BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Suatu fenomena penting yang
mewarnai kompleksnya partisipasi wanita dalam berbagai dimensi kehidupan salah
satunya perjuangan di bidang politik. Masa perjuangan perempuan tidak lepas
dari program ekspansi demokrasi Amerika Serikat ke penjuru dunia yang memposisikan
wanita bukan lagi sebagai kelompok yang harus dibatasi partisipasinya dalam
panggung perpolitikan dunia namun dianggap sebagai pihak yang berpengaruh dan
memberi konstribusi penting dalam menentukan kemajuan suatu negara.
Kemodernan dan arus globalisasi
sangat gencar mengepakkan sayapnya
ke seluruh negara belahan dunia. Hal ini mengantarkan perubahan
pola
pikir dalam diri perempuan dunia, tak terkecuali di Timur Tengah sebagai
kawasan Negara Islam dimana agama
mendominasi hampir segala aspek kehidupan negara tersebut, khususnya posisi dan
hak-hak perempuan. Tetapi kini, hak politik bagi semua golongan di
negara-negara tersebut sudah banyak mengalami perkembangan. Ada beberapa negara
yang kini membuka ruang bagi perempuan untuk menjalankan hak politiknya. Antara
lain seperti Qatar, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab dan yang belum lama ini
adalah Kuwait. Keberhasilan kaum perempuan ini
atas kemauan dan dari pola pikir perempuan-perempuan yang modern
sehingga tuntutan hak politik mereka dapat terwujud.
Perjuangan politik kaum perempuan atau
gerakan perempuan yang lebih dikenal dengan istilah feminisme di berbagai negara melalui proses yang berbeda-beda dan mendapatkan respon yang
berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena berbagai
faktor, salah satunya ideologi yang dianut oleh bangsa tersebut. Hal ini pula
yang mempengaruhi partisipasi dan perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait,
yang merupakan salah satu Negara Islam terbesar di dunia.
Isu tentang peranan perempuan menjadi
isu yang selalu hangat dibicarakan oleh Negara-negara di dunia. Kehadiran
perempuan di ruang politik semakin mendapatkan tempat pada sebagian masyarakat,
tetapi juga mendapatkan penolakan dari masyarakat lainnya. Berbagai organisasi
di berbagai negara telah banyak terbentuk untuk membicarakan tentang peranan
perempuan dan kedudukannya. Di tingkat global, seruan terhadap pihak yang
melakukan pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dan pihak-pihak yang
mengabaikan hak-hak perempuan telah banyak mendapatkan sorotan. Hal ini pulalah
yang melatarbelakangi pemikiran Negara-Negara tersebut dan berinisiatif untuk
bersama-sama memastikan terjadinya integrasi atas hak-hak perempuan ke dalam
berbagai instrument internasional tentang hak-hak asasi perempuan. Hal ini
tercermin dalam usaha-usaha perempuan untuk mengembangkan pandangan mereka
terhadap hukum-hukum mengenai hak asasi manusia dengan menggunakan perspektif
gender dan feminisme.
Konfrensi PBB tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination
of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan
diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Dewasa ini, lebih dari dua puluh
tahun sejak ditandatanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah
meratifikasinya.[1]
Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan
laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan
kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah
telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi
dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan
nanti dapat menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi mereka. Namun pada
kenyataanya, masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas.
Gerakan feminisme dimulai pada abad
kesembilan belas dengan permintaan oleh beberapa reformis perempuan agar
diberikan hak untuk memilih, yang dikenal sebagai “Hak
Pilih”, dan untuk
hak-hak hukum yang sama dengan pria. Meskipun pemungutan suara itu aman bagi
perempuan oleh Amandemen
Kesembilan belas
ke konstitusi pada tahun 1920, sebagian besar wanita telah membuat keuntungan
dalam mencapai kesetaraan hukum dan mengakhiri diskriminasi gender telah datang
sejak 1960-an.[2]
Selanjutnya perjuangan politik kaum
perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender mulai gencar
dilakukan setelah ditetapkannya Deklarasi
Hak-Hak Azasi Manusia PBB pada tahun 1948. Namun, perjuangan yang menjadi
isu global tersebut menjadi fenomena yang menarik perhatian terutama setelah
berakhirnya perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat. Perubahan tersebut
sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan
kestabilan (security) ke pendekatan
kesejahteraan dan keadilan (prosperity),
atau dari pendekatan produksi (production
centered development) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis
dan terbuka.[3]
Kaum perempuan menyadari
ketertinggalannya dibandingkan dengan kaum laki-laki dalam banyak aspek
kehidupan. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, maka dikembangkan konsep
emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki. Pada Juli 1963 timbul
gerakan global yang dipelopori kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan
suatu revolusi melalui Badan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOK).[4]
Kemudian pada tahun 1975 di Mexico City diselenggarakan
World Conference International Year of Woman PBB, yang menghasilkan
deklarasi kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal Pendidikan dan
pekerjaan:
a. Prioritas pembangunan bagi kaum
perempuan.
b. Perluasan partisipasi perempuan dalam
pembangunan.
c. Penyediaan data dan informasi perempuan.
d. Pelaksanaan analisis perbedaan peran
berdasarkan jenis kelamin.
Untuk itu,
dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan (Woman Empowerment Programs). Guna mewadahi aktivitas tersebut
diperkenalkan tema “Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development, WID)”, yang bertujuan mengintegrasikan
perempuan dalam pembangunan.[5]
Pada tahun 1980
di Kopenhagen diselenggarakan World
Conference UN Mid Decadde of Woman, yang mengesahkan UN Convention on the Elimination
of all Form of Discrimination Agains Woman (CEDAW), konvensi tentang
peniadaan seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertemuan itu
dihadiri oleh sebagian besar Negara di dunia, termasuk Kuwait yang pada saat
itu mulai memperhatikan masalah gender.
Tahun 1985 di
Nairobi diselenggarakan World Confrence
on Result on Ten Years
Woman Movement, yang menghasilkan The
Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Woman yang
bertujuan untuk mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara laki-laki
dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sejak itu, muncul konsep-konsep
dan penelitian-penelitian yang menekankan kesetaraan perempuan dan laki-laki
dalam pembangunan dan perdamaian.[6]
Pada tahun 1985
pula PBB membentuk suatu badan yang dinamakan the Unites Nation Fund for Woman (UNIFEM) untuk melakukan studi
advokasi, kolaborasi dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara internasional.
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan
kerjasama dengan kaum laki-laki yang berlangsung selama sepuluh tahun (1970 -
1980) tidak banyak memberikan hasil yang signifkan. Pendekatan pertentangan
(dikotomis) dirasa kurang membawa hasil yang memadai, bahkan timbul sinisme (male backlash) dari kaum laki-laki
terhadap perjuangan tersebut. Berdasarkan berbagai hasil studi, maka tema WID (Woman in Development) atau Perempuan
dalam Pembangunan diubah menjadi WAD (Woman
and Development) atau Perempuan dan Pembangunan. Perubahan ini mengandung
makna bahwa kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas.[7]
Pada tahun 1990
di Vienna diselenggarakan “the 34th
Commisson on the Status of Woman”. Dilakukan analisis terhadap konsep
pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan laki-laki, yang tampaknya juga kurang
membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Studi Anderson (1992) dan Moser
(1993) memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan laki-laki, maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik.[8]
Oleh karena itu, dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan
Gender and Development (GAD), suatu paradigma baru yang menekankan pada prinsip
hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki atau
sebaliknya.
Pandangan itu
terus diperdebatkan dalam the
International Confrence in Woman (ICPD) di Kairo 1994 dan dalam The 4th the World Conference on
Woman di Beijing tahun 1995. Dari konfrensi tersebut disepakati berbagai
komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan
dalam pembangunan mulai dari tahap menikmati hasil-hasil pembangunan. Dengan
demikian terjadi perubahan konsep yang mendasar, yaitu dari pembahasan masalah
yang bersifat fisik biologis (biological
sphere) ke masalah yang bersifat sosial budaya (socio-cultural sphere).[9]
Dari pemaparan
di atas, maka dapat dilihat bahwa lahirnya gender dan feminisme banyak
diinspirasi oleh Negara-Negara Barat. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti
bahwa gagasan-gagasan Negara Barat dianggap tidak relevan bagi negara-negara
Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman karena suatu gagasan tidak dapat
dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografis.[10]
Bagaimanapun juga,
ketika istilah feminisme dan gender bersifat asing, konsep sesungguhnya
mengungkapkan suatu transformasi. Jadi hal ini dapat menjelaskan bahwa
feminisme tidak dimasukkan secara paksa. Gender dan perjuangannya muncul di
banyak negara disebabkan karena suatu kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta
ketidakadilan yang semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam
hal ini kaum perempuan. Hak untuk berpolitik juga mendasari terjadinya gerakan berbasis
gender yang membawa isu kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik setiap
manusia (laki-laki maupun perempuan) telah diatur dalam Universal Declaration of Human Right, yaitu pada pasal 19, 20 dan
21 dengan rincian sebagai berikut:[11]
Pasal 19
Setiap
individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal
ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan
dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Pasal 20
1. Setiap
individu mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.
2. Tidak
seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal
21
1. Setiap
individu berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau
melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap
individu berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan
pemerintahan negerinya.
3. Kehendak
rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah. Kehendak ini harus dinyatakan
dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang
dilakukan menurut hak-hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak
membeda-bedakan dan dengan yang bersifat suara yang rahasia ataupun menurut
cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Negara
Kuwait merupakan negara yang mayoritas penduduknya menganut Agama Islam. Namun,
bersamaan dengan proses modernisasi yang dilancarkan oleh kolonialisme barat,
muncul aliran modernisasi di dalam pemikiran sebagian umat Islam yang
berpengaruh terhadap masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya Kuwait.
Pengaruh modernisasi yang terpenting ialah masuknya unsur liberalisme dan
feminisme yang menyentuh emansipasi wanita termasuk di dalamnya masalah politik
perempuan.
Kuwait telah tampil di pentas dunia internasional
dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan
perundang-undangan, banyak diwarnai oleh jiwa ke Islaman. Keikutsertaan
Kuwait dalam kegiatan-kegiatan pembangunan kaum perempuan pada tahap global
terlihat sangat aktif melalui konfrensi-konfrensi antar bangsa, yakni dalam 4
(empat) konfrensi besar yang telah dilaksanakan di berbagai negara. Salah
satunya adalah pada Konfrensi Perempuan
Sedunia IV di Beijing tahun 1995.
Deklarasi Beijing dan program aksinya sudah mencantumkan isu gender dan informasi,
komunikasi dan teknologi bagi perempuan, melalui peningkatan keterampilan,
pengetahuan, akses dan penggunaan teknologi informasi.[12]
Kuwait
adalah satu di antara banyak negara yang terlibat dalam wacana isu pembangunan
perempuan. Kuwait telah meratifikasi CEDAW pada tahun 1999, dimana CEDAW ini
bertujuan untuk mengintegrasi perempuan sepenuhnya dalam proses pembangunan
negara. Tahun 2005, Pemerintahan konservatif Kuwait memutuskan untuk memberi
perempuan hak politik penuh. Dewan Menteri sepakat meloloskan undang-undang
yang memberi hak politik penuh kepada perempuan, seperti hak untuk ikut memilih
dalam pemilihan umum, serta hak untuk bersaing menjadi salah satu dari 50
anggota parlemen.[13]
Sebelum Undang-Undang pemilihan
umum diubah, perempuan Kuwait tidak bisa memilih atau dipilih walaupun mereka
bisa menjadi diplomat, pengusaha dan bekerja di berbagai bidang industri. Hal
ini memicu perempuan Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang, sehingga mereka
memutuskan akan berusaha menuntut hak mereka sampai parlemen memutuskan untuk
memberi hak politik bagi perempuan. Berbagai unjuk rasa, debat, banyak
dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait.
Seperti penulis Fatima al- Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan
Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar
Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang
mendukung penuh para calon legislatif perempuan.[14]
Tuntutan kaum perempuan Kuwait
selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif Islam di Parlemen yang
jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif
dalam kegiatan politik, karena bertentangan dengan tradisi budaya dan
“penafsiran agama” yang telah lama berlaku di negara Kuwait. Maka tidak
mengherankan bila parlemen Kuwait telah dua kali menolak usulan pembahasan
kebijakan beberapa tahun sebelum undang-undang hak politik bagi perempuan
disahkan.[15]
Sejak tahun 1962, Kuwait telah
melaksanakan 11 kali pemilihan parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan
perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005 lah akhirnya kaum
perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya.
Pemerintahan
konservatif Emirat Kuwait memutuskan
untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut Dewan Menteri, perubahan
Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait tahun 1962, sebagai bagian dari kebijakan
“memperluas partisipasi masyarakat” dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU
baru tersebut, perempuan dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Pada tanggal 18 Mei 2005, Kuwait
merubah Amandemen Undang- Undang Pemilu pasal I No.35 tahun 1962, yang
sebelumnya Amandemen Undang-Undang tersebut hanya memberikan hak politik bagi
kaum lelaki saja tetapi kini Undang-Undang tersebut telah dirubah dengan
memberikan hak penuh bagi kaum perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu
ataupun mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU ini
berdasarkan keputusan parlemen Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak 35
suara mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang memperoleh
penentangan keras dari anggota parlemen dari kubu Islamis dan konservatif.[16]
Ketika tahun 1999, Emir Kuwait saat
itu adalah Sheikh Jaber al-Ahmad al-Sabah sebenarnya juga telah mengajukan
dekrit yang mendukung perempuan mendapat hak pilih, yang diajukan kerajaan
tetapi ditolak oleh Majelis Nasional. Para anggota parlemen dari kalangan
Islamis dan kesukuan menolak langkah Emir karena menurut mereka melanggar
tradisi agama Islam dan masyarakat Kuwait. Begitulah kaum konservatif Islam selalu
beralasan, bertentangan dengan tradisi budaya dan penafsiran agama yang telah
lama berkembang di Kuwait. Selama enam tahun setelah dekrit itu gagal para kaum
perempuan terus berjuang sampai parlemen meloloskan rancangan undang-undang
yang menjamin hak politik bagi semua golongan.
Selama bertahun-tahun pula perempuan Kuwait
berjuang untuk memperoleh hak politik penuh, namun upaya mereka selalu
digagalkan oleh kubu muslim garis keras dan kelompok-kelompok suku didalam
parlemen yang semuanya pria. Hal ini disebabkan karena dari kubu Islam yang
berjumlah 18 (lebih dari sepertiga anggota parlemen yang berjumlah 50) ditambah
dari kubu suku selalu menang dalam berbagai voting suara di parlemen. Maka
setelah sidang maraton selama 10 jam, parlemen yang seluruh anggotanya
laki-laki mengesahkan Amandemen Undang-Undang tersebut dengan mayoritas besar.
Setelah Amandemen Undang-Undang itu disahkan, warga Kuwait menyambut gembira,
mereka turun kejalan untuk merayakan kemenangan mereka.
Pada tanggal 29 Juni 2006, Kuwait
menyelenggarakan pemilu, untuk pertama kalinya kaum perempuan ikut
berpartisipasi dalam pemilu tersebut. Bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga
sebagai kandidat anggota parlemen. Dalam pemilu tersebut terdapat 253 kandidat,
28 di antaranya perempuan yang akan memperebutkan 50 kursi parlemen. Setelah
satu tahun memenangi hak berpolitik, ke-28 perempuan itu akhirnya benar-benar
terjun ke panggung politik.
Para perempuan itu akan menghadapi
banyak halangan mengingat tradisi Kuwait yang tidak mendukung ide kesetaraan
peran perempuan dan laki-laki. Selain ke-28 perempuan yang mayoritas kandidat
Independen, 50 kursi parlemen juga diperebutkan 60-70 kandidat dari oposisi,
seperti kelompok islam, liberal, dan nasionalis. Di antara mereka terdapat 28
dari 29 anggota parlemen yang pernah mundur dari parlemen akibat konflik
berkepanjangan di pemerintahan tentang masalah reformasi pemilu yang kemudian
berakhir dengan pembubaran parlemen yang dilakukan oleh Emir Syeikh Sabah
al-Ahmad al-Sabah karena muncul perselisihan antara pemerintah dan oposisi
menyangkut reformasi pemilu.
Selama masa kampanye, berbagai
organisasi dan kandidat Independen menyuarakan isu anti korupsi. Berbeda dengan
pemilu sebelumnya, pemilu kala itu lebih ramai dengan kandidat perempuan dan
orang-orang muda yang belum berpengalaman dalam pemilu. Berbagai organisasi
remaja dibentuk untuk membantu kampanye kandidat muda.[17]
Setelah hasil penghitungan suara
diumumkan calon-calon perempuan legislatif Kuwait gagal meraih kursi di
parlemen dalam pemilu bersejarah di negara itu. Hasil penghitungan suara
tersebut menunjukan calon legislatif islamis dan eks anggota legislatif
pro-reformasi menyapu bersih perolehan suara dan tak satu pun kursi untuk ke-28
calon legislatif perempuan. Padahal, populasi pemilih perempuan mencapai 57
persen dari total 340.000 orang pemilih sah.
Kaum perempuan sebelumnya sudah
menduga, kandidat islamis koservatif dan daerah bakal menjadi penghalang bagi
kandidat-kandidat perempuan. Hasil penghitungan suara menunjukan, oposisi
meraih hampir dua pertiga kursi. Kubu oposisi makin kuat dipersatukan dengan
satu sikap menentang pemerintahan korup. Kemunculan kuat kubu oposisi
memunculkan kemungkinan makin dalamnya ketegangan antara parlemen baru dan
pemerintah. Sedangkan 20 dari 29 kandidat eks anggota legislatif terpiliih
kembali untuk Majelis Nasional pada saat itu. Mereka inilah yang membentuk
poros aliansi oposisi. Perjuangan Perempuan Kuwait yang tak kenal lelah itu
merupakan suatu bukti bahwa mereka mampu membuktikan keadilan dinegaranya dan
menjadi tauladan bagi kaum perempuan dunia yang sampai saat ini masih belum
mendapatkan hak politik.
Melihat persoalan di atas maka
penulis tertarik untuk meneliti masalah yang akan difokuskan dengan judul “Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait
: Kendala dan Prospeknya”.
B.
Batasan
Dan Rumusan Masalah
1.
Batasan
Masalah
Peranan kaum perempuan sangat berpengaruh
terhadap keberlangsungan suatu negara, khususnya Di Kuwait, perananannya pun
berbeda-beda. Sebagian besar negara Islam, perempuan terus mengalami kesulitan
dalam memperoleh hak pilih akibat adanya kendala-kendala kultural, agama,
patriarki dan ekonomi. Selain itu dalam hal mengenyam pendidikan pun perempuan
sering terpinggirkan. Khususnya di Kuwait, kaum perempuan selalu mendapat
penentangan dari kaum konservatif Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak
sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan
politik, karena bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang
telah lama berlaku di negara Kuwait.
Untuk menghindari melebarnya
penelitian, maka penulis membatasi penelitian ini yaitu berawal dari tahun
1962, pertama kali negara Kuwait membentuk parlemen dan merupakan negara tertua
yang memiliki parlemen di kawasan Teluk Persia,
sampai dengan tahun 2006 dimana perempuan Kuwait mendapat hak politik dan
mulai terlibat dalam politik sebagai hasil
perjuangan kaum perempuan di Kuwait dalam memperjuangkan hak-hak
politiknya. Penulis juga akan menganalisa bagaimana kendala dan prospek perjuangan
politik kaum perempuan di Kuwait. Namun, tidak menutup kemungkinan digunakannya
data-data tahun sebelumnya agar penelitian ini mendekati kesempurnaan.
2. Rumusan
Masalah
1) Bagaimana
perjuangan kaum perempuan di Kuwait dalam memperjuangkan hak-hak politiknya?
2) Bagaimana
kendala dan prospek perjuangan
politik kaum perempuan di Kuwait?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait.
2. Untuk
mengetahui kendala dan prospek
perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait.
D.
Manfaat
Penelitian
Manfaat
penelitian ini adalah :
1. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi para
mahasiswa ilmu hubungan internasional serta pemerhati masalah-masalah kaum perempuan
di Kuwait.
2. Penelitian
ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dan para
pengambil kebijakan.
E.
Kerangka
Konseptual
Sebelum abad ke-19, kehidupan kaum
perempuan terpuruk dan dianggap sebagai kaum terpinggirkan oleh sekelompok masyarakat
dan pemerintah dalam berbagai kebijakan. Perempuan merupakan kaum yang tidak
dapat meraih hak-hak politiknya karena tidak adanya ruang yang terbuka untuk
kaum perempuan dalam berpolitik. Kaum perempuan diberi kebebasan untuk
memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka tetap saja
diikat dengan norma-norma patriarkhi yang relatif menghambat dan memberikan
kondisi yang dilematis terhadap posisi mereka.
Partisipasi politik secara umum
bisa dikatakan merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin
negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakannya. Di
sisi lain, partisipasi politik pun diarahkan untuk memperkuat sistem politik
yang ada. Dalam tataran ini partisipasi politik dipandang sebagai bentuk
legitimasi dari sistem politik yang bersangkutan. Atau dengan kata lain
partisipasi politik menjadi salah satu indikator signifikan atas dukungan
rakyat baik terhadap pemimpinnya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pemimpinnya maupun bagi sistem politik yang diterapkannya.[18]
Partisipasi pada dasarnya merupakan
kegiatan warga negara dalam rangka ikut serta menentukan berbagai macam
kepentingan hidupnya dalam ruang lingkup dan konteks masyarakat itu sendiri.
Karena itu partisipasi itu sendiri bisa beragam bentuk kegiatannya.
Bagaimanapun, ekspresi orang dalam mengemukakan atau dalam merespon berbagai
macam permasalahan dan kepentingan politiknya, satu sama lain akan
berbeda-beda. Uraian diatas memperlihatkan bahwa partisipasi politik sebagai
suatu bentuk kegiatan atau aktivitas dapat dilihat dari beberapa sisi. Ia bisa
dilihat sebagai bentuk kegiatan yang secara sadar maupun tidak sadar atau
dimobilisasi, ia bisa dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri, kemudian
dapat pula dilakukan langsung ataupun tidak langsung, melembaga ataupun tidak
melembaga sifatnya.[19]
Terdapat pula beberapa defenisi
lainnya tentang partisipasi politik, diantaranya adalah: menurut Samuel P. Hanington dan Joan Nelson dalam bukunya Partisipasi
Politik Negara Berkembang, partisipasi politik adalah kegiatan warga (private citizen) yang bertujuan
mempengaruhi keputusan oleh pemerintah.[20]
Menurut Michael Rush dan Philip Althoff dalam bukunya Pengantar Sosiologi dan
Politik, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada
bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut Ramlan Surbekti dalam bukunya Memahami
Ilmu Politik, bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara
biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi
kehidupannya.[21]
Menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender, and
Society, gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat
Tuhan. Perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin (sex) yang
merupakan kodrat Tuhan, dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Adapun
gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara
laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan
Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural
yang panjang. Oleh karena itu, gender berubah dari masa ke masa.
Feminisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh
kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan antara dua jenis manusia, laki-laki
dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan
dari lingkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya.[22]
F. Metode Penelitian
1.
Tipe Penelitian
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan Metode Eksploratif. Metode Eksploratif bertujuan
untuk menggali secara luas sebab-sebab atau hal yang mempengaruhi terjadinya
perjuangan pergerakan kaum perempuan di Kuwait, sehingga didapat alur dari
sejarah partisipasi kaum perempuan di Negara tersebut.
2.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
telaah pustaka (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini
berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs
internet yang berkaitan dengan masalah yang akan penulis teliti.
3.
Sumber dan Jenis Data
Sumber data utama yang diperlukan dalam
penelitian ini berupa data sekunder yang dipakai untuk menjaga keutuhan
terhadap obyek penelitian. Data sekunder adalah data yang dapat diperoleh dari
beberapa sumber baik berupa buku, jurnal, laporan tertulis, surat kabar,
majalah dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek yang diteliti, terutama
Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait.
4. Tehnik
Analisa Data
Teknik analisa
data yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisa data
kualitatif, Dimana, data yang dikumpulkan melalui
penelitian lapang (field research)
dilakukan dengan metode kualitatif, karena sifat data penelitian ini merupakan
informasi kualitatif. Dengan demikian data dianalisis secara kualitatif pula.
Metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis. Salah satu masalah yang dianggap penting dalam
menganalisa sebuah fenomena dalam hubungan internasional adalah tingkat
analisis (level of analysis). Hal ini
membantu untuk melihat seperti apa input dan output dari sebuah perjuangan
politik suatu negara.
5.
Metode Penulisan
Metode penulisan yang di gunakan oleh penulis adalah
metode deduktif, dimana penulis terlebih dahulu akan menggambarkan permasalahan
secara umum, lalu kemudian menarik kesimpulan secara khusus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep
Perjuangan Politik
1.
Perjuangan Politik
Perjuangan
berasal dari kata juang yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai usaha mempertahankan dan memperbaiki.[23] Selama ini perjuangan
diasumsikan sebagai sesuatu hal yang komunal atau sebagai reaksi kolektif
terhadap sebuah ketidakadilan.
Perjuangan
politik identik dengan pergerakan politik yang merupakan gerakan dari kelompok
atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
politik atau kadang-kadang malah
ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan
menggunakan jalur-jalur atau cara-cara politik. Jika dibandingkan dengan partai
politik, maka gerakan mempunyai tujuan yang lebih
terbatas
dan fundamental sifatnya, dan terkadang lebih bersifat ideologis. Orientasi ini
merupakan ikatan yang kuat di antara anggota-anggotanya dan dapat menumbuhkan
suatu identitas kelompok (group identity)
yang kuat. Organisasinya kurang ketat dibandingkan partai politik, berbeda
dengan partai politik, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilihan
umum.[24]
Pemahaman
tentang perjuangan kelompok sosial dan kelompok politik dalam suatu masyarakat,
meskipun sebagai subjek dan objek yang sama, kedua kelompok tersebut akan
bersinggungan dalam suatu titik bernama kelompok sosial politik seperti
keterlibatan dalam politik formal, pembuatan kebijakan publik, proaktif
terhadap pelaksanaan sistem politik yang ada, dan sebagainya.
Gerakan sosial
merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku
kolektif. Gerakan sosial adalah
suatu usaha kolektif yang bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan.
Gerakan sosial juga didefenisikan sebagai suatu kolektifitas yang melakukan
kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak
perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup
kolektifitas itu sendiri.[25]
Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok yang tidak puas
terhadap keadaan.
Menurut teori
sosiologis salah satunya yaitu teori Mobilitas Sumber Daya yang menggarisbawahi
pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial.[26]
Sebab gerakan sosial yang berhasil sangat memerlukan organisasi dan taktik yang
efektif. Para pendukung teori ini berpandangan bahwa tanpa
adanya keluhan dan ketidakpuasan tidak akan banyak terjadi gerakan. Namun demikian,
diperlukan adanya mobilisasi untuk mengarahkan ketidakpuasan itu agar dapat
menjadi gerakan massa yang aktif.[27]
Sumber daya yang
harus dimobilisasi sebagai ekpresi dari partisipasi politik adalah: pandangan
dan tradisi penunjang, peraturan hukum yang dapat mendukung, organisasi dan
pejabat yang dapat membantu, manfaat yang memungkinkan untuk dipromosikan,
kelompok sasaran yang dapat terpikat oleh manfaat tersebut, dan sumber daya
penunjang lainnya. Semua itu memberikan pengaruh besar terhadap kecilnya pengorbanan
pribadi dalam gerakan sosial, tantangan yang akan dihadapi, kesulitan lain yang
harus diatasi, dan taktik pelaksanaan yang akan diterapkan.
Adapun
bentuk-bentuk gerakan sosial, yaitu: (1) Gerakan perpindahan (migratory movement), yakni arus perpindahannya
penduduk ke suatu tempat baru; (2) gerakan ekspresif (expressive movement), yakni tindakan penduduk untuk mengubah sikap
mereka sendiri, dan bukannya mengubah masyarakat; (3) gerakan utopia (utopia movement), yakni upaya untuk
menciptakan masyarakat sejahtera (sempurna) yang berskala kecil; (4) gerakan
reformasi (reform movement), yakni
gerakan yang berupaya memperbaiki beberapa kepincangan dalam masyarakat; (5)
gerakan refolusioner (refolusionary
movement) yang berusaha untuk mengganti sistem yang ada dengan sistem yang
baru; dan (6) gerakan perlawanan (resistance
movement) yang berusaha melawan perubahan sosial tertentu.[28]
2.
Perempuan
dalam Perjuangan
Politik
Berbicara soal politik tak pernah habisnya. Politik
terus mengalir dan digerakkan. Bukan saja lelaki yang bisa bergerak di bidang
politik, tetapi perempuan juga ada haknya. Perjuangan emansipasi perempuan,
telah menuntun perempuan untuk mewujudkan terciptanya persamaan hak antara kaum
perempuan dan kaum laki-laki. Emansipasi yang menjadi wujud gerakan perjuangan
persamaan hak-hak perempuan dari ketidakadilan dan ketertindasan.
Dalam sejarah pergerakan perjuangan emansipasi
perempuan, sesungguhnya tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Eropa saja.
Tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat Islam seperti yang terjadi di
beberapa Negara-negara Islam. Perjuangan itu muncul, karena perempuan masih
diperlakukan secara tidak adil. Sebagai gambaran, sampai tahun 30-an meskipun
sekularisme sudah muncul, tapi perempuan di negara-negara Islam tersebut masih
belum mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya. Kondisi demikian yang memaksa
perempuan barat terus memperjuangkan hak-haknya.
a. Hak-Hak
Politik Kaum Perempuan
Menurut Ja’far yang dimaksud hak-hak politik adalah
hak-hak yang ditetapkan dan diakui undang-undang atau konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga Negara.
Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat
kewarganegaraan.[29]
Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep dan
kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik pada tingkatan tertentu menjadi hak
bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan
hak mutlak, sebagaimana yang diterima, membolehkan seseorang menggunakannya
atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apapun.
Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu
dalam pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di
majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan, atau pencalonan diri mereka
untuk menjadi anggota majelis atau lembaga-lembaga perwakilan tersebut.
Hak-hak politik sesuai yang dikemukakan oleh Dahla,
bahwa dalam sebuah Negara yang demokratis, harus menjamin kebebasan dan hak-hak
untuk:[30]
1)
Kebebasan
untuk membentuk dan ikut aktif dalam suatu organisasi
2)
Kebebasan
beraktivitas
3)
Kebebasan
memilih dan berpendapat
4)
Serta
kebebasan untuk berpatisipasi aktif dalam kegiatan pemerintahan yang
diselenggarakan oleh negara.
b.
Legislasi
Internasional mengenai Hak-Hak Politik Kaum Perempuan
Dewasa kini, pembicaraan tentang perempuan dan HAM
(Hak Asasi Manusia) baik yang berkaitan dengan konsepnya maupun implementasinya
dalam artian tuntutan perempuan terhadap hak asasi manusia semakin menonjol.
Pada intinya,
kaum perempuan di seluruh dunia merasa bahwa mereka belum sepenuhnya dapat
menikmati hak-hak mereka karena belum terjamin dalam peraturan
perundang-undangan di Negara mereka masing-masing ataupun karena sejak de facto hak-hak mereka belum
dilaksanakan. Selain itu, yang tampak paling menonjol adalah upaya kaum
perempuan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM itu sendiri.[31]
Jika dilihat dalam sejarah, tampak bahwa upaya untuk
memperbaiki konsep hak asasi perempuan telah
berlangsung cukup lama. Pernyataan pertama yang memuat prinsip bahwa jenis
kelamin tidak semestinya menjadi dasar dari segala bentuk diskriminasi termuat
dalam preambule Piagam PBB tahun 1945
(The United Nations Carter) yang
antara lain menyatakan: “Kita masyarakat Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
bersumpah kepada diri kita untuk menegaskan lagi kepercayaan pada hak-hak
politik, harkat dan martabat manusia. Dan bahwa laki-laki, perempuan dan
seluruh anggota masyarakat baik besar maupun kecil mempunyai hak yang sama”
Prinsip tersebut diulangi lagi dalam pasal-pasal ,
yakni; 1, 13 (1), 55 (c), 58, 62 (2), dan pasal 76 (c) Piagam PBB tersebut.
Selanjutnya prinsip non-diskriminasi ini ditegaskan kembali dalam Deklarasi
Sedunia tentang HAM 1948 (The Universal
Declaration of Human Rights) mencantumkan pada pasal 21 bahwa tiap orang,
tanpa memandang jenis kelaminnya, mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan di Negara masing-masing dan untuk mendapatkan akses yang sama atas
pelayanan publik.
Deklarasi Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik tanggal 16 Desember 1966 yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada butir 3 ditetapkan bahwa Negara-negara anggota berjanji
untuk menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan dengan menggunakan
semua hak sipil dan politik yang temuat dalam deklarasi yang berlaku hingga
sekarang.
Konvensi yang lain adalah Konvensi tentang Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1979 (Convention for the Elimination of all Forms of Discrimination Againts
Women atau CEDAW). Konvensi ini merupakan sebuah pernyataan hak asasi
internasional untuk kaum perempuan. Konvensi ini bergerak dari norma jenis
kelamin netral yang mengharuskan perlakuan sama laki-laki dan perempuan,
biasanya diukur oleh bagaimana laki-laki diperlakukan, sampai mengakui
kenyataan bahwa sifat khusus diskriminasi terhadap perempuan adalah jawaban
hukum yang pantas dihormati.[32]
Di bidang hak-hak politik perempuan, CEDAW
memperluas konsep seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Internasional
tentang Hak-Hak Politik Perempuan tahun 1952. CEDAW menambahkan hak perempuan
untuk bersuara dalam referendum umum, partisipasi perempuan dalam perumusan dan
implementasi kebijakan pemerintah selain representasi mereka pada tingkat
internasional. Dengan kata lain, CEDAW memajukan perjanjian Internasional
tentang Hak-Hak Politik Perempuan. Pada pasal 7 dalam konvensi ini tentang
politik dan kehidupan masyarakat bagi perempuan ditegaskan kembali mengenai:
1)
Hak
untuk memilih dan dipilih.
2)
Berpartisipasi
dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan
dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua
tingkat.
3)
Berpartisipasi
dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang
berhubungan dengan masyarakat dan politik Negara.[33]
Selain itu,
tercatat beberapa konverensi di tingkat internasional yang membahas masalah-masalah
perempuan antara lain:
1)
Konfrensi
Internasional Perempuan Pertama (First
World Confrence for Women) di Mexico tahun 1975 sebagai awal dari decade
perempuan yang menghasilkan Deklarasi Meksiko dimana telah menggariskan
hubungan antara status perempuan dan system politik dan ekonomi internasional.
2)
Konfrensi
Internasional Perempuan Kedua (Second
World Confrence for Women) di Kopenhagen, Denmark tahun 1980.
3)
Konfrensi
Internasional Perempuan Ketiga (Third
World Confrence for Women) di Nairobi, tahun 1985
4)
Konfrensi
Internasional Perempuan Keempat (Fourth
World Confrence for Women) yang diselenggarakan di Beijing, China pada
tahun 1995 yang memfokuskan perhatiannya pada 12 wilayah perhatian khusus,
yakni; kemiskinan, ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, ketidaksertaan dalam
akses kesehatan, perempuan dalam konflik bersenjata, kekerasan terhadap
perempuan, partisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, berbagai kekuasan
dan pengambilan keputusan, mekanisme kelembagaan terhadap stereotype gender,
hak-hak asasi perempuan, system komunikasi terutama media massa, distribusi
sumber daya dan lingkungan serta hak-hak perempuan muda.[34]
B. Konsep
Gender dan Feminisme
1. Pengertian Gender
Gender itu
berasal dari bahasa latin “genus”
yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan
pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.[35]
Kalau begitu antara gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering
muncul dari pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.
Gender itu
sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan
pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya
setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh
Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili,
sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta
menyusui dan menopause.[36]
Bagaimana pula
bentuk hubungan gender dengan seks (jenis kelamin) itu
sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan
perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta
memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari
waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat
perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.
Dari peran
ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi
pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut,
emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll.
Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari
nafkah dan lain-lain.
Proses
pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat,
bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan
peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah
adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai
kodrat.
Selain itu ada juga beberapa pendapat tentang gender. Berikut ini beberapa
pengertian gender menurut para ahli, antara lain :
2.
Gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh
masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang
berlaku dalam periode waktu tertentu.[38]
berlaku dalam periode waktu tertentu.[38]
3.
Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi
perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya.[39]
perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya.[39]
4.
Gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin.[40]
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin.[40]
a.
Bentuk Gender
Perbedaan gender tidaklah
menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang menjadi
persoalan adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan, terutama kaum
perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur di mana baik kaum
laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari system tersebut. Untuk
memahami bagaimana peran gender melahirkan ketidakadilan gender, dapat dilihat
melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni; marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja
lebih panjang dan lebih banyak (burden),
serta sosialisasi ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender
ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan,
saling mempengaruhi secara dialektis.[41]
Munculnya kesadaran kaum
perempuan yang merasakan ketidakadilan atas peran gender mereka merupakan latar
belakang lahirnya gerakan gender ini. Gerakan ini bertujuan untuk demi
terwujudnya kebebasan dari segala bentuk tindak penindasan, baik struktural maupun personal, kelas, warna kulit dan ekonomi
internasional.
Bentuk gerakan
ini dapat dilihat dari tujuan kegiatannya:
1.
Kebutuhan Praktis Gender
Kebutuhan praktis gender
adalah kebutuhan-kebutuhan perempuan dan laki-laki untuk dapat melaksanakan
perannya secara lebih mudah, lebih efektif dan
efisien dan biasanya kebutuhan itu dapat diidentifikasi oleh mereka sendiri.[42]
Kebutuhan praktis gender
acapkali hanya berupa kebutuhan akan pelayanan kesehatan, pendidikan, makanan,
bahan bakar, sumber air, dan lain-lain. Contoh-contoh kegiatan yang bertujuan
untuk pemenuhan kebutuhan praktis gender:
·
Pengurangan beban kerja, misalnya pembangunan sumur pompa tangan dan sebagainya.
·
Perbaikan kesehatan, misalnya mendirikan Puskesmas/Bima Keluarga Balita.
·
Perbaikan sarana pendidikan.
1)
Cenderung bantuan langsung dan bersifat jangka pendek.
2)
Ditujukan spesifik (misalnya program khusus untuk perempuan).
3)
Berupa pemenuhan dan penyediaan input-input
tertentu.
4)
Tidak mengubah peran tradisional perempuan dan laki-laki
2.
Kebutuhan Strategis Gender
Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang
berhubungan dengan perubahan posisi “subordinasi” perempuan dalam masyarakat.
Dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender, perempuan akan dapat mencapai
persamaan-persamaan peran yang telah ada dan kemudian mengusahakan perubahan
posisi “subordinasi” perempuan. Berhubung pemenuhan kebutuhan strategis gender
berkaitan pada perbaikan posisi baik perempuan maupun laki-laki di masyarakat,
maka pemenuhan strategis gender cenderung jangka panjang.[46]
Contoh-contoh kegiatan yang
bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan strategis gender:
1)
Perbaikan dalam bidang pendidikan, misalnya menggunakan guru perempuan
sebagai contoh/panutan, buku-buku sekolah yang gambar dan kalimatnya tidak bias
gender dan menghapus diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu untuk
diterima pada sekolah tertentu (sekolah teknik tidak diperuntukkan untuk
laki-laki saja).
2)
Perbaikan akses terhadap asset produksi, misalnya status sah atas
kepemilikan lahan, hak untuk menggunakan fasilitas umum, hak untuk membuka
rekening atas nama pribadi dan tanpa perlu persetujuan suami.
3)
Kegiatan-kegiatan yang ditujukan baik untuk laki-laki maupun perempuan
diadakan bersamaan dan tidak dipisahkan serta berkaitan dengan perempuan akses
dan control terhadap sumber daya, kesamaan hak di dalam segala bidang termasuk
bidang politik.[47]
b.
Teori-Teori Gender
Ada
beberapa teori gender, yaitu :
a) Teori Kodrat Alam
Menurut teori ini perbedaan biologis yang membedakan
jenis kelamin dalam memandang gender. Teori ini dibagi menjadi
dua yaitu[48]:
dua yaitu[48]:
·
Teori Nature
Teori
ini memandang perbedaan gender sebagai kodrat alam yang tidak perlu
dipermasalahkan.
·
Teori Nurture
Teori
ini lebih memandang perbedaan gender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan
kodrati, sehingga perbedaan gender tidak berlaku universal dan dapat
dipertukarkan.
b) Teori Kebudayaan
Teori ini memandang gender sebagai akibat dari
konstruksi budaya. Menurut teori ini terjadi keunggulan laki-laki terhadap
perempuan karena konstruksi budaya, materi, atau harta kekayaan.
Gender itu merupakan hasil proses budaya
masyarakat yang membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan. Pemilahan
peran sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dibentuk dan
dilatihkan.
c) Teori Fungsional Struktural
Berdasarkan teori ini munculnya tuntutan untuk
kesetaraan gender dalam peran sosial di masyarakat sebagai akibat adanya
perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Dalam era globalisasi yang
penuh dengan berbagai persaingan peran seseorang tidak lagi mengacu kepada
norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin,
akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan
keterampilan.
2.
Pengertian
Feminisme
Feminisme
atau yang sering dikenal dengan sebutan emansipasi berasal dari bahasa latin
yang berarti perempuan. Menurut
Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan
terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta
tindakan sadar perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.[49]
Sedangkan
menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan gender
yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.Ada
tiga ciri feminisme, yaitu;[50]
a.
Menyadari akan adanya ketidakadilan
gender.
b.
Memaknai bahwa gender bukan sebagai
sifat kodrati.
c.
Memperjuangkan adanya persamaan hak.
a.
Sejarah Feminisme
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya
dengan kelahiran
Era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan
masyarakat ilmiah
untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di
selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19
feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para
perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa
memperjuangkan
apa yang
mereka sebut sebagai
universal sisterhood.[51]
Kata feminisme dikreasikan pertama kali
oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier
pada tahun 1837.
Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak
publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka
menandai kelahiran feminisme. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada
masa itu,dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.[52]
Sejarah dunia
menunjukkan
bahwa secara umum kaum perempuan (feminin)
merasa dirugikan dalam semua bidang dan
dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin)
khususnya dalam
masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang
sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini
biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh
laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung
menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di
abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan
untuk ´menaikkan derajat
kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik,
perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat.[53]
Di tahun
1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the
Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip
feminisme dikemudian
hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan,
hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai
diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak
pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum
pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender
inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran
gender, identitas gender dan seksualitas.[54]
Gerakan
feminisme adalah gerakan
pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme,
penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Setelah berakhirnya perang dunia
kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme
Gelombang Kedua pada tahun 1960.
Dengan
puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini
merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut
mendiami ranah
politik kenegaraan. Dalam
gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria Yang
kemudian menetap diPerancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian
menetap di Perancis) bersamaan
dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik Logosentrisme yang
banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Sebagai
bukan White-Anglo-American-Feminist,
dia menolak esensialisme yang sedang marak
di Amerika pada waktu itu. Julia
Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacanapos-strukturalis yang sangat
dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit
putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada
perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam
berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi
sosial, agama, ras dan budaya.
Bell Hock
mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism
karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya. Banyak kasus menempatkan perempuan
dunia ketiga dalam konteks "all
women". Dengan
apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya
sastranovelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih
terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari
tanah jajahan sebagai subyek.
Penggambaran
pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak
pembantu di rumah-rumah
kulit putih. Perempuan
dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki
politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama
sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan
kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara
terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya
adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya.
Tetapi perempuan dunia ketiga
masih dalam kelompok yang bisu. Dengan
keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan
perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama.[55]
Berawal dari inilah akhirnya feminism mulai menjamur ke hampir semua
Negara yang ada di bumi. Namun, pergerakan feminism ini juga tergantung dari
hal-hal yang ingin diperjuangkan kaum
perempuan di masing-masing Negara.
b.
Aliran-aliran Feminisme
Dari berbagai aliran feminisme, sebaiknya dikenal
setidaknya empat aliran, yakni aliran liberal, radikal, Marxis, dan sosialis.[56]
1)
Aliran
liberal berasumsi bahwa
keterbelakangan dan ketidakmampuan kaum
perempuan bersaing dengan
kaum laki- laki disebabkan oleh
kelemahan mereka sendiri.
Mereka beranggapan bahwa
kebabasan dan persamaan berakar pada rasionalitas, dan bahwa perempuan
sebenarnya adalah mahluk rasional juga. Sikap emosional
hanyalah milik peradapan tradisional. Maka
mereka mengagungkan modernitas dan mempercayai
modernitas dan
industrialisasi sebagai peluang bagi perempuan untuk meningkatkan statusnya.Sedangkan kaum
Marxis menolak gagasan
kaum radikal dan melihat bahwa
masalah penindasan kaum perempuan adalah masalah obyektif, yakni bagian dari eksploitasi kelas dalam
hubungan produksi.
Menurut Engels, status perempuan
menurun sejak terjadinya perpindahan
pola mata pencaharian dari berburu menjadi beternak dan bercocok
tanam yang menimbulkan surplus. Surplus
menghasilkan property dan kapital, dan perempuan mulai dianggap bagian dari
property juga. Mulai saat itulah laki-laki
mendominasi kaum perempuan. Dalam era kapitalisme, perempuan ”dirumahkan” adalah menguntungkan,
sebab dia bisa dieksploitasi oleh buruh
laki-laki, sedangkan perempuan yang bekerja
menjadi buruh diupah lebih murah. Dan pemeliharaan stok buruh menyebabkan posisi tawar-menawar buruh sangat
rendah terhadap pemilik kapital. Bagi
kaum Marxis, perubahan status perempuan harus
ditempuh melalui revolusi sosialis, dan dengan menghapuskan pekerjaan
domestik (rumah tangga) melalui industrialisasi. Golongan Radikal melihat penindasan terhadap
kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan
radikal, revolusi terjadi pada setiap
individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi
untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan
penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri.
2)
Radikal melihat
penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal
dari dominasi laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat
terjadi hanya pada perempuan yang
mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup
pengalaman, dan hubungan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka
sendiri.
3)
Golongan Radikal melihat
penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki.
Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan
dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya
hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah
masalah subjektif mereka sendiri Sedangkan kaum
Marxis menolak gagasan kaum radikal dan melihat bahwa masalah penindasan kaum perempuan adalah masalah
obyektif, yakni bagian dari eksploitasi kelas dalam hubungan
produksi. Menurut
Engels, status perempuan menurun sejak terjadinya
perpindahan pola mata pencaharian dari berburu menjadi beternak dan
bercocok tanam yang
menimbulkan surplus. Surplus menghasilkan property dan kapital, dan perempuan mulai dianggap
bagian dari property juga. Mulai saat itulah laki-laki mendominasi kaum perempuan.
Dalam era kapitalisme,
perempuan ”dirumahkan” adalah menguntungkan, sebab dia bisa dieksploitasi oleh buruh laki-laki, sedangkan
perempuan yang bekerja
menjadi buruh diupah lebih murah. Dan pemeliharaan stok buruh
menyebabkan posisi tawar-menawar buruh sangat rendah terhadap
pemilik kapital. Bagi kaum Marxis, perubahan status perempuan harus
ditempuh melalui revolusi sosialis, dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga) melalui
industrialisasi.
4)
Kaum sosialis menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi di kelas manapun. Mereka
mengkritik asumsi umum bahwa terdapat hubungan antara partisipasi kaum perempuan dalam
produksi dan status perempuan. Partisipasi kaum
perempuan dalam ekonomi
memang perlu tapi tidak otomatis selalu menaikkan
status perempuan. Memang ada korelasi antara status dengan pekerjaan,
namun keterlibatan
perempuan justru mengakibatkannya dijadikan budak maya (virtual
slaves).
BAB
III
GAMBARAN
UMUM TENTANG NEGARA KUWAIT DAN LANDASAN
PERJUANGAN POLITIK KAUM PEREMPUAN DI
NEGARA KUWAIT
A. Profil
Negara Kuwait
was founded in the early eighteenth century
by members of the tribe, also
known as the , , , and in the year
1705.Kuwait didirikan pada awal abad ke-18 oleh
anggota Bani
Utbah suku, juga
dikenal sebagai Al-Khalifa, Al-Sabah, Al-Roumi, dan Al-Jalahma pada tahun 1705. Kuwait was then known as Guraine; the established the
town and port of Guraine and called it Kuwait ("little fort," from
kut, "fort") They were descendants of the tribe who
gradually migrated in the early eighteenth century from to the shores of the . Kuwait kemudian dikenal sebagai Guraine yang diberi nama oleh Utbah
Bani yang mendirikan
kota dan Pelabuhan Guraine dan menyebutnya Kuwait ("benteng kecil,"
dari kut teh, "benteng"), dengan kata lain Kuwait berarti sebuah
benteng kecil yang berada di dekat laut.
Despite the Kuwaiti government's desire
to either be independent or under British rule, in the , the British concurred with the Ottoman Empire in
defining Kuwait as an " " of the
Ottoman Empire and that the Shaikhs of Kuwait were not independent leaders, but
rather qaimmaqam s (provincial
sub-governors) of the Ottoman governmentKeinginan pemerintah Kuwait sangat kuat untuk lepas
dari kekuasaan pemerintahan Inggris yang telah lama menanamkan pengaruh di
Kuwait, sehingga pada tahun 1913 Konvensi di Anglo-Ottoman, Inggris setuju dengan Kekaisaran Ottoman dalam
mendefinisikan Kuwait sebagai " caza
otonom " yang
berarti bahwa pemerintahan Kuwait tidaklah independen, melainkan sub-otonom
dari Kekaisaran Ottoman dan berada di bawah pengawasan Inggris. Dalam The convention ruled that Shaikh Mubarak had authority
over an area extending out to a radius of 80 km, from the capital.konvensi
tersebut juga diputuskan bahwa Syaikh Mubarak memiliki kewenangan memperluas
wilayah hingga radius 80 km, dari ibu kota.This
region was marked by a red circle and included the islands of , , , , , and . Wilayah ini ditandai dengan lingkaran merah dan
termasuk pulau-pulau Auhah, Bubiyan, Failaka, Kubbar, Mashian,
dan Warba.
, the Ottoman
Empire was defeated and the British invalidated the Anglo-Ottoman Convention,
declaring Kuwait to be an "independent sheikhdom under British
protectorate."Setelah Perang Dunia I
, Kekaisaran Ottoman kalah dan Inggris membatalkan Konvensi Anglo-Ottoman dan
menyatakan bahwa Kuwait menjadi sebuah negara yang "sheikhdom independen”, yakni negara yang di bawah protektorat
Inggris. The power vacuum left by the fall of the
Ottomans sharpened conflict between and .Pada tanggal 6 Juli 1961, Kuwait secara resmi
diterapkan untuk keanggotaan di PBB. Also on that
day, the United Kingdom submitted a draft resolution by which the Security
Council would call upon all States to respect the independence and territorial
integrity of Kuwait and urge that all concerned work for peace and tranquility
in the area. Dan pada hari yang sama, Inggris mengajukan rancangan
resolusi oleh Dewan Keamanan yang akan memanggil semua Negara untuk menghormati
kemerdekaan dan integritas wilayah Kuwait dan mendesak agar semua pekerjaan
yang bersangkutan untuk perdamaian dan ketenangan di daerah tersebut. Assembly act favorably on Kuwait's request.
Kuwait
also became an important player in the international family of nations, and
with its wealth it became a major foreign aid donor.Kuwait juga menjadi pemain penting dalam
keluarga internasional bangsa-bangsa, dan dengan kekayaannya itu menjadi donor
bantuan utama luar negeri. The Kuwait Fund for
Arab Economic Development is active throughout the Arab world and beyond.
Dana Kuwait untuk Pembangunan Ekonomi Arab adalah aktif di seluruh dunia Arab
dan seterusnya. Kuwait independently supports projects
in non-Arab, non-Muslim nations as well, and has given as much as eight per
cent of its annual gross national product in foreign aid. Kuwait
independen mendukung proyek-proyek non-Arab, negara-negara non-muslim juga, dan
telah diberikan sebanyak delapan persen dari produk bruto tahunan nasional
dalam bantuan asing. The country was instrumental
in the formation of the Gulf Cooperation Council in 1981, through which the
states of the Gulf maintain regional security, stability, and progress.Negara
Kuwait berperan penting dalam pembentukan Dewan
Kerjasama Teluk pada tahun 1981, melalui
negara-negara Teluk menjaga keamanan regional, stabilitas, dan kemajuan.
1.
Sistem Politik Dan Pemerintahan Kuwait
Kuwait adalah negara
Islam, kurang lebih 91,5% penduduk beragama Islam. Sebagian besar warganya termasuk aliran
Sunni. Meskipun demikian, terdapat pula kelompok Kristen dalam jumlah
kecil-kecil, seperti Protestan, Katolik Roma, Gereja Ortodoks, Gereja Suriah,
dan Gereja Armenia. Dominan dekatnya hubungan sejarah masa silam negara-negara
Arab, tidak mengherankan apabila kesamaan dan saling berpengaruh akan tradisi
budaya Timur-tengah, sosial, geografis, ekonomi (sebagai sesama negara
penghasil minyak), dan agama. Itulah mengapa negara kecil Kuwait memiliki citra
diri yang kuat sebagai negara Islam, kaya raya dan modern dengan ciri khasnya.[57]
Kuwait
adalah sebuah negara yang menganut sistem politik monarkhi konstitusional, yakni sebuh kerajaan yang didirikan di
bawah sistem konstitusional yang mengakui Raja sebagai kepala negara.[58] The country has the world's fifth largest and products now
account for nearly 95% of export revenues, and 80% of government income. [ 1 ] Kuwait is in the world per capita.
Namun, seiring perkembangan zaman, Negawa Kuwait
menggabungkan sistem monarkhi konstitusional dengan demokrasi representatif,[59]
yakni kerajaan tetap berada di bawah
kekuasaan rakyat tetapi raja mempunyai peranan tradisional yaitu mengatur jalannya sistem politik dan ekonomi di dalam
negara.
2.
Sistem
Parlemen Kuwait
Dalam
konstitusi 11 November 1962, terdapat suatu Dewan nasional (Majelis Al-Ummah)
yang terdiri atas 50 anggota, bertugas menyusun undang-undang dan anggotanya
dipilih untuk masa jabatan 4 tahun oleh para warga negara sipil pria yang telah dewasa. Tetapi pada tahun
1985, badan legislatif ini dibubarkan akibat perselisihan tajam dengan pihak
pemerintahan. Kuwait tidak mengijinkan berdirinya partai hanya ada suatu
kelompok-kelompok elit politik bagi para calon yang akan berdiri di panggung
politik dalam setiap pemilihan umum.[60]
Tahun 2005, Pemerintahan konservatif Kuwait memutuskan
untuk memberi perempuan hak politik penuh. Dewan Menteri sepakat meloloskan undang-undang yang memberi hak
politik penuh kepada perempuan, seperti hak untuk ikut memilih dalam pemilihan
umum, serta hak untuk bersaing menjadi salah satu dari 50 anggota parlemen.[61]Sebelum
UU pemilihan umum di rubah, perempuan Kuwait tidak bisa memilih atau dipilih
walaupun mereka bisa menjadi diplomat, pengusaha dan bekerja di berbagai bidang
industri. Hal ini memicu perempuan Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang,
sehingga mereka memutuskan akan berusaha menuntut hak mereka sampai parlemen
memutuskan untuk memberi hak politik bagi perempuan.
Berbagai unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa
kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait. Seperti penulis Fatima
al-Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait, Nabil
al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang juga turut
andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang mendukung penuh para calon
legislatif perempuan.[62]Tuntutan
kaum perempuan Kuwait selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif Islam
di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui
perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, karena bertentangan dengan tradisi
budaya dan “penafsiran agama” yang telah lama berlaku di negara Kuwait. Maka
tidak mengherankan bila parlemen Kuwait telah dua kali menolak usulan
pembahasan kebijakan beberapa tahun sebelum undang-undang hak politik bagi
perempuan disahkan.
Sejak tahun 1962, Kuwait telah melaksanakan 11 kali
pemilihan parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan. Melalui hasil
amandemen konstitusi tahun 2005 lah akhirnya kaum perempuan Kuwait mendapatkan
hak pilih dan dipilihnya. Pemerintahan konservatif
Emirat Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut
Dewan Menteri, perubahan UU Pemilihan Umum Kuwait tahun 1962, sebagai bagian
dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat” dalam kehidupan bernegara.
Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan dapat memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum.
3.
Konstitusional
Kuwait
Sistem
tata hukum Kuwait menggunakan hukum Islam
yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selain
itu, hukum adat juga masih digunakan seperti penentuan
kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi dan perdagangan namun tetap bersandar
pada undang-undang yang ada di Negara Kuwait, juga
berbagai permasalahan keluarga seperti perceraian, warisan dan sebagainya,
diurus oleh pengadilan tradisi agama masing-masing. Misalnya Sunni, Syi’ah dan
Kristen.[63]
Menjalankan kebijakan damai, netral dan non-blok dan berpendirian
mengembangkan hubungan dengan semua negara di atas dasar 5 prinsip hidup
berdampingan secara damai. Kuwait menekankan keharusan untuk penyelesaian
persengketaan antar negara dengan cara damai dan mencurahkan tenaga untuk
memelihara kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Menjalankan
sanksi terhadap Irak dan mengupayakan simpati dan perlindungan masyarakat
internasional sebagai titik berat pekerjaan diplomatiknya. Aktif memelihara
persatuan negara-negara Arab, berupaya meningkatkan hubungan dengan
negara-negara Islam, menekankan koordinasi dan kerja sama antar negara-negara
anggota Dewan Kerja Sama Teluk di bidang politik, ekonomi dan militer,
bersama-sama memelihara keamanan dan kestabilan di kawasan Teluk serta
menganjurkan berkoordinasi dengan negara-negara
"Deklarasi Damaskus" di bidang
keamanan regional.
Dalam urusan internasional, Kuwait berpendirian membina
tata baru internasional yang adil dan rasional, menentang agresi dan ekspansi.
Kuwait menganggap, PBB harus memainkan peranannya untuk memelihara keamanan dan
perdamaian dunia. Kuwait menganjurkan penyelesaian masalah hutang dunia ke-3.
Kuwait adalah negara anggota Uni Arab, Uni Parlementer Arab, Dewan Kerja Sama
Negara Arab Teluk, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak OPEC dan
Organisasi Negara Pengekspor Minyak Arab.[64]
B. Landasan Dan Tujuan Perjuangan
Politik Kaum Perempuan di Negara Kuwait
Perempuan di Negara
Kuwait sama halnya dengan mayoritas perempuan di berbagai Negara Islam yang
cenderung menganut paham patriarki dimana
laki-laki mendominasi pengambilan keputusan hampir dalam segala bidang. Hal ini mengakibatkan jarang yang mampu untuk
memobilisasi serta memberikan sesuatu yang berarti bagi perolehan hak-hak
mereka.
Gerakan gender yang
melahirkan partisipasi politik bagi para feminisme yang dilakukan untuk
memperjuangkan keadilan dan menghapus diskriminasi diawali pada tahun 1950an
yang meskipun tidak berbasis pada aksi namun mampu menyadarkan beberapa kaum
perempuan di berbagai belahan dunia. Hal ini juga sedikit banyak mengajak perempuan di Negara Kuwait mengkaji
posisi perempuan dalam Islam dan peranan perempuan di Negara Islam modern.
Hal yang menguntungkan
bagi perempuan di Negara Kuwait adalah pasca revolusi yang mengubah system
ketatanegaraan. Perempuan di Negara Kuwait sangat diperhatikan keberadaannya
dan tertuang dalam konstitusi Negara. Meskipun demikian, pada kenyataannya,
meski hak-hak politik mereka telah diakui oleh Negara, namun dalam
praktikalitasnya, perempuan di Negara Kuwait tetap berjuang untuk keluar dari
subordinasi politik yang menimpa mereka.
Paham Islam yang menjadi landasan Negara Kuwait,
seringkali menjadi alasan konsep hak asasi manusia maupun implementasinya untuk
masih cenderung berpihak pada kepentingan laki-laki (male bias). Hal ini mengingat struktur yang masih tertanam kuat
dalam masyarakat di Negara Kuwait yang cenderung patriarki, yakni struktur yang
menempatkan laki-laki berada pada posisi “kuat” dan “memegang” perempuan.
Pandangan ini pulalah yang membatasi perempuan dalam politik.
Dalam bidang politik, kaum perempuan
dianggap sekunder dan tidak memiliki otonomi penuh berkuasa atas dirinya. Paham
Islam menyebutkan bahwa pada level mikro (keluarga), kepentingan seorang
perempuan diwakili oleh suara laki-laki untuk perempuan yang belum menikah
diwakili oleh ayahnya, sementara bagi perempuan yang telah bersuami, maka yang
mewakili suaranya adalah suaminya.
Hal ini berlandaskan pada asumsi yang menurut mereka
berlandaskan Islam, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, dan implikasinya
yang acapkali berkembang adalah bahwa urusan perempuan adalah urusannya yang
harus diwakili kepada laki-laki. Hal ini berarti perempuan tidak memiliki hak
suara. Berdasarkan pandangan ini, maka seringkali keterlibatan perempuan dalam
urusan-urusan publik pun diwakili oleh wali yang berjenis kelamin laki-laki,
entah itu suami atau ayahnya.
Sementara pada level makro, isu partisipasi politik
perempuan masih diperdebatkan. Salah satu isu yang diangkat adalah anggapan
bahwa perempuan diakui memiliki hak untuk memilih tetapi hak untuk dipilih
masih dipertanyakan karena adanya anggapan dalam Islam bahwa yang seharusnya
memimpin adalah laki-laki dan perempuan tidak pantas memimpin. Meskipun pada
kenyataanya, Negara Kuwait telah mengakui hak politik perempuan pada tahun
1963, terbukti pada adanya pengakuan Negara Kuwait terhadap pembolehan
perempuan untuk mencalonkan diri, namun tetap pada level praktikalitas, tetap
perempuan masih di bawah level laki-laki.
Berangkat dari hal tersebut, maka dasar perjuangan
perempuan di Negara Kuwait adalah upaya-upaya untuk menghapuskan perempuan dari
beberapa hal sebagai berikut:
1)
Diskriminasi
dan pembatasan hak-hak perempuan.
2)
Stereotipe
dan prasangka terhadap perempuan.
3)
Perempuan
cenderung tidak sadar akan kedudukannya di mata hukum, hak-hak yang
dimilikinya, pengaruh hukum atas dirinya, serta keberadaannya yang cenderung
dijadikan sasaran/objek ketidakadilan.
Gerakan para feminis dari berbagai Negara memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk penghapusan diskriminasi yang terjadi kepada kaum
perempuan dan untuk memperoleh hak-hak politik yang telah dijanjikan dalam
beberapa deklarasi serta konvensi yang pada akhirnya tertuang dalam konstitusi
Negara masing-masing. Namun, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan para
feminis Kuwait difokuskan pada upaya untuk: 1) Menciptakan front solidaritas
perempuan di Negara Kuwit untuk membela hak-hak perempuan dan meningkatkan
kesadaran serta menghimpun kekuatan perempuan melalui persatuan dan
solidaritas. 2) Ikut andil dalam mengangkat status sosial dan budaya perempuan
di sektor-sektor umum dan khusus. 3) Ikut serta secara aktif dalam
menyumbangkan gagasan, pendapat dan karya sesuai program-program nasional yang
bertujuan mengembangkan kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi kaum
perempuan. 4) Ikut ambil bagian dalam pemberantasan buta huruf melalui
penyelenggaraan paket pendidikan dan pengajaran tulis baca di samping
peningkatan kesadaran sosial, budaya dan politik. 5) Berupaya mendirikan
lembaga pendidikan sosial dan individual perempuan yang bertujuan untuk
memecahkan berbagai masalah-masalah umum dan khusus perempuan.6)Mendirikan
penerbitan untuk lahan penyebaran hasil karya perempuan di berbagai bidang
keilmuan, seni, keterampilan dan kebudayaan.7) Mengikutsertakan perempuan dalam
kehidupan politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang hakiki.[65]
BAB
IV
WUJUD PERJUANGAN
POLITIK KAUM PEREMPUAN DI KUWAIT
SERTA
KENDALA DAN PROSPEKNYA
Kekerasan
perempuan terjadi pada beberapa negara islam karena adanya paham bahwa perempuan selalu berada di kelas
bawah dan berada dalam kontrol dan kemauan laki-laki. Dianggap suatu hal yang sah
bagi laki-laki untuk memukul dan mencambuk istri dan anak-anaknya dengan
mengatasnamakan agama. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah
tangga, maka banyak perempuan menanggung beban domestik lebih banyak dan lebih
lama dibanding laki-laki. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola,
menjaga dan memelihara rumah tangga telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan
keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya
keseluruhan pekerjaan domestik.
Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah pada
perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi
kaum laki-laki, tidak saja merasa bahwa hal tersebut bukan salah satu dari
tanggung jawabnya bahkan dibanyak tradisi, mereka dilarang untuk terlibat dalam
pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut secara logis akan bertambah, jika perempuan
yang juga bekerja dan menghasilkan nafkah di luar, karena mereka masih tetap
harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling
berkait dan secara dialektika dan saling mempengaruhi.
Manifestasi ketidakadilan tersebut “tersosialisasi” kepada kaum laki-laki
secara perlahan namun pasti, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun
perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender tersebut
seolah-olah adalah kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak
dirasakan lagi adanya sesuatu yang salah.
Persoalan ini yang mewarnai keterlibatan perempuan di negara
mayoritas Islam yakni Kuwait yang
akhirnya menjadi kepentingan kelas, dimana banyak pihak di negara ini yang
akhirnya berupaya untuk mempertahankan sistem dan struktur tersebut dan
teradopsi dalam setiap aspek kehidupan masyarakat khusunya dibidang politik.
Salah satu manifestasi ketidakadilan gender adalah subordinasi gender
khususnya kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil memimpin,
berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi ini diperkuat oleh
tatanan budaya dan agama yang semakin menekan kebebasan perempuan untuk
memperoleh hak-hak politik mereka, perempuan dan politik merupakan sebuah
perpaduan kontras yang menurut sebagian besar masyarakat adalah tidak mungkin.
Perjuangan politik kaum perempuan di Negara
Kuwait terbilang masih ketinggalan dibandingkan negara-negara Islam lainnya di
Timur Tengah. Hal ini dikarenakan banyaknya
hambatan mulai dari tafsir agama maupun budaya etnis serta kebijakan
pemerintah. Keterwakilan
kaum perempuan di dalam institusi-institusi politik Kuwait juga masih sangat minim. Berbagai tantangan dan kendala menghadang
para perempuan yang masuk ke dalam
panggung politik. Selain
itu banyak laki-laki
semakin enggan berbagi kekuasaan dengan perempuan. Kehadiran kaum perempuan
dalam proses pengambilan keputusan di Kuwait masih jauh dari cukup. Banyak
pemuka perempuan yang membicarakan kesetaraan gender dalam konteks ini.
Satu Abad silam,
tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti Syed Sheikh Al-Hadi, Sheikh Tahir
Jalaluddin dan sejawatnya dalam gerakan Islam progresif yang terkenal dengan
nama Kaum Muda, menyebarkan bahwa gadis-gadis Muslim harus mendapatkan
pendidikan terbaik sejajar dengan anak laki-laki. Meski awalnya gagasan-gagasan
itu ditentang oleh para tokoh konservatif, secara umum masyarakat Kuwait
menyambut ajakan itu dengan tangan terbuka.
Tidak mengherankan
kalau masyarakat Kuwait rata-rata memiliki pendidikan yang tinggi. Angka buta
huruf pun sangat rendah di negara ini sehingga berpengaruh pada pola pikir perempuan
Kuwait, walaupun selama ini mereka memiliki profesi sebagai pebisnis ataupun
diplomat dan pekerjaan lainnya di administrasi pemerintahan maupun swasta,
tetapi mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan politik. Membuat mereka merasa
sudah saatnya reformasi politik segera dilakukan di Kuwait.
Sebuah pemahaman konsep Islam yang
memungkinkan orang menghargai kemungkinan-kemungkinan ke arah “pembebasan
kaum perempuan” berdasarkan isi ajaran agama tersebut. Dalam banyak kasus, agama telah memberdaya
dan memungkinkan kaum perempuan mencapai serta mewujudkan potensi dan kemampuan
mereka sama dengan kaum laki-laki. Tahun 2006
yang lalu, perempuan Kuwait telah membuktikannya, dalam Pemilu tahun itu mereka mendapatkan hak memilih dan
dipilih sehingga terlibat dalam kegiatan politik sesuai dengan keputusan
Undang-undang yang telah di amandemen.
A. Perjuangan Hak Politik Kaum
Perempuan di Kuwait Setelah Pembentukan
Amandemen UU Pemilu (Hak Politik Bagi Semua Golongan)
Pada
tahun
1962 merupakan pertama kali
pemilihan parlemen dilakukan
setelah kemerdekaan Kuwait tetapi tidak
melibatkan perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005-lah akhirnya kaum
perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya setelah 11 kali pemilihan parlemen yang dilaksanakan
dalam 4 tahun sekali pada pemilihan tahun 2006.
Pemerintahan
konservatif Emirat Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh.
Menurut Dewan Menteri, perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait tahun
1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat” dalam
kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan dapat memilih dan
dipilih dalam pemilihan umum.
Perubahan
amandemen dilakukan Pada tanggal 18 Mei 2005, Kuwait
merubah Amandemen Undang- Undang Pemilu pasal I No.35 tahun 1962, yang
sebelumnya Amandemen Undang-Undang tersebut hanya memberikan hak politik bagi
kaum lelaki saja tetapi kini Undang-Undang tersebut telah dirubah dengan
memberikan hak penuh bagi kaum perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu
ataupun mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU
ini berdasarkan keputusan parlemen Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak
35 suara mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang memperoleh
penentangan keras dari anggota parlemen dari kubu Islamis dan konservatif.
Setelah pengumuman dilakukan, sambutan
tepuk tangan masyarakat yang berada di gedung parlemen bergemuruh. Perdana
Menteri Sheikh Sabah al-Ahmad al-Sabah mengucapkan selamat kepada perempuan
Kuwait yang berhasil memperoleh kemerdekaannya untuk menggunakan hak-hak politik
mereka. Pemerintahan al-Sabah mengeluarkan keputusan itu dengan menyatakan
bahwa sesungguhnya upaya tuntutan hak politik penuh kepada kaum perempuan sudah
mulai dirintis sejak tahun 1999. Setelah berjuang enam tahun akhirnya keinginan
itu dikabulkan. Keputusan disepakati
setelah menggelar pertemuan selama sepuluh jam.
Sebelum disahkan
undang-undang bagi kaum perempuan,
aneka unjuk rasa terjadi sebagai sebuah bentuk protes perempuan Kuwait dalam menuntut hak asasi
mereka, misalnya seperti yang
dinyatakan Lulwa al-Mullah salah seorang penggerak unjuk rasa, yang ikut dalam
aksi protes menuntut partisipasi perempuan di Parlemen Kuwait. Dalam unjuk rasa
tersebut, baik laki-laki maupun perempuan ikut ambil bagian dalam aksi yang mereka gelar.
Beberapa perempuan,
bahkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian khas negara. Tetapi banyak juga
di antara mereka yang berpakaian biru muda. Ini sebagai simbol perjuangan
perempuan di Kuwait. Para demonstran membawa plakat dengan tulisan “Hak bagi perempuan sekarang juga” dan “Hukum
Islam tidak menentang hak bagi perempuan.”[66]
Unjuk rasa yang diikuti
oleh sekitar 600 orang umumnya kaum perempuan. Tetapi kaum pria juga tampak
hadir meramaikan kegiatan tersebut. Walaupun demikian tidak sedikit kelompok
lain di Kuwait yang menentang pemberian hak politik kaum perempuan. Karena itu,
tidak heran bila parlemen negara Kuwait sudah dua kali menolak usulan
pembahasan kebijakan tersebut beberapa tahun terakhir sebelum disahkannya undang-undang perempuan
Negara Kuwait.
Peristiwa demi
peristiwa itu juga kian menyadarkan kaum
perempuan untuk lebih aktif dalam urusan sosio-ekonomi dan politik di Kuwait.
Ini dapat dibuktikan oleh kehadiran dan peranan aktif perempuan dalam gerakan
reformasi yang marak sejak beberapa tahun lalu itu. Nampak nyata bahwa
perempuan telah memainkan peranan yang
setidak-tidaknya setara dengan laki-laki dalam menghidupkan program-program dalam
memperjuangkan reformasi atau perubahan menyeluruh itu.
Setelah dua tahun
gerakan reformasi digulirkan, berbagai peranan yang
dipegang oleh kaum perempuan dalam menjaga perjuangan mewujudkan
masyarakat yang lebih terbuka, adil dan
merata. Berbagai unjuk rasa, debat, banyak
dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait.
Seperti penulis Fatima al- Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan
Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar
Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang
mendukung penuh para calon legislatif perempuan. Semangat dan
konsistensi mereka yang menyala-nyala dalam memperjuangkan cita-cita tesebut
telah memupus ungkapan klise yang menyudutkan perempuan sebagai makhluk rapuh
dan mudah goyah.
Tekad bulat dan tidak
kenal menyerah kaum perempuan dalam perjuangan ini telah melahirkan persatuan
yang alamiah atau sinergi dalam
menggalang kekuatan dan semangat untuk mewujudkan pranata masyarakat dan
pemerintahan yang lebih adil di Kuwait. Meskipun kedudukan perempuan dalam
politik merupakan salah satu aspek penunjang pembangunan, perlu diingat
peranan-peranan lain yang dibawakan perempuan di dalam masyarakat.
Pengalaman bangsa
Kuwait menunjukan bahwa diskusi tentang peranan perempuan di bidang
politik tidak hanya terbatas pada masalah keterwakilan mereka di dalam
institusi-institusi formal. Ada banyak perempuan yang setelah menamatkan studi
sarjana mereka malah memilih mengurus rumah tangga. Meski mereka tidak memegang
posisi formal yang relevan dengan bekal pendidikan dan gelar yang disandangnya,
sesungguhnya mereka juga memberi
kontribusi bagi pembangunan masyarakat dengan membesarkan anak-anak mereka
dalam tata cara dan kondisi yang lebih maju.
Disahkannya
amandemen pemberian hak politik bagi kaum perempuan pada tahun 2006, mengakhiri
perjuangan puluhan tahun para perempuan Kuwait untuk mendapatkan hak mereka. Undang-undang itu memberi akses bagi
perempuan Kuwait untuk mencalonkan diri di dewan kota. Namun, diskusi anggota
parlemen dan kabinet segera tertuju pada amandemen menyeluruh atas
undang-undang pemilu Kuwait. Dalam pembicaraan itu, parlemen dan kabinet
menyinggung hak perempuan dalam politik. Selama ini Kuwait hanya memberi hak
politik penuh bagi kaum lelaki saja untuk ambil bagian dalam parlemen.[67]
Dalam 24 jam,
parlemen berhasil mengesahkan amandemen yang mengganti kata “laki-laki” dari
pasal 1 Undang-Undang Pemilu. Dalam voting amandemen
itu, 35 setuju dan 23 menentang. Meski demikian,sejumlah
kalangan di parlemen menyebut hukum Islam tetap harus diberlakukan.[68]
Pada
pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada tahun 2006, 28 perempuan dari
249 calon legislatif ikut memperebutkan 50 kursi legislatif di Kuwait.[69]
Puluhan perempuan pemilih, yang mewakili 57 persen orang yang memenuhi syarat
sebagai pemilih, ikut berpartisipasi dengan penuh semangat berbaris di lokasi
yang dirancang sebagai tempat pemungutan suara mulai, seperti di daerah suku
Sabah As-Salem, sekitar 50 perempuan yang menutup pakaian mereka dengan abaya,
jubah luar, berbaris di bawah sengatan matahari. Zahra Ramadan Benbehani
perempuan berusia 54 tahun merupakan perempuan pertama yang memberi suara di
tempat pemilihan tersebut.
Meski
telah memperoleh hak politik penuh sejak tahun 2005, sebagian perempuan yang
mencalonkan diri dalam pemilihan umum tahun 2006 tersebut masih menghadapi
intimidasi selama kampanye, bahkan menerima ancaman mati yang memaksa dia
mundur dari pencalonan. Namun wujud dari kegigihan mereka memperjuangkan hak
politik perempuaan tidak dengan mudah di lunturkan. Tekanan tersebut dianggap
hal yang wajar sebagai wujud perbedaan pola fikir antara golongan islam
konservatif dan golongan yang membutuhkan perubahan.
Partisipasi
perempuan Kuwait untuk pertama kalinya dalam pemilihan umum legislatif di
Kuwait untuk memilih dan dipilih pada tahun 2006 yang terdiri dari 28 calon
perempuan belum berhasil menduduki kursi legislatif. Namun hal tersebut
dianggap hal yang wajar mengingat kebijakan dan tradisi Kuwait masih butuh
penyesuaian dan sosialisasi lebih baik lagi tentang keterlibatan perempuan
dalam panggung politik. Adapun
faktor-faktor yang mendorong sehingga terjadinya perubahan kebijakan di Negara
Kuwait terhadap perempuan dan yang secara signifikan juga telah mempengaruhi
tumbuh dan berkembangnya perjuangan politik kaum perempuan di Negara Kuwait
adalah sebagai berikut:
1)
Faktor Pertama adalah peningkatan pendidikan.
2)
Faktor Kedua adalah perubahan politik di dalam negeri karena munculnya kesadaran dan
tafsir hukum Islam yang tidak lagi didasari budaya patriarki.
3)
Faktor Ketiga, munculnya tokoh-tokoh perempuan di Kuwait yang telah berani melawan
kondisi sosial politik dan sosial budaya di Kuwait dan berusaha menegakkan HAM
dan demokrasi di negerinya.
4)
Faktor Keempat, munculnya kesadaran para Mullah
(pemuka agama) dan pemimpin Kuwait bahwa ajaran Al-Qur’an senantiasa mengikuti
perkembangan jaman dan kitab tersebutlah yang menjadi dasar Islami bagi
konstitusi Kuwait, sehingga pemerintah pun mau melakukan telaah kembali bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Kuwait yang
bias gender.
5)
Faktor Kelima, faktor sosial budaya masyarakat yang menghormati perempuan mulia dalam
sejarah Islam, misalnya, Putri Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra, dimana
kemuliaan Fatimah, perilakunya yang santun, lemah
lembut,
pintar, berani dan bijak, dijadikan doktrin nilai-nilai yang dianut masyarakat
Kuwait. Nilai-nilai ini berisi ajaran agar kaum laki-laki dan perempuan saling
menghargai, menghormati hak dan kewajiban masing-masing.
Kemudian beberapa kaum perempuan yang sangat menonjol dalam
berbagai pergerakan. Diantaranya adalah Dr.
Rasha Al-Sabah, Wakil Sekretaris
Pendidikan
Internasional (Wanita Perempuan untuk PBB) untuk tahun 1996-1997 oleh International Biographical Center (IBC) di Cambridge,
England.
Dr. Rasha Al-Sabah banyak berjasa dalam bidang pendidikan,
kebudayaan, dan ketertindasan perempuan. Setelah itu, ada Nabila Al-Mulla, yang ditunjuk sebagai Duta Perempuan pertama PBB. Dia adalah seorang mantan deputi perwakilan tetap Kuwait di PBB. Selanjutnya ada Fayza
Al-Khorafi
yang merupakan professor pertama wanita di Kuwait. Dia adalah ilmuwan berprestasi, dan wanita Arab
pertama yang ditunjuk sebagai Rektor dari
sebuah Universitas di Arab pada tahun 1993. Sara Akbar, seorang insinyur
Perminyakan, Memainkan peran dalam memadamkan kebakaran minyak setelah Perang
Teluk dan membersihkan salah satu bencana lingkungan terburuk dalam sejarah.
Dia menerima penghargaan "Global 500" dari Program Lingkungan PBB
sebagai pengakuan atas karyanya. Pejuang kaum perempuan yang terakhir adalah Badriya Al-Awadi merupakan ahli hukum
atas hak asasi manusia dan hak-hak perempuan di Kuwait. Dia memegang gelar
Ph.D. dalam hukum internasional, telah menerbitkan lebih dari sepuluh buku, dan
telah mengajar hukum di Universitas Kuwait selama tujuh tahun terakhir.
Keprihatinan Badriya
Al-Awadi yang menyebabkan ia bergerak untuk menghilangkan buta huruf dan meningkatkan kesadaran
akan hak perempuan hukum dan politik. Massouma al-Mubarak,
adalah menteri Kabinet perempuan pertama negara itu pada 2005, aktivis hak
asasi perempuan Rola Dashti, profesor pendidikan Salwa al-Jassar dan profesor
falsafah Aseel al-Awadhi
Mubarak
adalah seorang profesor berpendidikan dari universitas AS menghabiskan masa
setahun sebagai Menteri Perencanaan sebelum dilantik Menteri Transportasi pada
2006 dan Menteri Kesehatan setahun kemudian,
Jassar,
seorang profesor pendidikan di Universitas Kuwait, mendapat pendidikan di AS
juga adalah seorang aktivis hak asasi wanita terkenal dan memngelola Pusat
Konsultasi Perempuan.[70]
Pejuang-pejuang kaum
perempuan inilah yang banyak membantu pergerakan kaum perempuan Kuwait.
Keberadaaan mereka di tengah-tengah pergumulan politik yang tidak mengaggap
kaum perempuan telah membuka mata para pemimpin untuk melibatkan kaum perempuan
di berbagai bidang politik.
B. Kendala Perjuangan Politik Kaum
Perempuan Di Negara Kuwait
Kaum
perempuan meliputi separuh dari jumlah umat manusia. Dan oleh karena itu,
setiap pengambilan keputusan, baik dalam urusan pribadi, di dalam keluarga,
hingga ke tingkat masyarakat atau kehidupan publik seharusnya senantiasa
memperhatikan serta melibatkan peran serta kaum perempuan dalam proses
pengambilan keputusan tersebut. Hak-hak politik, sosial dan ekonomi perempuan
adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari seluruh kerangka hak asasi
mereka.
1. Fanatik
terhadap Ajaran Islam
Perjuangan
wanita Kuwait mendapatkan hak politiknya sungguh sangat tidak mudah. Kaukus
Islam dan kaum tradisionalis dari Suku dalam parlemen selalu menjadi penghalang
kaum perempuan Kuwait meraih hak-hak politiknya. Ketika digelarnya sidang selama
sepuluh jam untuk membahas masalah pengesahan
undang-undang bagi kaum perempuan, beberapa pemimpin suku-suku
mayoritas dan anggota parlemen yang beraliran keras menolak keputusan perubahan
status tersebut. Sehingga amandemen memberatkan perempuan untuk tidak ikut
serta dalam pemilihan umum di Kuwait, hanya karena terkait masalah “penafsiran”
agama. Dengan adanya ketentuan itu, maka dengan sendirinya ruang gerak bagi
perempuan di dunia politik akan semakin terbatas. Langkah ini di satu sisi
dianggap sebagai usaha mencapai kesuksesan. Tetapi di sisi lain bisa membatasi
ruang gerak perempuan untuk terlibat langsung dalam berbagai aktifitas kampanye
politik.
Dalam
konteks masyarakat Islam, yang sebenarnya hak-hak tersebut sudah diberikan
kepada perempuan Islam berabad-abad tahun yang lalu. Walaupun demikian
perempuan Islam, terutama di Negara Kuwait belum merasa puas, sebab ternyata di
negara Islam, Kuwait misalnya masih tidak mengizinkan kaum perempuan mereka
untuk memberikan hak pilih dalam urusan politik.
Hal ini
disebabkan karena kaum lelaki menggunakan dalil hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Tidak ada untung suatu kaum yang menyerahkan
urusannya kepada kaum perempuan”. (HR Imam Bukahri). Hadits ini yang
terbukti kuat mempengaruhi pandangan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan,
sehingga menimbulkan kuatnya marginalisasi terhadap para kaum feminis.[71]
Walau
demikian, banyak para ahli sejarah dan ahli politik yang masih mencari-cari
alasan asbabul khuruj dari hadits di
atas. Selain itu, Negara Kuwait yang dihuni mayoritas penduduk yang beragama
Islam, juga masih memegang teguh firman Allah SWT “Kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum perempuan”.
Hal-hal di
atas merupakan salah satu hambatan-hambatan yang terkadang sampai saat ini
masih menghalangi perjuangan dan partisipasi kaum perempuan secara bebas untuk
membela hak-hak mereka sebagai manusia yang juga memiliki kehidupan sendiri,
seperti halnya kaum laki-laki.[72]
2. Keterbatasan kemampuan dalam
hal pengetahuan politik
Hampir di
semua Negara, termasuk di Negara Islam, tradisi tetap berlaku untuk menekan dan
sering mendikte bahwa peran utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu.
Sistem nilai patriarki, kaku dan tradisional menampilkan peran-peran yang
tersegresi secara seksual, dan ini yang disebut sebagai ”nilai-nilai kultural tradisonal yang telah mendunia”.
Anggapan-anggapan
yang dijadikan kultur dan dikulturkan oleh
hampir sebagian besar masyarakat dunia, menjadi salah satu penghalang bagi para
kaum perempuan Negara Kuwait untuk memperjuangkan aspirasi politiknya,
menghalangi terjadinya kemajuan, perkembangan serta kreativitas
perempuan.Masyarakat di seluruh dunia didominasi oleh suatu ideologi tentang ”kedudukan
perempuan”. Menurut ideologi ini, perempuan tidak harus memainkan peran “ibu yang bekerja”, yang secara umum
diupah rendah dan apolitis.
Ini adalah
lingkungan yang paling banyak dihadapi oleh perempuan yakni suatu imajinatif kolektif yang pasti tentang perempuan dalam
peran-peran tradisional yang terus berlangsung. Imajinasi tentang seorang pemimpin
adalah seorang yang bersifat aseksual
dalam berbagai sikap dan pernyataannya, meskipun ia adalah seorang perempuan, kenyataan bahwa adanya aturan permainan laki-laki yang tertulis
menyebabkan politisi perempuan pada umumnya, dan perempuan anggota parlemen
khususnya, harus mengalami kesulitan yang tidak menyenangkan ini dalam arena
politik dunia.[73]
3.
Kurangnya Representasi Media Massa Terhadap Kaum
Perempuan
Seringkali
media massa cenderung meminimalkan pengungkapan berbagai persitiwa-peristiwa
penting yang dilakukan oleh perempuan sebagai partisipasi aktif dalam bidang
politik, yang dilakukan untuk kepentingan kaum perempuan. Hal ini pulalah yang
dialami oleh kaum perempuan di Negara Kuwait. Media massa di Negara Kuwait
untuk beberapa masa, termasuk publikasi-publikasi perempuan tidak
diinformasikan secara memadai. Media massa pun juga hampir tidak pernah
mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan langkah perempuan dalam masyarakat;
tidak juga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan langkah-langkah pemerintah
untuk memperbaiki posisi kaum perempuan. Ini bisa dilihat dari 80% propaganda
media massa berusaha menunjukkan lemahnya sistem Negara Kuwait dalam mengangkat
martabat perempuan. Padahal data-data
resmi menunjukkan kemajuan yang signifikan yang dicapai oleh kaum perempuan
Kuwait dalam sebuah sistem Islam di Kuwait.[74]
C. Prospek Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait
Selain
kendala-kendala yang dihadapi, ada juga beberapa hal yang mendorong terjadinya
perubahan kebijakan di Negara Kuwait terhadap kaum perempuan dan yang secara
signifikan telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya gerakan perempuan di
Negara Kuwait, yang menjadikan hal tersebut merupakan prospek pergerakan dan perjuangan politik kaum perempuan memiliki harapan yang sangat menjanjikan, diantaranya:
1.
Sikap fleksibilitas para pemimpin
Cara pandang
dan paham yang dianut Negara Kuwait setelah mengalami beberapa kali reformasi,
banyak berpengaruh terhadap perlakuan Negara Kuwait kepada kaum perempuan. Hal
ini ditandai dengan pemenuhan hak Pendidikan oleh Negara yang sudah
dilaksanakan secara efektif.
Adapun
landasan dan sumber Islami tentang wanita yang saat ini telah mampu menggeser
paradigma Negara Kuwait tentang kedudukan perempuan, sebagai berikut:[75]
a. QS. Ar-Ruum (30): 22
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang ……”
b. QS. An-Nahl (16): 97
“Barang siapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari yang mereka kerjakan”
Perempuan juga bisa lebih tinggi di
atas laki-laki. Pandangan ini berlaku untuk laki-laki sebagai anak kepada
perempuan sebagai ibu. Dalam salah satu Hadits Nabi, dikatakan:“Ridlallâhi fi ridla al-wâlidain wa
sukhthullâhi fi sukhthi al-wâlidain/Perkenan Allah tergantung pada perkenan
orang tua, dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.”
Sementara itu, yang dimaksud dengan
kedua orang tua sebagai pihak yang berhak memperoleh penghormatan dan kebaktian
dari sang anak, pertama kali adalah orang tua perempuan (ibu), baru kemudian
orang tua laki-laki (bapak). Dalam salah satu Hadits Nabi yang banyak sekali
dikutip oleh literatur keislaman (pada bagian akhlaq), diriwayatkan sebagai
berikut: “Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi, siapakah yang
paling berhak untuk diberi kebaktian? Nabi menjawab: Ibumu! Kemudian?, tanya sahabat. Ibumu. Kemudian?,
tanya sahabat lagi. Ibumu, jawab Nabi. Kemudian? Bapakmu…”.[76]
Literatur keislaman umumnya
menafsirkan Hadits ini dengan menyatakan, bahwa ibu (orang tua perempuan)
berhak atas kebaktian anaknya tiga kali lipat dari kebaktian yang patut
diberikan kepada bapak (orang tua laki-laki). Sejalan dengan ini, banyak pula
dikutip oleh literatur keislaman dan para kiai/muballigh dalam berbagai
kesempatan, sebuah Hadits lain yang menegaskan, bahwa “Sorga itu berada di
bawah telapak kaki sang ibu.” Suatu Hadits yang diberi tafsiran oleh literatur
keislaman sebagai betapa tingginya derajat ibu seharusnya dipandang oleh anak,
laki-laki maupun perempuan.[77]
Titik tolak dari wacana yang tersebut, maka posisi perempuan sangat strategis. Di sektor publik, perempuan
juga harus diberi peran yang cukup, baik di wilayah politik, hukum, ekonomi,
dan lain-lain. Sebagian masyarakat mungkin
masih berasumsi bahwa bangkitnya peranan perempuan muslim dalam dunia
publik baru terjadi di zaman kemerdekaan. Ini merupakan pandangan yang salah.
Perjuangan perempuan Islam telah berusia cukup lama dengan bukti adanya
Al-Qur'an yang mengisahkan beberapa perempuan, diantaranya dalam surat Al-Naml
ayat 23:
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang
memerintah kaumnya dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana
yang besar”.
Sedikit banyak, ayat-ayat di atas
telah banyak mempengaruhi pola pikir serta kebijakan-kebijakan UUD Negara
Kuwait dalam memperlakukan perempuan.
2.
Persepsi Masyarakat yang telah
Berkembang
Pendidikan
yang tinggi serta wawasan yang luas, membawa dampak positif bagi tata cara
pikir para kaum elit politik termasuk pemerintah dan masyarakat Negara Kuwait. Hal ini juga berpengaruh terhadap cara para pemerintah dan masyarakat
Kuwait memperlakukan perempuan dalam berbagai aspek.
Kemajuan
dalam bidang pendidikan ini merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi perjuangan politik perempuan dan kesadaran akan kesetaraan gender di Negara
Kuwait. Hal ini juga dapat dilihat dengan telah adanya kebijakan
pendidikan di Kuwait yang memang diperuntukkan bagi semua warga Kuwait, tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan lagi, sehingga tidak
mengherankan ketika terjadi keseimbangan yang signifikan antara murid laki-laki
dan perempuan di berbagai tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah
dan pendidikan tinggi.
Dalam
bidang pemerintahan, saat ini bisa disaksikan orang yang duduk dalam kursi
parlemen, bukan lagi didominasi oleh kaum laki-laki, tapi setelah
diikutsetakannya kaum perempuan dalam pemilihan dan diberi kesempatan untuk
juga dapat berpartisipasi aktif dan duduk di kursi parlemen, maka kaum
perempuan pun saat ini telah bebas bertanggung jawab untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan
kenegaraan di berbagai aspek.
3.
Pengaruh perkembangan Global
Saat
memiliki kesempatan untuk menduduki kursi parlemen, kaum perempuan Negara
Kuwait telah gencar untuk mencari dukungan dari berbagai pihak. Gerakan reformasi yang kini sedang gencar menggeliat di Negara-negara
Arab, tekanan dalam negeri dan internasional berpadu menjadi sebuah kekuatan
yang mengoyak tabir status quo di Kuwait. Di dalam negeri, kaum wanita telah
berjuang hampir 40 tahun demi mendapatkan hak politiknya. Perjuangan tersebut
menemui titik terang ketika Amerika Serikat menggulirkan konsep Timur Tengah
Raya (Greater Middle East) bagi
reformasi dunia Arab pada tahun 2002.
Seperti
ditulis mantan deputi Menteri Luar Negeri AS urusan Timur Tengah, William
Burns, pada harian berbahasa Arab Al Hayat, konsep Timur Tengah Raya tersebut
bertumpu pada empat butir utama, yaitu;
1.
Harus ada keterbukaan politik dengan
memberi tempat yang layak kepada kaum
wanita dan kelompok masyarakat sipil (civil
society).
2.
Gerakan demokratisasi di timur
tengah harus menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik Arab-Israel dan
membangun sistem demokrasi di Kuwait.
3.
Gerakan demokratisasi harus
dilakukan secara bertahap.
4.
Demokratisasi harus berasal dari
inisiatif kekuatan-kekuatan politik dalam negeri.[78]
Ketika Konferensi Tingkat Tinggi dilaksanakan di Tunisia pada bulan Mei 2004,
memberi respon positif terhadap konsep Timur Tengah Raya tersebut. KTT Arab itu
untuk pertama kalinya mengangkat isu reformasi sebagai bagian dari salah satu
agenda utamanya. Isu reformasi yang diusung KTT Arab itu berintikan dari empat
poin, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, pemberdayaan kaum wanita, dan peran
Civil Society. Isu pemberdayaan kaum
wanita Arab menjadi isu tersendiri dalam konsep Timur Tengah Raya. Hal ini
disebabkan karena memang peran wanita Arab sangat minim dibandingkan dengan
peran wanita dibelahan dunia manapun, dibandingkan dengan kaum wanita Afrika
sekalipun yang dikenal secara ekonomi tertinggal.
Dengan adanya rasa diperlakukan tidak adil ini, maka kaum perempuan pun
di seluruh dunia melakukan berbagai kegiatan dalam upaya untuk mencari
perhatian dunia dan mampu mendapatkan hak mereka kembali. Dan saat ini
perjuangan kaum perempuan termasuk kaum perempuan di Negara Kuwait, bisa
memetik hasilnya. Hampir semua kegiatan partisipasi politik yang dilakukan oleh
mereka mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai organisasi penting di
dunia.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
- SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan data-data dan fakta-fakta tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Dalam perjuangan memperoleh hak-hak
politik kaum perempuan di Negara Kuwait, gerakan feminis dari para aktifis yang
menfokuskan perhatian mereka terhadap diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum
perempuan dalam bidang politik sangat berperan besar.
2.
Pemerintah beserta para masyarakat
akhirnya dapat membuka ruang yang lebar untuk kaum perempuan berpartisipasi
dalam berbagai bidang di pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan berbagai
program sebagai wujud dari tindakan nyata
mereka demi terwujudnya kesetaraan gender baik kaum laki-laki dan perempuan di
Negara Kuwait.
3.
Dalam proses perjuangan politik perempuan di Negara Kuwait, terdapat berbagai hambatan serta
kendala-kendala seperti yang ketika berhadapan dengan ideologi Negara yang
sangat disandarkan pada Ajaran Agama Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits), juga
kepada pemerintah dan masyarakat yang masih sangat menganggap tabu atau sesuatu
yang aneh jika perempuan disederajatkan dengan kaum laki-laki, Media Massa yang
kurang menanggapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kaum feminis, serta
“anggapan” global terhadap kaum perempuan yang masih mengikuti “anggapan”
tradisi. Perjuangan politik kaum perempuan juga
mendapat dukungan dari berbagai pihak, tentunya setelah melalui proses
perjuangan yang panjang. Dengan demikian, Negara Kuwait kini menjadi Negara
dengan gerakan perempuan yang menunjukkan kemajuan dan mampu disejajarkan
dengan negara-negara Islam lainnya.
B. Saran-Saran
Adapun
saran-saran yang penulis dapat berikan dengan melihat kondisi yang dipaparkan
di atas adalah:
1.
Perlunya representasi yang lebih
banyak lagi dari kaum perempuan di pemerintahan, sehingga kendala-kendala yang
dapat dihadapi oleh kaum perempuan di Negara Kuwait untuk berpartisipasi dalam politik tidak lagi menemukan kesulitan dalam pelaksanaannya.
2.
Peran Media Massa perlu ditingkatkan
dalam memuat isu-isu perempuan dan tidak lagi dijadikan sebagai sesuatu yang
tidak relevan, mengada-ada dan tidak lagi mendukung stereotype dan mitos-mitos
perempuan.
3.
Perlunya mengubah pandangan beberapa
kaum perempuan yang masih terjebak dalam paradigma kuno dalam masyarakat,
meningkatkan kepercayaan diri kaum perempuan serta perlunya pendidikan hak-hak
serta kewajiban bagi para kaum perempuan hingga menciptakan
sinergitas antara perempuan dan laki-laki khususnya dalam pemerintahan di
negara Kuwait sehingga partispasi perempuan dalam perjuangan politik dapat
terwadahi dengan baik terutama dalam penerapan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Adams,
Charles J. 1976 "Islamic Religious Tradition" - The Study of Middle East - New York: John Wiley & Sons Press
Azwar. 2011. Teror dalam Tatanan Struktur Politik..
PT. Gramedia; Jakarta
Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan.
1995. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya. PT. Gramedia
Pustaka Utama; Jakarta
Budiarjo Miriam. 1981. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia;
Jakarta
CEDAW. 2004. “Konvensi Penghapusan segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – Mengembalikan Hak-Hak Perempuan”. New York;
Partners for Law in Develompent (PLD)
Chester
L, Horton Paul B dan Haunt. 1992. Sosiologi
(terjemahan) edisi ke-6, Erlangga; Jakarta
Mansour
Fakih. 1991. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hakeem,
Ali Hosein. 2005. Membela Perempuan
“Menakar Feminisme dengan Nalar Agama”. Jakarta; Penerbit Erlangga
Yubahar
Ilyas. 1998. Perempuan dan Kekuasaan
(Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Zaman Wacana
Mulia, Bandung
Ja’far,
Dr. Muhammad Anis Qasim. 1988. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak
Politik dan Persoalan Gender dalam Islam). Bandung; Zaman Wacana Mulia
Khan, Said.
2011 Wanita, Gender dan Feminisme –
Perjuangan Partisipasi Politik Kaum Perempuan. Rajawali Press; Jakarta
Mernissi,
Fatimah. 1999. Pemberontakan Wanita –
Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Mizan; Bandung.
Mosse,
Julia Cleves. 1999. Gender dan
Pembangunan Yogyakarta; Rifka Annisa Womens’ Crisis Centre dan Pustaka
Pelajar
Noor,
Ida Ruwaida. 2000. Agenda Demokratisasi
oleh dan Untuk Perempuan, The
Institute for Democracy and Human Right, Jakarta; The Habibe Centre
Patrik,
Kirk. 1994. Partisipasi Politik Kaum
Wanita, PT. Danur Wijaya Press; Surabaya,
Robert A. Dahl.
1971. Participation and Opposition,
New Haven; Yale University Press
Rukayyah
. 2009. Perjuangan Emansipasi Perempuan
dalam Politik, Aceh Jeumpa; Kelompok Anggrek, Mon Jambee, -Bireuen
Saldi, Saparinah. 1995. Pengantar tentang Kajian Wanita,
Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.
Siskel, Suprijadi. 2004. Gender. PT. Danur Wiajay Press; Surayabaya
Sorensen,
George. 1993 “Women in Democracy and
Democratization: Process and Prospect in A Changing World”. Boulder;
Westview Press.
Thohir,
Ajid. 2009. Studi Kawasan Dunia Islam –
Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik. Jakarta; Rajawali Pers
Tong,
Rosemarie. 2011. Feminist Thoguht: A
Comprehensive Introduction, Unwin Hyman; London
JURNAL :
Masdar
Helmi, “Problem Metodologis dalam
Kajian Islam”, dalam Paramedia,
Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan, (Surabaya, Pusat
Penelitian IAIN Sunan Ampel, 2000
Muhammad
Ali Taskhiri, Human Rights, A Study of the Universal and The Islamic
Declarations of Human Rights, Departemen of Translation and Publication,
Islamic Culture and Relations Organizations, 1997
Paris, A. Yuliani. Pemenuhan Gender vs
Pembentukan Biro Wanita. Harian Fajar tajuk Opini. 1988
Russet dan Starr, A. Eby Hara “Decision Making Theory”, Suatu Upaya
Teorisasi, Jurnal Politik. 1991
No comments:
Post a Comment