Tuesday, April 12, 2016

skripsi matematika PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MELALUI METODE PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH PADA SISWA KELAS VIII SMP BAB II

BAB II
LANDASAN TEORITIS
                                                                                  
A.   Pemahaman Konsep
1.    Pengertian pemahaman Konsep
Para ahli spikologi menyadari pentingnya konsep, sehingga definisi yang diberikan berdasarkan pandangan masing-masing dan belum ada yang disepakati secara umum. Woolfolk mendefinisikan konsep sebagai “suatu katagori yang digunakan untuk mengelompokkan ide-ide, peristiwa-peristiwa, orang-orang, objek-objek yang serupa.”[1] ormrod mendefinisikan konsep sebagai “suatu cara pengelompokan atau pengkatogorian secara mental dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa didunia. ”[2] Menurut Gagne konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkanbenda-benda kedalam contoh atau noncontoh. ”[3]
Definisi-definisi konsep yang dikemukakan diatas pada dasarnya mengacu pada sesuatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide yang umum dan abstrak. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Darjitno bahawa “Konsep adalah pengertian umum.”[4] Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan diatas maka dapat kita pahami bahwa konsep merupakan pengertian umum yang berupa ide abstrak dari sekelompok objek, sehingga memungkinkan kita untuk mengelompokkan objek-objek yang lain kedalam contoh atau non contoh dari sekelompok tersebut.
Konsep dalam matematika merupakan salah satu objek kajian disamping tiga objek yang lain, yaitu: fakta, (relasi) dan prinsip. Selain itu, konsep-konsep dalam matematika disusun dari konsep-konsep terdahulu dan fakta-fakta. Sedangkan untuk menunjukkan konsep tertentu digunakan batasan atau definisi. Hal ini memberikan gambaran bahwa suatu konsep digunakan secara berkesinambungan untuk menjelaskan konsep-konsep lain dalam matematika, karena sifat dari matematika adalah hirarkis. Dengan demikian kesalahan konsep yang diterima oleh siswa akan berakibat fatal untuk mempelajari konsep-konsep berikutnya yang berkaiatn dengan konsep tersebut.
Untuk memahami suatu konsep siswa didorong memiliki kemampuan untuk mengorganisasi, memproses, menyimpan dan mengungkapkan kembali struktur pengetahuan atau informasi yang telah diperolehnya. Kunci untuk memahami startegi-strategi yang dipakai siswa untuk memperoleh konsep ialah dengan cara menganalisis bagaimana cara mereka mendekati atau memahami informasi yang ada melalui contoh-contoh. Selain khusus, apakah mereka itu mengkonsentrasikan pada contoh khusus  tentang suatu informasi, atau apakah mereka itu mengingat semuanya atau sebagian besar informasi ?.
Jika dihubungkan dengan pengertian belajar, maka belajar konsep adalah belajar untuk memperoleh konsep. Terbentuknya konsep dalam benak siswa adalah tujuan utama dari belajar konsep. Konsep yang terbentuk sebagai hasil belajar akan menjadi pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa. Menurut Peaget bahawa “Terbentuknya pengetahuan baru ini dapat terjadi karena proses asimilasi dan akomodasi. ”[5]
Amisilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru dan langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki oleh seseorang. Ausubel berpendapat  bahwa “pembentukan konsep dengan asimilasi mengikuti pola ruleeg. ”[6] Dalam  hal ini siswa terlebih dahulu diberikan definisi dari suatu konsep kemudian dilanjudkan dengan memberikan contoh-contoh dari konsep tersebut. Dengan demikian diharapkan siswa dapat memahami konsep yang dipelajari.
Akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru. Ausubel menyatakan bahwa “pembentukan konsep dengan akomodasi mengikuti pola eg-rule.”[7] pada pola ini siswa diberikan sejumlah objek yang merupakan contoh dan noncontoh dari konsep tertentu, kemudian melalui proses deskriminasi dan abstraksi siswa menetapkan suatu aturan untuk menentukan kriteria dari konsep tersebut.
Hasil belajar konsep yang dialami siswa berupa konsepsi yang terbentuk dari benak masing-masing siswa. Konsepsi yang dimiliki masing-masing siswa mungkin berbeda antara satu siswa dendgan siswa lainnya. Hal ini sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing selama proses belajar berlangsung. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Darjitno bahwa “konsepsi dapat berbeda untuk setiap orang. ’’[8]
Adapun konsepsi yang diharapkan terbentuk dalam benak siswa setelah proses belajar berlangsung adalah konsep yang benar sesuai dengan konsep yang dipelajari, yaitu konsep yang sesuai dengan konsep ynag dikemukakan/disepakati oleh para ahli. Atau dengan kata lain konsepsi yang dimilki oleh siswa merupakan konsep keilmuan.
Namun teerbentuknya konsepsi yang salah adalah kemungkinan yang bisa saja terjadi, karena konsepsi yang terbentuk pada siswa didasarkan pada kemampuan mereka dalam memaknai apa yang mereka pelajari selama proses belajar berlangsung. Dengan kata lain konsepsi merupakan tafsiran tentang suatu konsep. Hal inni seperti yang dinyatakan oleh Dahar bahwa “konsepsi ialah pengertian/pendapt yang terbentuk dalam pikiran tentang sesuatu idea, gagasan. ”[9]
Bedasarkan uraian diatas menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dimilki oleh siswa setelah melalui suatu proses pembelajaran matematika dapat dilihat dari indikator-indikator yaitu:
1)        Menyatakan ulang sebuah konsep,
2)        Mengklasifikasi objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya),
3)        Memberi contoh dan non contoh dari konsep,
4)        Menyajikan konseb dalam berbagai bentuk representasi matematis,
5)        Mengembangkan syrat perlu atau syrat cukup suatu konsep
6)        Menggunakan, memamfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu,
7)        Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.[10]

 Pada kurikulum 2004 Standar Kompetensi Penbelajaran Matematika SMP/MTS dinyatakan bahwa kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penilaian pembelajaran matematika antara lain adalah pemahaman konsep dan prosedur (algoritma). Lebih jauh dinyatakan bahwa siswa dikatakan memahami konsep bila siswa mampu mendefinisikan konsep, mengindeitifikasi dan memberikan contoh atau bukan contoh dari konsep. Sedangkan siswa dikatakan memahami prosdur jika mampu mengenali prosedur atau proses menghitung yang benar atau tidak benar.
Dengan demikian dapat peneliti tentuakn indikotor pemahaman konsep matematiak yang menjadi rumusan dalam penelitian ini, dimana rumusan tersebut peneliti membuat soal tes bentuk uraian sebagai alat ukur mengacu pada indikator-indikator yaitu: (1) menuliskan konsep, (2) mengindentifikasi konsep, (3) memberikan contoh konsep dan bukan contoh konsep dan (4) menerapkan konsep dalam pemecahan masalah.   



2.      Golongan dan Jenis-Jenis Pemahaman Konsep
Pemahaman berdasarkaan taksonomi tujuan dari Bloom menyebutkan bahwa pemahaman dapat digolongkan dalam tiga segi yang berbeda yaitu[11] :
a.         Pemahaman Translasi
           Pemahaman translasi adalah kemampuan untuk memahami suatu ide yang dinyatakan dengan cara lain dari pada pernyataan asli yang dikenal sebelumnya. Misalnya, individu mampu mengubah soal yang tertulis dalam kalimat kedalam bentuk symbol dan sebaliknya.
b.             Pemahaman Interprestasi
Pemahaman interprestasi adalah kemampuan untuk memahami atau mampu mengertikan suatu ide yang diubah atau disusun dalam bentuk lain seperti kesamaan,grafik, tabel, diagram dan sebagainya
c.             Pemahaman Ekstrapolasi
Pemahaman ekstrapolasi adalah keterampilan untuk meramalkan kelanjutan dari kecendrungan yang ada menurut data tertentu. Sedangkan jenis pemahaman menurut Skemp menyatakan bahwa pemahaman ada dua jenis, yaitu:
1.         Pemahaman instrumental, yaitu hafalan sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan suatu pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan suatu secara algoritmik saja.
2.         Pemahaman relisional, yaitu dapat mengaitkan suatu dengan hal      lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.[12]
Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana. Dalam hal ini seseorang hanya memahami urutan pegerjaan atau algoritma. Sedangkan pemahaman resional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan pada penjelasan masalah yang lebih luas dan sifat pemakaian lebih bermakna.

3.         Manfaat Pemahaman Konsep
   Menurur Evranita pengajaran yang menekankan kepada pemahaman mempunyai sedikitnya 5 (lima) keuntungan sebagai berikut:
1.             Pemahaman memberikan generatif artinya bila seorang telah memahami suatu konsep, maka pengetahuan itu akan mengakibatkan pemahaman yang lain karena adanya jalinan antar pengatahuan yang dimulai siswa.
2.             Pemahaman memacu ingatan artinya suatu pengetahuan yang telah dipahami dengan baik akan diatur dan dihubungkan secara efektif dengan pengetahuan yang lain.
3.             Pemahaman mengurangi banyak hal yang harus diingat artinya jalinan yang terbentuk antara pengetahuan yang satu dengan yang lain dalam struktur kognitif  siswa yang mempelajarinya dengan penuh pemahaman merupakan jalinan yang sangat baik.
4.         Pemahaman meningkatkan transfer belajar artinya pemahaman suatu konsep matematika akan diperoleh siswa yang aktif menemukan kesurupaan dari berbagai konsep tersebut.
5.         Pemahaman  mempengaruhi keyakinan siswa yang memahami matematika dengan baik akan mempunyai keyakinan yang pasti yang selanjutnya akan membantu perkembangan pengetahuan matematikanya.[13]

Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat mmberikan uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-kata sendirinya.
Kemampuan pemahaman adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri.

B.  Metode Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
1.      Pengertian Metode Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning)
Menurut Arends dalam Abbas, Metode  pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah “ metode  pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri”.[14]
H.S Barrow dalam Suhaila sebagai pakar pembelajaran berbasis masalah menyatakan bahwa definisi pembelajaran berbasis masalah adalah ”sebuah metode  pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau menginteraksikan ilmu baru.dengan demikian masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar siswa dapat menyokong keilmuannya”.[15] masalah yang dijadikan sebagai titik awal pembeljaran tersebut harus berdasarkan masalah dunia nyata, yang dapat memancing siswa untuk menyelasaikannya berdasarkan pengetahuan  yang mereka sudah kuasai sebelumnya sehingga akan terbentuk pengetahuan yang baru dan siswa memilki ketrampilan dalam menyelasaiklan masalah, sebagai yang dikatakan oleh Ward dalam Suhaila menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah “suatu metode  pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahakan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhunbungan dengan masalah-masalah tersebut dan sekaligus memliki terampilan dalam menyelasaikan masalah”.[16]
Metode ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagi sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan berfikir kritis dan memecahkan masalah, serta menadapatkan pengetahuan konsep-konsep penting, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah penggunaanya didalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana itu belajar. Dalam metode  pembelajaran berbasis masalah, guru berperan sebagi penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukam masalah dan memberi fasilitas penelitian. Selain itu guru menyiapkan dukungan dan  dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual siswa. Pembelajaran berbasis masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan. Pembelajaran berbasis masalh juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan dan aktifitas siswa, baik secara individual maupun secara kelompok. Pada pembelajaran berbasis masalah guru berperan pemberi rangsanganm, pembimbing kegiatan siswa dan penentu arah belajar siswa.
Jadi pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah pembelajaran yang memberikan masalah sebagai awal pembelajaran untuk mendapatkan ilmu yang baru serta melibatkan siswa dalam penyelesaiannya.

2.    Ciri-ciri Metode Pembelajaran berbasis Masalah
Berbagai perkembangan pembelajaran berbasis masalah telah menunjukkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:
a.         Pengajuan Masalah atau Pertanyaan
Pembelajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pembelajaran disekitar pertanyaan dan masalah keduanya secara sosial penting dansecara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan pada situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari jawaban sedrhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situyasi itu. menurut Arends dalam Abbas, pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.         Autentik, yaitu masal;ah harus lebih berakar pada kehidupan nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip ilmu tertentu.
2.         Jelas, yaitu masalah dirumuskan  dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
3.          Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
4.         Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut m,ecakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebutt harus didasarkan pada tujuan penbelajran yang telah ditetapkan.
5.         Mamfaat, yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermamfaat, baik siswa sebagi pemecah masalh maupun guru sebagi oembuat masalah. Masalah yang bermamfaat adalah masal;ah yang dapat m,eningkatkan kemampuan berfikir memecahkan siswa, serta membangkitkan motifasi belajar siswa.[17]
b.        Berfokus pada keterkaiatan antara disilpin
Meskipun pembelajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu Spsial), masalah yang akan diselediki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
c.         Penyelidikan Autentik
Pembelajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat referensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
d.     Menghasilkan Produk/Karya dan Menerlukannya.
Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, metode  fisik, vidio atau program komputer.[18]
Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.




3.         Tahap- tahap Pembelajaran Berbasis Masalah
Peran siswa secara umum dalam pembelajaran berbasis masalah adalah mempersiapkan diri untuk belajar dan bekerja secara berkelompok serta berperan aktif dalam pembelajaran. Arends mengemukakan ada 5 langkah utama dalam penggunaan pembelajaran berbasis masalah. Langkah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Tahapan Pengalisis Berbasis Masalah
Tahapan
Tinngkah Laku Guru
Tahap 1:
Orientasi kepada masalah.
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan,memotivasi siswa agar terlibat pada pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2:
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3:
Membimbing menyelidikan individual dan kelompok.


Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.
Tahap 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, vidio dan metode  serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
Tahap 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan.
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Sumber: Tanwey Gerson Ratumanan.[19]
            Adapun pelaksanaan tahapan pembelajaran berbasis masalah  membutuhkan banyak perencanaan, seperti halnya metode -metode  pembelajaran yang berpusat pada siswa lainnya, antara lain:
1.     Penetapan tujuan
Pertama kali mendeskripsikan bagaimana penbelajaran berbasis masalah direncanakan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan seperti keterampilan, menyelidiki dann membantu siswaa belajar secara mandiri. Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah bisa diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah disampaikan.
2.     Merancang situasi masalah
Dalam penelitian ini, peneliti memberikan siswa keluasan dalam memilih masalah untuk diselidiki karena cara ini dapat membangkitkan motivasi siswa. Masalah yang bersifat autentik, mengandung teka-teki dan tidak terdefinisikan secara ketat, memungkinkan bekerjasama, bermakana bagi siswa dan konsisten dengan tujuan pembelajaran.
3.     Organisasi sumber daya dan logistik
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa dimungkinkan peralatan ataupun media dengan materi dengan materi yang dipelajari.





4.    Keunggulan dan Kelemahan Metode  Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Wina Sanjaya pembelajaran berbasis masalah mempunyai keunggulan sebagai berikut:
a.      Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuyk lebih memahami isi bacaan.
b.     Pemecahan masalah dapat menentang kemampuan serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru siswa.
c.      Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa’
d.     Pemecahan masalah dapat membantu  siswa bagaimana mentranfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan siswa.
e.      Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
f.      Melalui pemecahan masalah bisa diperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya cara berfikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku-buku saja.
g.     Pemecahan masalah dianggap menyenangkan dan lebih disukai siswa’
h.     Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan berfikir mereka untuk menyelesaikan dengan pengetahuan baru.
i.       Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk megaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dengan dunia nyata.
j.       Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar meskipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.[20]
Adapun keunggulan pembelajaran berbasis masalah itu menurut Wee Kek didalam M. Taufik Amir menyebutkan lima keunggulan antara lain:

a.         Punya keaslian seperti didunia kerja
Masalah yang disajikan sedapat mungkin memang merupakan cerminan masalah yang dihadapi kerja. Siswa bisa memamfaatkannya nanti bila menjadi lulusan yang akan bekerja.
b.        Dibangun dengan memperhitung pengetahuan sebelumnya.
Masalah yang dapat dirancang dapat membangun kembali pemahaman siswa atau  pengetahuan yang telah didapat sebelumnya. Jadi, sementara pengetahuan-pengetahuan yang baru didapat, ia bisa melihat  kaitannya dengan bahan yang telah ditentukan dan dipahami sebelumnya.
c.         Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif
Masalah yang diberikan membuat siswa terdorong melakukan pemikiran metakognitif. Artinya kita berefleksi seperti apa pemikiran kita terhadap suatu hal.
d.        Meningkatkan minat dan motivasi dalam pembelajaran.
Dengan masalah yang menarik dan menantang siswa akan tergugah untuk belajar. Bila relavansinya tinggi nanti saat praktik, biasanya siswa teransang rasa ingin tahunya dan bertekat untuk menyelesaikan masalahnya. Diharapkan pembelajran yang tadinya tergolong pasif bisa tertarik untuk aktif.
e.         Sasaran pembelajaran terlaksana dengan baik
Sasaran tersebut dapat sendiri oleh siswa saat mereka bernalar dan melakukan revisi.[21] Namun demikian, selain keunggulan pembelajaran berbasis masalah juga mempunyai kelemahan, antara lain:
a.         Mana kala siswa tidak memliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang mempelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
b.         Keberhasilan metode  pembelajaran berbasis masalah membutuhkan waktu untuk persiapan.
c.         Kapasitas siswa yang banyak sulit bagi guru yang menerapkan pembelajaran ini.[22]


C.      Pembelajaran Konvensional
Ujang Soekandi mendeskripsikan bahwa pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah agar siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan ada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Disini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pentranfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Institute of computer technologi menyebutnya dengan istilah “pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan disekolah-sekolah diseluruh dunia. Berdasarkan penjelasan diatas, maka pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih banyak metode ceramah dan demontrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Pada pembelajaran konvesional guru berperan aktif dibandingkan dengan siswa, kegiatan guru yang yutama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Dalam proses mengajar guru hanya berpedoman pada buku teks dan LKS, guru hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab, siswa sendiri harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru dengan patuh dan siswa jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan bernalar ataupun memberikan tanggapan, sehingga pembelajaran konvesional siswa menjadi pasif dan hasil belajar siswa menjadi kurang bermakna karena pembelajaran ditekankan pada hafalan. Pembelajaran konvensional sendiri mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
1.      tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan
2.      sering tetjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tertarik dengan apa yang dipelajari
3.      pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis

Pembelajaran konvensional lebih mengutamakan pada tujuan penbelajaran penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses meniru dan siswa dituntut untuk dapat menguggkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui latihan atau tes standar. Karakteristik pembelajaran konvensional dalam penerapan dikelas antara lain:
1.      siswa adalah penerima informasi
2.      siswa cenderung belajar secara individual
3.      pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis
4.      perilaku dibangun atas dasar kebiasaan
5.      keterampilan dikembangkan atas dasar latihan

Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran konvensional dimaknai sebagai pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajarannya dengan penyampaian informasi, dimana guru berbicara memberikan materi ajar secara aktif dan peserta didik mendengarkan atau menerimanya.

D.   Perbedaan Pedagogik Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning) dengan Pembelajaran Konvensional.
Berikut ini akan diperlihatkan perbedaan pembelajaran konvensional dengan pembelajaran berbasis masalah, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.2 Perbedaan Pedagogik Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning) dengan Pembelajaran Konvensional.
No
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Konvensional
1
Guru menjelaskan masalah kepada siswa dan meminta kepada siswa untuk mengemukakan ide mereka untuk memecahkan masalah tersebut dengan mencari dan menemukan jawaban dari sesuatu yang dipertanyakan
Siswa memperoleh informasi secara pasif, guru mendomonasi pembelajaran
2
Aktivitas pembelajaran dilakukan melalui tanya proses tanya jawab antara guru dan siswa dalam menyelesaikan soal
Kesempatan siswa terbatas, lebih banyak mendengar dan menonton hasil kerja guru
3
Guru berperan sebagai konsultan, teman kritis dan fasilitator
Pemantauan melalui observasi dan interverensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung
4
Siswa secara bersamaan dengan anggota kelompok mencari selesaian dari permasalahan pada materi tersebut
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang siswa sedangkan yang lainnya hanya melihat
5
Kegiatan didalam terjadi proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari kedalam dunia matematika
Pembelajaran bersifat abstrak tanpa mengaitkan dengan kehidupan nyata
6
Berorientasi pada bagaimana proses siswa mendapatkan jawaban
Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas


E.       Teori Belajar Yang Mendukung Metode Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning)
Ada beberapa teori tentang belajar yang mendukung metode  pembelajaran berbasis masalah (PBL), beberapa diantaranya adalah:
1.        Teori Belajar Menurut Piaget
Menurut “Peaget” belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangankognitif peserta didik. Peserta ddik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.[23] Implikasi teori perkenbanmgan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1.    Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuia dengan cara berfikir anak.
2.    Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi denagn lingkungan sebaik-baiknya.
3.    Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.    Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.     Didalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya.[24]

Jadi, guru dalam teopri peaget ini hendanya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan sekitarnya. Teori peaget ini sesuai dengan metode PBL ( metode pembelajaran berbasis masalah), yang mana metode PBL juga menekankan kepada peserta didik agar berinteraksi aktif dengan lingkungan sekitar dan guru sebagai tenaga pengajar juga memberikan kesempatan belajar kepada siswanya.
2.             Teori Belajar Menurut Gagne
Menurut “Gagne” bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian dialah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.[25] Dalam pemprosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi- kondisi dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individuyang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi, (2) pemahaman, (3) pemorolehan, (4) penyimpanan, (5) ingatan kembali, (6) generalisasi, (7) perlakuan, (8) umpan balik.[26]
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Keduanya sangat berkaiatn erat dan tidak dapat dipisahkan agar hasil belajar siswa dapat tercapai sebaik mungkin. Teori belajar menurut Gagne ini juga sesuai dengan metode PBL, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yaitu pada metode PBL siswa belajar menyusun pengetahuan yang dipperoleh dengan cara membangun pemahaman konsep yang diperoleh dari hasil berinteraksi dengan sesama individu sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Jadi lingkungan sangat mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Hai ini sama dengan teori belajar yang dimukakan oleh Gagne.
3.        Teori Belajar Menurut  Bruner
Menurut “Bruner” belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan baerpikir secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.[27]
            Dalam teori belajarnya, Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1.      Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru
2.      Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencernakan dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan
3.      Evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil trasformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.[28]

Teori Bruner mempunyai ciri khas dari pada teori belajar yang lain yaitu tentang ”discovery” yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karene teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut “kurikulum spiral kurikulum”. Kelebihan-kelebihan dari teori belajar menurut Bruner diantaranya adalah pengetahuan siswa bertahan lama, meningkatkan penalaran siswa dalam belajar, siswa cenderung berfikir kiritis dan melatih keterampilan-keterampilan siswa dalam memecahkan masalah. Kelebihan-kelebihan dari teiri belajar Bruner ini juga merupakan kelebihan-kelebihan dari metode PBL. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori belajar menurut Bruner ini mendukung metode PBL.

F.       Hasil Penelitian Yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan metode   metode pembelajaran berbasis masalah, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Suhaila pada tahun 2010 dengan judul “Penerapan  metode pembelajaran berbasis masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Peluang di Kelas XI SMA Negeri 5 Lhokseumawe”. Tujuan penelitia ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah penerapan metode pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI SMA negeri 5 Lhokseumawe pada materi peluang. Tahap-tahap pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap (1)mengorientasi siswa pada masalah, tahap (2)mengorganisasikan siswa untuk belajar, tahap (3)membimbing penyelidikan individual dan kelompok, tahap (5)menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Lhokseumawe sebanyak 31 siswa. Adapun indikator keberhasilan penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian ini berhasil atau tuntas apabila  75% siswa memperoleh skor  KKM dan kegiatan pembelajaran baik dari sisi peneliti maupun siswa berdasarkan hasil observasi berada pada kategori baik, secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan pembelajaran dengan menggunakan  metode pembelajaran berbasis masalah efektif diterapkan pada materi peluang di kelas XI IPA SMA Negeri 5 Lhokseumawe. Hal ini dikarenakan beberapa aspek criteria keefektifan pembelajaran terpenuhi, yaitu sebagai berikut: (1) hasil belajar siswa meningkat atau tuntas dengan persentasedari 64,51% menjadi 93,5% pada materi peluang disub materi aturan perkalian dalam masalah sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan problem based lerning dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Lhokseumawe. (2) aktifitas siswa dalam mengikuti pembelajaran sangat aktif, hal ini terlihat dari perolehan persentase hasil observasi yang terus mengalami peningkatan yaitu dari 75% meningkat menjadi 93,18%. (3) kemampuan peneliti dalam mengelola pembelajaran berada pada kategori “sangat baik”. Hal ini juga berdasarkan peningkatan hasil observasi yang terus meningkat, dimana perolehan persentase sebesar 79,17% meningkat sebesar 90,28%, yaitu mengacu pada indicator keberhasilan penelitian, maka secara keseluruhan telah tercapai sehingga dapat dikatakan bahwa dengan penerapan  metode pembelajaran berbasis masalah hasil belajar siswa SMA Negeri 5 Lhokseumawe pada materi peluang lebih meningkat.
Selain itu penelitian Aan Hasanah pada tahun 2009 dalam penelitiannya yang berjudul “Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui  metode pembelajaran berbasis masalah yang menekankan pada Representasi Matematika”. Penelitian  ini  merupakan  studi  eksperimen  di  SMP  Negeri  6  Cimahi  dengan subjek populasinya adalah seluruh siswa SMP dan mengambil 2 sampel kelas II SMP  Negeri  6  Cimahi  secara  acak  dari  11  kelas  yang  ada. Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa:  (1)  kemampuan  pemahaman matematika pada kelompok  siswa  yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan menekankan representasi matematik lebih baik dari matematika dari kelompok siswa yang  memperoleh  pembelajaran  biasa, (2)  kemampuan  penalaran  matematika kelompok  siswa  yang  memperoleh  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan menekankan representasi matematik  lebih baik dari matematika dalam kelompok yang memperoleh  pembelajaran  biasa, (3)  Terdapat  korelasi  yang  signifikan  antara kemampuan  pemahaman  dan  penalaran  matematika, (4)  sikap  siswa  pada kelompok  eksperimen  terhadap  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan menekankan representasi matematika adalah positif, (5) pada kelompok siswa yang memperoleh  pembelajaran  berbasis  masalah  dengan  menekankan  representasi matematika  siswa  lebih  aktif  belajar  dari matematika dari  kelompok  siswa  yang memperoleh pembelajaran biasa.
Selanjutnya penelitian Susilawati pada tahun 2007,  dalam  penelitiannya yang berjudul  “Penerapan   metode pembelajaran berbasis masalah Dalam Upaya  Meningkatkan Kemampuan Mengajukan dan Memecahkan  Masalah  Matematika  Siswa  Sekolah  Lanjutan  Tingkat Pertama  Neger i Di Bandung”. Menunjukkan hasil  bahwa: Kemampuan  siswa mengajukan dan memecahkan masalah matematika sebelum pembelajaran dengan pendekatan  metode pembelajaran berbasis masalah, telah ada namun masih tergolong rendah, hal ini  terlihat  dari  kecilnya  persentase  pengajuan  dan  pemecahan  masalah matematika  terselsaikan  mengandung  informasi  baru.  Melalui  penerapanpembelajaran  problem based  learning  kemampuan  siswa  mengajukan  dan memecahkan  masalah  matematika  mencapai  kriteria  hasil  belajar  yang  baik, secara  kualitas  terdapat  perbedaan  yang  signifikan  antara  siswa  yang pembelajarannya  dengan  pendekatan  problem based  learning  dan  yang menggunakan  pembelajaran  dengan  pendekatan  biasa.  Hal  ini  nampak  dari besarnya jumlah respon siswa mengajukan dan memecahkan masalah matematika yang  berkualifikasi  tinggi.  Secara  umum  siswa memiliki  sikap  positif  terhadap pembelajaran  dengan  pendekatan problem based  learning,  demikian pula  sikap positif.  Sikap  positif  ini  menjadi  faktor  pendukung  siswa  dalam  upaya meningkatkan proses dan keberhasilan dalam belajar matematika.
G.    Materi Jaring-Jaring Kubus Dan Balok
Materi jaring-jaring kubus dan balok yang dipelajari pada penelitian ini adalah memberikan contoh jaring-jaring kubus dan balok,menyatakan pengertian jaring-jaring kubus dan balok dan menggambarkan jaring-jaring kubus dan balok.untuk memudahkan mempelajari materi ini guru menggunakan alat peraga terutama dalam menggambar jaring-jaring kubus dan balok. Alat peraga yang digunakan adalah kubus dan balok yang terbuat dari kertas karton dan kertas karton digunting menyerupai sisi kubus dan balok.
Memperagakan gambar jaring-jaring kubus dan balok, dalam penelitian ini akan dibahas sebagai berikut:

1.      Memperagakan menggambar jaring-jaring kubus





Gambar 2.2 Kubus yang diiris menurut rusuk-rusuk tertentu
Guru menyediakan kubus yang terbuat dari karton seperti pada gambar 2.1 kemudian menyuruh siswa untuk mengiris kubus tersebut. Jika kubus itu diiris sepanjang rusuk AE, EH, HD, EF, FB, HG, dan GC seperti gambar 2.2, kemudin direbahkan diatas bidang datar maka akan diperoleh bangun datar yang disebut jaring-jaring Kubus sperti pada gambar 1.3 berikut:



Gambar 2.3 jaring-jaring Kubus

Gambar 2.3 diatas adalah salah satu bentuk jaring-jaring Kubus ABCD,EFGH. Jaring-jaring Kubus merupakan rangkaian enam buah persegi yang jika dilipat menurut garis persekutuan dua persegi dapat membentuk  Kubus dan tidak ada sis yang ganda. Dengan menggunakan gunting kertas karton yang berbentuk sisi-sisi Kubus, siswa dapat menggambar jaring-jaring Kubus dalam bentuk yang lain.



Gambar 2.5 Balok yang diiris menurut rusuk-rusuk tertentu.

Guru menyediakan balok yang terbuat dari karton seperti pada gambar 2.4 kemudian menyuruh siswa untuk mengiris balok tertsebut, apabila balok diiris menurut rusuk-rusuk tertentu sehingga tidak ada satupun sisi yang terlepas dari sisi lainnya. Jika Balok itu diiris sepanjang AE, EH, HD, EF, FB, HG, dan GC seperti pada gambar 2.5, kemudian direbahkan diatas bidang datar maka diperoleh bangun datar yang disebut jaring-jaring balok seperti pada gambar 2.6 berikut ini.


Gambar 2.6 diatas adalah salah satu bentuk jaring-jaring Balok ABCD,EFGH. Jaring-jaring Balok adalah rangkaian enam buah persegi panjang yang dilipat-lipat menurut garis persekutuan dua persegi panjang maka akan membentuk sebuah balok. Dengan menggunakan guntingan kertas karton yang berbentuk sisi Balok siswa dap[at merancang atau menggambar jaring-jaring Balok dalam bentuk lain.

H.    Hipotesis Tindakan
Hipotesis merupakan dugaan sementara dari seorang peneliti dan kebenaran dari hipotesis tersebut membutuhkan suatu pembuktian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sukardi bahwa “hipotesis secara definisi berarti jawaban sementara yang kebenarannya masih diuji dengan data yang diperoleh dari lapangan.”[29]
Berdasarkan pendapat diatas maka yang menjadi hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah “Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matamatika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Syamtalira Aron pada materi jaring-jaring kubus dan balok  dengan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada pembelajaran konvensional.”






No comments:

Post a Comment