
Perbedaan
Pedagogik Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning) dengan Pembelajaran Konvensional.
Berikut
ini akan diperlihatkan perbedaan pembelajaran konvensional dengan pembelajaran berbasis
masalah, yaitu sebagai berikut:
Tabel
2.2 Perbedaan Pedagogik
Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning) dengan Pembelajaran Konvensional.
No
|
Pembelajaran Berbasis Masalah
|
Pembelajaran Konvensional
|
1
|
Guru
menjelaskan masalah kepada siswa dan meminta kepada siswa untuk mengemukakan
ide mereka untuk memecahkan masalah tersebut dengan mencari dan menemukan
jawaban dari sesuatu yang dipertanyakan
|
Siswa
memperoleh informasi secara pasif, guru mendomonasi pembelajaran
|
2
|
Aktivitas pembelajaran
dilakukan melalui tanya proses tanya jawab antara guru dan siswa dalam
menyelesaikan soal
|
Kesempatan
siswa terbatas, lebih banyak mendengar dan menonton hasil kerja guru
|
3
|
Guru berperan
sebagai konsultan, teman kritis dan fasilitator
|
Pemantauan
melalui observasi dan interverensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat
belajar kelompok sedang berlangsung
|
4
|
Siswa secara
bersamaan dengan anggota kelompok mencari selesaian dari permasalahan pada
materi tersebut
|
Akuntabilitas
individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah
seorang siswa sedangkan yang lainnya hanya melihat
|
5
|
Kegiatan
didalam terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan
sehari-hari kedalam dunia matematika
|
Pembelajaran
bersifat abstrak tanpa mengaitkan dengan kehidupan nyata
|
6
|
Berorientasi
pada bagaimana proses siswa mendapatkan jawaban
|
Penekanan
sering hanya pada penyelesaian tugas
|
E.
Teori Belajar Yang Mendukung Metode Pembelajaran
Berbasis Masalah ( Problem Based Learning)
Ada beberapa teori tentang belajar yang mendukung
metode pembelajaran berbasis masalah
(PBL), beberapa diantaranya adalah:
1.
Teori Belajar Menurut Piaget
Menurut “Peaget” belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangankognitif peserta didik. Peserta
ddik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik
yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan
tilikan dari guru.[23]
Implikasi teori perkenbanmgan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang
dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuia
dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat
menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi denagn lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya
dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya.
5. Didalam
kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temannya.[24]
Jadi, guru dalam teopri peaget ini hendanya banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan
sekitarnya. Teori peaget ini sesuai dengan metode PBL ( metode pembelajaran
berbasis masalah), yang mana metode PBL juga menekankan kepada peserta didik
agar berinteraksi aktif dengan lingkungan sekitar dan guru sebagai tenaga
pengajar juga memberikan kesempatan belajar kepada siswanya.
2.
Teori Belajar Menurut Gagne
Menurut
“Gagne” bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian dialah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.[25]
Dalam pemprosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi- kondisi
dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam
diri individuyang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif
yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut
Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi,
(2) pemahaman, (3) pemorolehan, (4) penyimpanan, (5) ingatan kembali, (6)
generalisasi, (7) perlakuan, (8) umpan balik.[26]
Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Keduanya sangat berkaiatn erat dan tidak dapat dipisahkan agar
hasil belajar siswa dapat tercapai sebaik mungkin. Teori belajar menurut Gagne
ini juga sesuai dengan metode PBL, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
yaitu pada metode PBL siswa belajar menyusun pengetahuan yang dipperoleh dengan
cara membangun pemahaman konsep yang diperoleh dari hasil berinteraksi dengan
sesama individu sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Jadi
lingkungan sangat mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Hai ini sama
dengan teori belajar yang dimukakan oleh Gagne.
3.
Teori Belajar Menurut Bruner
Menurut “Bruner” belajar bermakna hanya dapat
terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar
penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar
penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan baerpikir secara bebas dan
melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan
masalah.[27]
Dalam teori belajarnya,
Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif
jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam
hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1. Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru
2. Tahap transformasi, yaitu tahap memahami,
mencernakan dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam
bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan
3. Evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil
trasformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.[28]
Teori Bruner mempunyai ciri khas dari pada teori
belajar yang lain yaitu tentang ”discovery” yaitu belajar dengan menemukan
konsep sendiri. Disamping itu, karene teori Bruner ini banyak menuntut
pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut “kurikulum
spiral kurikulum”. Kelebihan-kelebihan dari teori belajar menurut Bruner
diantaranya adalah pengetahuan siswa bertahan lama, meningkatkan penalaran
siswa dalam belajar, siswa cenderung berfikir kiritis dan melatih
keterampilan-keterampilan siswa dalam memecahkan masalah. Kelebihan-kelebihan
dari teiri belajar Bruner ini juga merupakan kelebihan-kelebihan dari metode
PBL. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori belajar menurut Bruner ini mendukung
metode PBL.
F.
Hasil Penelitian Yang Relevan
Terdapat
beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan metode metode pembelajaran berbasis masalah,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Suhaila pada tahun 2010 dengan judul
“Penerapan metode pembelajaran berbasis masalah untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Peluang di Kelas XI SMA Negeri 5
Lhokseumawe”. Tujuan penelitia ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
penerapan metode pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil
belajar siswa kelas XI SMA negeri 5 Lhokseumawe pada materi peluang.
Tahap-tahap pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap
(1)mengorientasi siswa pada masalah, tahap (2)mengorganisasikan siswa untuk
belajar, tahap (3)membimbing penyelidikan individual dan kelompok, tahap
(5)menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom
action research). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5
Lhokseumawe sebanyak 31 siswa. Adapun indikator keberhasilan penelitian ini
adalah sebagai berikut: Penelitian ini berhasil atau tuntas apabila 75% siswa
memperoleh skor KKM dan
kegiatan pembelajaran baik dari sisi peneliti maupun siswa berdasarkan hasil
observasi berada pada kategori baik, secara keseluruhan hasil penelitian
menunjukkan pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah
efektif diterapkan pada materi peluang di kelas XI IPA SMA Negeri 5
Lhokseumawe. Hal ini dikarenakan beberapa aspek criteria keefektifan
pembelajaran terpenuhi, yaitu sebagai berikut: (1) hasil belajar siswa
meningkat atau tuntas dengan persentasedari 64,51% menjadi 93,5% pada materi
peluang disub materi aturan perkalian dalam masalah sehari-hari. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan problem based lerning dapat meningkatkan
hasil belajar matematika pada siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5
Lhokseumawe. (2) aktifitas siswa dalam mengikuti pembelajaran sangat aktif, hal
ini terlihat dari perolehan persentase hasil observasi yang terus mengalami
peningkatan yaitu dari 75% meningkat menjadi 93,18%. (3) kemampuan peneliti
dalam mengelola pembelajaran berada pada kategori “sangat baik”. Hal ini juga
berdasarkan peningkatan hasil observasi yang terus meningkat, dimana perolehan
persentase sebesar 79,17% meningkat sebesar 90,28%, yaitu mengacu pada
indicator keberhasilan penelitian, maka secara keseluruhan telah tercapai
sehingga dapat dikatakan bahwa dengan penerapan metode pembelajaran berbasis masalah hasil
belajar siswa SMA Negeri 5 Lhokseumawe pada materi peluang lebih meningkat.
Selain
itu penelitian Aan Hasanah pada tahun 2009 dalam penelitiannya yang berjudul
“Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa
Sekolah Menengah Pertama Melalui metode pembelajaran berbasis masalah yang
menekankan pada Representasi Matematika”. Penelitian ini
merupakan studi eksperimen
di SMP Negeri
6 Cimahi dengan subjek populasinya adalah seluruh
siswa SMP dan mengambil 2 sampel kelas II SMP
Negeri 6 Cimahi
secara acak dari
11 kelas yang
ada. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: (1) kemampuan
pemahaman matematika pada kelompok
siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan representasi matematik lebih
baik dari matematika dari kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran biasa, (2)
kemampuan penalaran matematika kelompok siswa
yang memperoleh pembelajaran
berbasis masalah dengan menekankan representasi matematik lebih baik dari matematika dalam kelompok
yang memperoleh pembelajaran biasa, (3)
Terdapat korelasi yang
signifikan antara kemampuan pemahaman
dan penalaran matematika, (4) sikap
siswa pada kelompok eksperimen
terhadap pembelajaran berbasis
masalah dengan menekankan
representasi matematika adalah positif, (5) pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran
berbasis masalah dengan
menekankan representasi
matematika siswa lebih
aktif belajar dari matematika dari kelompok
siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa.
Selanjutnya
penelitian Susilawati pada tahun 2007,
dalam penelitiannya yang
berjudul “Penerapan metode pembelajaran berbasis masalah Dalam
Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengajukan
dan Memecahkan Masalah Matematika
Siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama Neger i Di
Bandung”. Menunjukkan hasil bahwa:
Kemampuan siswa mengajukan dan
memecahkan masalah matematika sebelum pembelajaran dengan pendekatan metode pembelajaran berbasis masalah,
telah ada namun masih tergolong rendah, hal ini
terlihat dari kecilnya
persentase pengajuan dan
pemecahan masalah matematika terselsaikan
mengandung informasi baru.
Melalui penerapanpembelajaran problem based learning
kemampuan siswa mengajukan
dan memecahkan masalah matematika
mencapai kriteria hasil
belajar yang baik, secara
kualitas terdapat perbedaan
yang signifikan antara
siswa yang pembelajarannya dengan
pendekatan problem based learning
dan yang menggunakan pembelajaran
dengan pendekatan biasa.
Hal ini nampak
dari besarnya jumlah respon siswa mengajukan dan memecahkan masalah
matematika yang berkualifikasi tinggi.
Secara umum siswa memiliki sikap
positif terhadap
pembelajaran dengan pendekatan problem based learning,
demikian pula sikap positif. Sikap
positif ini menjadi
faktor pendukung siswa
dalam upaya meningkatkan proses
dan keberhasilan dalam belajar matematika.
G.
Materi Jaring-Jaring Kubus Dan Balok
Materi jaring-jaring kubus dan balok yang
dipelajari pada penelitian ini adalah memberikan contoh jaring-jaring kubus dan
balok,menyatakan pengertian jaring-jaring kubus dan balok dan menggambarkan
jaring-jaring kubus dan balok.untuk memudahkan mempelajari materi ini guru
menggunakan alat peraga terutama dalam menggambar jaring-jaring kubus dan
balok. Alat peraga yang digunakan adalah kubus dan balok yang terbuat dari
kertas karton dan kertas karton digunting menyerupai sisi kubus dan balok.
Memperagakan gambar jaring-jaring kubus dan balok,
dalam penelitian ini akan dibahas sebagai berikut:
1. Memperagakan menggambar jaring-jaring kubus
Gambar 2.2 Kubus yang diiris menurut rusuk-rusuk tertentu
Guru menyediakan kubus yang terbuat dari karton
seperti pada gambar 2.1 kemudian menyuruh siswa untuk mengiris kubus tersebut.
Jika kubus itu diiris sepanjang rusuk AE, EH, HD, EF, FB, HG, dan GC seperti
gambar 2.2, kemudin direbahkan diatas bidang datar maka akan diperoleh bangun
datar yang disebut jaring-jaring Kubus sperti pada gambar 1.3 berikut:
Gambar 2.3
jaring-jaring Kubus
Gambar 2.3 diatas adalah salah satu bentuk
jaring-jaring Kubus ABCD,EFGH. Jaring-jaring Kubus merupakan rangkaian enam
buah persegi yang jika dilipat menurut garis persekutuan dua persegi dapat membentuk Kubus dan tidak ada sis yang ganda. Dengan
menggunakan gunting kertas karton yang berbentuk sisi-sisi Kubus, siswa dapat
menggambar jaring-jaring Kubus dalam bentuk yang lain.
Gambar 2.5 Balok yang diiris menurut rusuk-rusuk tertentu.
Guru menyediakan balok yang terbuat dari karton seperti
pada gambar 2.4 kemudian menyuruh siswa untuk mengiris balok tertsebut, apabila
balok diiris menurut rusuk-rusuk tertentu sehingga tidak ada satupun sisi yang
terlepas dari sisi lainnya. Jika Balok itu diiris sepanjang AE, EH, HD, EF, FB,
HG, dan GC seperti pada gambar 2.5, kemudian direbahkan diatas bidang datar
maka diperoleh bangun datar yang disebut jaring-jaring balok seperti pada
gambar 2.6 berikut ini.
Gambar 2.6 diatas adalah salah satu bentuk
jaring-jaring Balok ABCD,EFGH. Jaring-jaring Balok adalah rangkaian enam buah
persegi panjang yang dilipat-lipat menurut garis persekutuan dua persegi
panjang maka akan membentuk sebuah balok. Dengan menggunakan guntingan kertas
karton yang berbentuk sisi Balok siswa dap[at merancang atau menggambar
jaring-jaring Balok dalam bentuk lain.
H.
Hipotesis Tindakan
Hipotesis merupakan dugaan sementara dari seorang
peneliti dan kebenaran dari hipotesis tersebut membutuhkan suatu pembuktian.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sukardi bahwa “hipotesis
secara definisi berarti jawaban sementara yang kebenarannya masih diuji dengan
data yang diperoleh dari lapangan.”[29]
Berdasarkan pendapat diatas maka yang menjadi
hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah “Peningkatan kemampuan pemahaman
konsep matamatika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Syamtalira Aron pada materi
jaring-jaring kubus dan balok dengan
Metode Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada pembelajaran
konvensional.”
No comments:
Post a Comment