Monday, April 11, 2016

bahan skripsi (Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait : Kendala dan Prospeknya”.) ilmu politik

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Suatu fenomena penting yang mewarnai kompleksnya partisipasi wanita dalam berbagai dimensi kehidupan salah satunya perjuangan di bidang politik. Masa perjuangan perempuan tidak lepas dari program ekspansi demokrasi Amerika Serikat ke penjuru dunia yang memposisikan wanita bukan lagi sebagai kelompok yang harus dibatasi partisipasinya dalam panggung perpolitikan dunia namun dianggap sebagai pihak yang berpengaruh dan memberi konstribusi penting dalam menentukan kemajuan suatu negara.
Kemodernan dan arus globalisasi sangat gencar mengepakkan sayapnya ke seluruh negara belahan dunia. Hal ini mengantarkan perubahan pola pikir dalam diri perempuan dunia, tak terkecuali di Timur Tengah sebagai kawasan Negara Islam dimana agama mendominasi hampir segala aspek kehidupan negara tersebut, khususnya posisi dan hak-hak perempuan. Tetapi kini, hak politik bagi semua golongan di negara-negara tersebut sudah banyak mengalami perkembangan. Ada beberapa negara yang kini membuka ruang bagi perempuan untuk menjalankan hak politiknya. Antara lain seperti Qatar, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab dan yang belum lama ini adalah Kuwait. Keberhasilan kaum perempuan ini  atas kemauan dan dari pola pikir perempuan-perempuan yang modern sehingga tuntutan hak politik mereka dapat terwujud.
Perjuangan politik kaum perempuan atau gerakan perempuan yang lebih dikenal dengan istilah feminisme di berbagai negara melalui proses yang  berbeda-beda dan mendapatkan respon yang berbeda-beda pula.                         Hal ini disebabkan karena berbagai faktor, salah satunya ideologi yang dianut oleh bangsa tersebut. Hal ini pula yang mempengaruhi partisipasi dan perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait, yang merupakan salah satu Negara Islam terbesar di dunia.
Isu tentang peranan perempuan menjadi isu yang selalu hangat dibicarakan oleh Negara-negara di dunia. Kehadiran perempuan di ruang politik semakin mendapatkan tempat pada sebagian masyarakat, tetapi juga mendapatkan penolakan dari masyarakat lainnya. Berbagai organisasi di berbagai negara telah banyak terbentuk untuk membicarakan tentang peranan perempuan dan kedudukannya. Di tingkat global, seruan terhadap pihak yang melakukan pendiskriminasian terhadap kaum perempuan dan pihak-pihak yang mengabaikan hak-hak perempuan telah banyak mendapatkan sorotan. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi pemikiran Negara-Negara tersebut dan berinisiatif untuk bersama-sama memastikan terjadinya integrasi atas hak-hak perempuan ke dalam berbagai instrument internasional tentang hak-hak asasi perempuan. Hal ini tercermin dalam usaha-usaha perempuan untuk mengembangkan pandangan mereka terhadap hukum-hukum mengenai hak asasi manusia dengan menggunakan perspektif gender dan feminisme.
Konfrensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak ditandatanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya.[1] Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan nanti dapat menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi mereka. Namun pada kenyataanya, masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas.
Gerakan feminisme dimulai pada abad kesembilan belas dengan permintaan oleh beberapa reformis perempuan agar diberikan hak untuk memilih, yang dikenal sebagai “Hak Pilih, dan untuk hak-hak hukum yang sama dengan pria. Meskipun pemungutan suara itu aman bagi perempuan oleh Amandemen Kesembilan belas ke konstitusi pada tahun 1920, sebagian besar wanita telah membuat keuntungan dalam mencapai kesetaraan hukum dan mengakhiri diskriminasi gender telah datang sejak 1960-an.[2]
Selanjutnya perjuangan politik kaum perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender mulai gencar dilakukan setelah ditetapkannya Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia PBB pada tahun 1948. Namun, perjuangan yang menjadi isu global tersebut menjadi fenomena yang menarik perhatian terutama setelah berakhirnya perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat. Perubahan tersebut sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity), atau dari pendekatan produksi (production centered development) ke pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka.[3]
Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya dibandingkan dengan kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, maka dikembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki. Pada Juli 1963 timbul gerakan global yang dipelopori kaum perempuan yang berhasil mendeklarasikan suatu revolusi melalui Badan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOK).[4] Kemudian pada tahun 1975 di Mexico City diselenggarakan World Conference International Year of Woman PBB, yang menghasilkan deklarasi kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal Pendidikan dan pekerjaan:
a.      Prioritas pembangunan bagi kaum perempuan.
b.      Perluasan partisipasi perempuan dalam pembangunan.
c.      Penyediaan data dan informasi perempuan.
d.     Pelaksanaan analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin.
Untuk itu, dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan (Woman Empowerment Programs). Guna mewadahi aktivitas tersebut diperkenalkan tema “Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development, WID)”, yang bertujuan mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan.[5]
Pada tahun 1980 di Kopenhagen diselenggarakan World Conference UN Mid Decadde of Woman, yang mengesahkan UN Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Agains Woman (CEDAW), konvensi tentang peniadaan seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pertemuan itu dihadiri oleh sebagian besar Negara di dunia, termasuk Kuwait yang pada saat itu mulai memperhatikan masalah gender.
Tahun 1985 di Nairobi diselenggarakan World Confrence on Result                on Ten Years Woman Movement, yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward Strategies for the Advancement of Woman yang bertujuan untuk mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Sejak itu, muncul konsep-konsep dan penelitian-penelitian yang menekankan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan dan perdamaian.[6]
Pada tahun 1985 pula PBB membentuk suatu badan yang dinamakan             the Unites Nation Fund for Woman (UNIFEM) untuk melakukan studi advokasi, kolaborasi dan mendanai kegiatan kesetaraan gender secara internasional. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan kerjasama dengan kaum laki-laki yang berlangsung selama sepuluh tahun (1970 - 1980) tidak banyak memberikan hasil yang signifkan. Pendekatan pertentangan (dikotomis) dirasa kurang membawa hasil yang memadai, bahkan timbul sinisme (male backlash) dari kaum laki-laki terhadap perjuangan tersebut. Berdasarkan berbagai hasil studi, maka tema WID (Woman in Development) atau Perempuan dalam Pembangunan diubah menjadi WAD (Woman and Development) atau Perempuan dan Pembangunan. Perubahan ini mengandung makna bahwa kualitas kesertaan lebih penting daripada sekedar kuantitas.[7]
Pada tahun 1990 di Vienna diselenggarakan “the 34th Commisson on the Status of Woman”. Dilakukan analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan laki-laki, yang tampaknya juga kurang membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Studi Anderson (1992) dan Moser (1993) memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan              laki-laki, maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik.[8] Oleh karena itu, dipergunakanlah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan Gender and Development (GAD), suatu paradigma baru yang menekankan pada prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki atau sebaliknya.
Pandangan itu terus diperdebatkan dalam the International Confrence in Woman (ICPD) di Kairo 1994 dan dalam The 4th the World Conference on Woman di Beijing tahun 1995. Dari konfrensi tersebut disepakati berbagai komitmen operasional tentang perbaikan terhadap status dan peranan perempuan dalam pembangunan mulai dari tahap menikmati hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian terjadi perubahan konsep yang mendasar, yaitu dari pembahasan masalah yang bersifat fisik biologis (biological sphere) ke masalah yang bersifat sosial budaya (socio-cultural sphere).[9]
Dari pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa lahirnya gender dan feminisme banyak diinspirasi oleh Negara-Negara Barat. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa gagasan-gagasan Negara Barat dianggap tidak relevan bagi negara-negara Islam. Hal ini didasarkan pada pemahaman karena suatu gagasan tidak dapat dibatasi dalam batas-batas bangsa maupun geografis.[10]
Bagaimanapun juga, ketika istilah feminisme dan gender bersifat asing, konsep sesungguhnya mengungkapkan suatu transformasi. Jadi hal ini dapat menjelaskan bahwa feminisme tidak dimasukkan secara paksa. Gender dan perjuangannya muncul di banyak negara disebabkan karena suatu kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang semakin menyentuh hak-hak separuh dari penduduknya, dalam hal ini kaum perempuan. Hak untuk berpolitik juga mendasari terjadinya gerakan berbasis gender yang membawa isu kepentingan perempuan di dalamnya. Hak politik setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) telah diatur dalam Universal Declaration of Human Right, yaitu pada pasal 19, 20 dan 21 dengan rincian sebagai berikut:[11]
Pasal 19
Setiap individu berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Pasal 20
1.      Setiap individu mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.
2.      Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki sesuatu perkumpulan.
Pasal 21
1.      Setiap individu berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2.      Setiap individu berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3.      Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah. Kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak-hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan dan dengan yang bersifat suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Negara Kuwait merupakan negara yang mayoritas penduduknya menganut Agama Islam. Namun, bersamaan dengan proses modernisasi yang dilancarkan oleh kolonialisme barat, muncul aliran modernisasi di dalam pemikiran sebagian umat Islam yang berpengaruh terhadap masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya Kuwait. Pengaruh modernisasi yang terpenting ialah masuknya unsur liberalisme dan feminisme yang menyentuh emansipasi wanita termasuk di dalamnya masalah politik perempuan.
Kuwait telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan, banyak diwarnai oleh jiwa ke Islaman. Keikutsertaan Kuwait dalam kegiatan-kegiatan pembangunan kaum perempuan pada tahap global terlihat sangat aktif melalui konfrensi-konfrensi antar bangsa, yakni dalam 4 (empat) konfrensi besar yang telah dilaksanakan di berbagai negara. Salah satunya adalah pada Konfrensi Perempuan Sedunia IV  di Beijing tahun 1995. Deklarasi Beijing dan program aksinya sudah mencantumkan isu gender dan informasi, komunikasi dan teknologi bagi perempuan, melalui peningkatan keterampilan, pengetahuan, akses dan penggunaan teknologi informasi.[12]
Kuwait adalah satu di antara banyak negara yang terlibat dalam wacana isu pembangunan perempuan. Kuwait telah meratifikasi CEDAW pada tahun 1999, dimana CEDAW ini bertujuan untuk mengintegrasi perempuan sepenuhnya dalam proses pembangunan negara. Tahun 2005, Pemerintahan konservatif Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Dewan Menteri sepakat meloloskan undang-undang yang memberi hak politik penuh kepada perempuan, seperti hak untuk ikut memilih dalam pemilihan umum, serta hak untuk bersaing menjadi salah satu dari 50 anggota parlemen.[13]
Sebelum Undang-Undang pemilihan umum diubah, perempuan Kuwait tidak bisa memilih atau dipilih walaupun mereka bisa menjadi diplomat, pengusaha dan bekerja di berbagai bidang industri. Hal ini memicu perempuan Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang, sehingga mereka memutuskan akan berusaha menuntut hak mereka sampai parlemen memutuskan untuk memberi hak politik bagi perempuan. Berbagai unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait. Seperti penulis Fatima al- Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang mendukung penuh para calon legislatif perempuan.[14]
Tuntutan kaum perempuan Kuwait selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, karena bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang telah lama berlaku di negara Kuwait. Maka tidak mengherankan bila parlemen Kuwait telah dua kali menolak usulan pembahasan kebijakan beberapa tahun sebelum undang-undang hak politik bagi perempuan disahkan.[15]
Sejak tahun 1962, Kuwait telah melaksanakan 11 kali pemilihan parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005 lah akhirnya kaum perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya. Pemerintahan konservatif  Emirat Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut Dewan Menteri, perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait tahun 1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat” dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Pada tanggal 18 Mei 2005, Kuwait merubah Amandemen Undang- Undang Pemilu pasal I No.35 tahun 1962, yang sebelumnya Amandemen Undang-Undang tersebut hanya memberikan hak politik bagi kaum lelaki saja tetapi kini Undang-Undang tersebut telah dirubah dengan memberikan hak penuh bagi kaum perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu ataupun mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU ini berdasarkan keputusan parlemen Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak 35 suara mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang memperoleh penentangan keras dari anggota parlemen dari kubu Islamis dan konservatif.[16]
Ketika tahun 1999, Emir Kuwait saat itu adalah Sheikh Jaber al-Ahmad al-Sabah sebenarnya juga telah mengajukan dekrit yang mendukung perempuan mendapat hak pilih, yang diajukan kerajaan tetapi ditolak oleh Majelis Nasional. Para anggota parlemen dari kalangan Islamis dan kesukuan menolak langkah Emir karena menurut mereka melanggar tradisi agama Islam dan masyarakat Kuwait. Begitulah kaum konservatif Islam selalu beralasan, bertentangan dengan tradisi budaya dan penafsiran agama yang telah lama berkembang di Kuwait. Selama enam tahun setelah dekrit itu gagal para kaum perempuan terus berjuang sampai parlemen meloloskan rancangan undang-undang yang menjamin hak politik bagi semua golongan.
 Selama bertahun-tahun pula perempuan Kuwait berjuang untuk memperoleh hak politik penuh, namun upaya mereka selalu digagalkan oleh kubu muslim garis keras dan kelompok-kelompok suku didalam parlemen yang semuanya pria. Hal ini disebabkan karena dari kubu Islam yang berjumlah 18 (lebih dari sepertiga anggota parlemen yang berjumlah 50) ditambah dari kubu suku selalu menang dalam berbagai voting suara di parlemen. Maka setelah sidang maraton selama 10 jam, parlemen yang seluruh anggotanya laki-laki mengesahkan Amandemen Undang-Undang tersebut dengan mayoritas besar. Setelah Amandemen Undang-Undang itu disahkan, warga Kuwait menyambut gembira, mereka turun kejalan untuk merayakan kemenangan mereka.
Pada tanggal 29 Juni 2006, Kuwait menyelenggarakan pemilu, untuk pertama kalinya kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam pemilu tersebut. Bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai kandidat anggota parlemen. Dalam pemilu tersebut terdapat 253 kandidat, 28 di antaranya perempuan yang akan memperebutkan 50 kursi parlemen. Setelah satu tahun memenangi hak berpolitik, ke-28 perempuan itu akhirnya benar-benar terjun ke panggung politik.
Para perempuan itu akan menghadapi banyak halangan mengingat tradisi Kuwait yang tidak mendukung ide kesetaraan peran perempuan dan laki-laki. Selain ke-28 perempuan yang mayoritas kandidat Independen, 50 kursi parlemen juga diperebutkan 60-70 kandidat dari oposisi, seperti kelompok islam, liberal, dan nasionalis. Di antara mereka terdapat 28 dari 29 anggota parlemen yang pernah mundur dari parlemen akibat konflik berkepanjangan di pemerintahan tentang masalah reformasi pemilu yang kemudian berakhir dengan pembubaran parlemen yang dilakukan oleh Emir Syeikh Sabah al-Ahmad al-Sabah karena muncul perselisihan antara pemerintah dan oposisi menyangkut reformasi pemilu.
Selama masa kampanye, berbagai organisasi dan kandidat Independen menyuarakan isu anti korupsi. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu kala itu lebih ramai dengan kandidat perempuan dan orang-orang muda yang belum berpengalaman dalam pemilu. Berbagai organisasi remaja dibentuk untuk membantu kampanye kandidat muda.[17]
Setelah hasil penghitungan suara diumumkan calon-calon perempuan legislatif Kuwait gagal meraih kursi di parlemen dalam pemilu bersejarah di negara itu. Hasil penghitungan suara tersebut menunjukan calon legislatif islamis dan eks anggota legislatif pro-reformasi menyapu bersih perolehan suara dan tak satu pun kursi untuk ke-28 calon legislatif perempuan. Padahal, populasi pemilih perempuan mencapai 57 persen dari total 340.000 orang pemilih sah.
Kaum perempuan sebelumnya sudah menduga, kandidat islamis koservatif dan daerah bakal menjadi penghalang bagi kandidat-kandidat perempuan. Hasil penghitungan suara menunjukan, oposisi meraih hampir dua pertiga kursi. Kubu oposisi makin kuat dipersatukan dengan satu sikap menentang pemerintahan korup. Kemunculan kuat kubu oposisi memunculkan kemungkinan makin dalamnya ketegangan antara parlemen baru dan pemerintah. Sedangkan 20 dari 29 kandidat eks anggota legislatif terpiliih kembali untuk Majelis Nasional pada saat itu. Mereka inilah yang membentuk poros aliansi oposisi. Perjuangan Perempuan Kuwait yang tak kenal lelah itu merupakan suatu bukti bahwa mereka mampu membuktikan keadilan dinegaranya dan menjadi tauladan bagi kaum perempuan dunia yang sampai saat ini masih belum mendapatkan hak politik.
Melihat persoalan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah yang akan difokuskan dengan judul “Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait : Kendala dan Prospeknya.


B.     Batasan Dan Rumusan Masalah
1.      Batasan Masalah
         Peranan kaum perempuan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan suatu negara, khususnya Di Kuwait, perananannya pun berbeda-beda. Sebagian besar negara Islam, perempuan terus mengalami kesulitan dalam memperoleh hak pilih akibat adanya kendala-kendala kultural, agama, patriarki dan ekonomi. Selain itu dalam hal mengenyam pendidikan pun perempuan sering terpinggirkan. Khususnya di Kuwait, kaum perempuan selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, karena bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang telah lama berlaku di negara Kuwait.
         Untuk menghindari melebarnya penelitian, maka penulis membatasi penelitian ini yaitu berawal dari tahun 1962, pertama kali negara Kuwait membentuk parlemen dan merupakan negara tertua yang memiliki parlemen di kawasan Teluk Persia,  sampai dengan tahun 2006 dimana perempuan Kuwait mendapat hak politik dan mulai terlibat dalam politik sebagai hasil  perjuangan kaum perempuan di Kuwait dalam memperjuangkan hak-hak politiknya­­­. Penulis juga akan menganalisa bagaimana kendala dan prospek perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait. Namun, tidak menutup kemungkinan digunakannya data-data tahun sebelumnya agar penelitian ini mendekati kesempurnaan.
2.      Rumusan Masalah
1)   Bagaimana perjuangan kaum perempuan di Kuwait dalam    memperjuangkan hak-hak politiknya­­­?
2)   Bagaimana kendala dan prospek perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait?

C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait.
2.      Untuk mengetahui kendala dan prospek perjuangan politik kaum perempuan di Kuwait.

D.    Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1.      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi para mahasiswa ilmu hubungan internasional serta pemerhati masalah-masalah kaum perempuan di Kuwait.
2.      Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dan para pengambil kebijakan.
E.     Kerangka Konseptual
Sebelum abad ke-19, kehidupan kaum perempuan terpuruk dan dianggap sebagai kaum terpinggirkan oleh sekelompok masyarakat dan pemerintah dalam berbagai kebijakan. Perempuan merupakan kaum yang tidak dapat meraih hak-hak politiknya karena tidak adanya ruang yang terbuka untuk kaum perempuan dalam berpolitik. Kaum perempuan diberi kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka tetap saja diikat dengan norma-norma patriarkhi yang relatif menghambat dan memberikan kondisi yang dilematis terhadap posisi mereka.
Partisipasi politik secara umum bisa dikatakan merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakannya. Di sisi lain, partisipasi politik pun diarahkan untuk memperkuat sistem politik yang ada. Dalam tataran ini partisipasi politik dipandang sebagai bentuk legitimasi dari sistem politik yang bersangkutan. Atau dengan kata lain partisipasi politik menjadi salah satu indikator signifikan atas dukungan rakyat baik terhadap pemimpinnya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya maupun bagi sistem politik yang diterapkannya.[18]
Partisipasi pada dasarnya merupakan kegiatan warga negara dalam rangka ikut serta menentukan berbagai macam kepentingan hidupnya dalam ruang lingkup dan konteks masyarakat itu sendiri. Karena itu partisipasi itu sendiri bisa beragam bentuk kegiatannya. Bagaimanapun, ekspresi orang dalam mengemukakan atau dalam merespon berbagai macam permasalahan dan kepentingan politiknya, satu sama lain akan berbeda-beda. Uraian diatas memperlihatkan bahwa partisipasi politik sebagai suatu bentuk kegiatan atau aktivitas dapat dilihat dari beberapa sisi. Ia bisa dilihat sebagai bentuk kegiatan yang secara sadar maupun tidak sadar atau dimobilisasi, ia bisa dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri, kemudian dapat pula dilakukan langsung ataupun tidak langsung, melembaga ataupun tidak melembaga sifatnya.[19]
Terdapat pula beberapa defenisi lainnya tentang partisipasi politik, diantaranya adalah: menurut Samuel P. Hanington dan Joan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik Negara Berkembang, partisipasi politik adalah kegiatan warga (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah.[20] Menurut Michael Rush dan Philip Althoff dalam bukunya Pengantar Sosiologi dan Politik, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut Ramlan Surbekti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.[21]
Menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender, and Society, gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin (sex) yang merupakan kodrat Tuhan, dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Adapun gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu, gender berubah dari masa ke masa.
Feminisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari lingkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya.[22]








F.     Metode Penelitian
1.      Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Metode Eksploratif. Metode Eksploratif bertujuan untuk menggali secara luas sebab-sebab atau hal yang mempengaruhi terjadinya perjuangan pergerakan kaum perempuan di Kuwait, sehingga didapat alur dari sejarah partisipasi kaum perempuan di Negara tersebut.
2.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah telaah pustaka (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet yang berkaitan dengan masalah yang akan penulis teliti.
3.    Sumber dan Jenis Data
Sumber data utama yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang dipakai untuk menjaga keutuhan terhadap obyek penelitian. Data sekunder adalah data yang dapat diperoleh dari beberapa sumber baik berupa buku, jurnal, laporan tertulis, surat kabar, majalah dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek yang diteliti, terutama Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait.


4.    Tehnik Analisa Data
 Teknik analisa data yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisa data kualitatif, Dimana, data yang dikumpulkan melalui penelitian lapang (field re­search) dilakukan dengan metode kualitatif, karena sifat data penelitian ini merupakan informasi kualitatif. Dengan demikian data dianalisis secara kualitatif  pula.
Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data  deskriptif berupa kata-kata tertulis. Salah satu masalah yang dianggap penting dalam menganalisa sebuah fenomena dalam hubungan internasional adalah tingkat analisis (level of analysis). Hal ini membantu untuk melihat seperti apa input dan output dari sebuah perjuangan politik suatu negara.
5.             Metode Penulisan
Metode penulisan yang di gunakan oleh penulis adalah metode deduktif, dimana penulis terlebih dahulu akan menggambarkan permasalahan secara umum, lalu kemudian menarik kesimpulan secara khusus.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Konsep Perjuangan Politik
1.      Perjuangan Politik
Perjuangan berasal dari kata juang yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai usaha mempertahankan dan memperbaiki.[23] Selama ini perjuangan diasumsikan sebagai sesuatu hal yang komunal atau sebagai reaksi kolektif terhadap sebuah ketidakadilan.
Perjuangan politik identik dengan pergerakan politik yang merupakan gerakan dari kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malah ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan menggunakan jalur-jalur atau cara-cara politik. Jika dibandingkan dengan partai politik, maka gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamental sifatnya, dan terkadang lebih bersifat ideologis. Orientasi ini merupakan ikatan yang kuat di antara anggota-anggotanya dan dapat menumbuhkan suatu identitas kelompok (group identity) yang kuat. Organisasinya kurang ketat dibandingkan partai politik, berbeda dengan partai politik, gerakan sering tidak mengadukan nasib dalam pemilihan umum.[24]

Pemahaman tentang perjuangan kelompok sosial dan kelompok politik dalam suatu masyarakat, meskipun sebagai subjek dan objek yang sama, kedua kelompok tersebut akan bersinggungan dalam suatu titik bernama kelompok sosial politik seperti keterlibatan dalam politik formal, pembuatan kebijakan publik, proaktif terhadap pelaksanaan sistem politik yang ada, dan sebagainya.
Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari perilaku  kolektif. Gerakan sosial adalah suatu usaha kolektif yang bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan. Gerakan sosial juga didefenisikan sebagai suatu kolektifitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu sendiri.[25] Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok yang tidak puas terhadap keadaan.
Menurut teori sosiologis salah satunya yaitu teori Mobilitas Sumber Daya yang menggarisbawahi pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial.[26] Sebab gerakan sosial yang berhasil sangat memerlukan organisasi dan taktik yang efektif.            Para pendukung teori ini berpandangan bahwa tanpa adanya keluhan dan ketidakpuasan tidak akan banyak terjadi gerakan. Namun demikian, diperlukan adanya mobilisasi untuk mengarahkan ketidakpuasan itu agar dapat menjadi gerakan massa yang aktif.[27]
Sumber daya yang harus dimobilisasi sebagai ekpresi dari partisipasi politik adalah: pandangan dan tradisi penunjang, peraturan hukum yang dapat mendukung, organisasi dan pejabat yang dapat membantu, manfaat yang memungkinkan untuk dipromosikan, kelompok sasaran yang dapat terpikat oleh manfaat tersebut, dan sumber daya penunjang lainnya. Semua itu memberikan pengaruh besar terhadap kecilnya pengorbanan pribadi dalam gerakan sosial, tantangan yang akan dihadapi, kesulitan lain yang harus diatasi, dan taktik pelaksanaan yang akan diterapkan.
Adapun bentuk-bentuk gerakan sosial, yaitu: (1) Gerakan perpindahan (migratory movement), yakni arus perpindahannya penduduk ke suatu tempat baru; (2) gerakan ekspresif (expressive movement), yakni tindakan penduduk untuk mengubah sikap mereka sendiri, dan bukannya mengubah masyarakat; (3) gerakan utopia (utopia movement), yakni upaya untuk menciptakan masyarakat sejahtera (sempurna) yang berskala kecil; (4) gerakan reformasi (reform movement), yakni gerakan yang berupaya memperbaiki beberapa kepincangan dalam masyarakat; (5) gerakan refolusioner (refolusionary movement) yang berusaha untuk mengganti sistem yang ada dengan sistem yang baru; dan (6) gerakan perlawanan (resistance movement) yang berusaha melawan perubahan sosial tertentu.[28]
2.     Perempuan dalam Perjuangan Politik
Berbicara soal politik tak pernah habisnya. Politik terus mengalir dan digerakkan. Bukan saja lelaki yang bisa bergerak di bidang politik, tetapi perempuan juga ada haknya. Perjuangan emansipasi perempuan, telah menuntun perempuan untuk mewujudkan terciptanya persamaan hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Emansipasi yang menjadi wujud gerakan perjuangan persamaan hak-hak perempuan dari ketidakadilan dan ketertindasan.
Dalam sejarah pergerakan perjuangan emansipasi perempuan, sesungguhnya tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Eropa saja. Tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat Islam seperti yang terjadi di beberapa Negara-negara Islam. Perjuangan itu muncul, karena perempuan masih diperlakukan secara tidak adil. Sebagai gambaran, sampai tahun 30-an meskipun sekularisme sudah muncul, tapi perempuan di negara-negara Islam tersebut masih belum mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya. Kondisi demikian yang memaksa perempuan barat terus memperjuangkan hak-haknya.
a.      Hak-Hak Politik Kaum Perempuan
Menurut Ja’far yang dimaksud hak-hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan dan diakui undang-undang atau konstitusi  berdasarkan keanggotaan sebagai warga Negara. Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat kewarganegaraan.[29]
Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep dan kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik pada tingkatan tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan hak mutlak, sebagaimana yang diterima, membolehkan seseorang menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apapun.
Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu dalam pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan, atau pencalonan diri mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembaga-lembaga perwakilan tersebut.
Hak-hak politik sesuai yang dikemukakan oleh Dahla, bahwa dalam sebuah Negara yang demokratis, harus menjamin kebebasan dan hak-hak untuk:[30]
1)      Kebebasan untuk membentuk dan ikut aktif dalam suatu organisasi
2)      Kebebasan beraktivitas
3)      Kebebasan memilih dan berpendapat
4)      Serta kebebasan untuk berpatisipasi aktif dalam kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan oleh negara.
b.      Legislasi Internasional mengenai Hak-Hak Politik Kaum Perempuan

Dewasa kini, pembicaraan tentang perempuan dan HAM (Hak Asasi Manusia) baik yang berkaitan dengan konsepnya maupun implementasinya dalam artian tuntutan perempuan terhadap hak asasi manusia semakin menonjol.
Pada intinya, kaum perempuan di seluruh dunia merasa bahwa mereka belum sepenuhnya dapat menikmati hak-hak mereka karena belum terjamin dalam peraturan perundang-undangan di Negara mereka masing-masing ataupun karena sejak de facto hak-hak mereka belum dilaksanakan. Selain itu, yang tampak paling menonjol adalah upaya kaum perempuan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM  itu sendiri.[31]
Jika dilihat dalam sejarah, tampak bahwa upaya untuk memperbaiki konsep hak asasi perempuan telah berlangsung cukup lama. Pernyataan pertama yang memuat prinsip bahwa jenis kelamin tidak semestinya menjadi dasar dari segala bentuk diskriminasi termuat dalam preambule Piagam PBB tahun 1945 (The United Nations Carter) yang antara lain menyatakan: “Kita masyarakat Perserikatan Bangsa-Bangsa telah bersumpah kepada diri kita untuk menegaskan lagi kepercayaan pada hak-hak politik, harkat dan martabat manusia. Dan bahwa laki-laki, perempuan dan seluruh anggota masyarakat baik besar maupun kecil mempunyai hak yang sama”
Prinsip tersebut diulangi lagi dalam pasal-pasal , yakni; 1, 13 (1), 55 (c), 58, 62 (2), dan pasal 76 (c) Piagam PBB tersebut. Selanjutnya prinsip non-diskriminasi ini ditegaskan kembali dalam Deklarasi Sedunia tentang HAM 1948 (The Universal Declaration of Human Rights) mencantumkan pada pasal 21 bahwa tiap orang, tanpa memandang jenis kelaminnya, mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di Negara masing-masing dan untuk mendapatkan akses yang sama atas pelayanan publik.
Deklarasi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tanggal 16 Desember 1966 yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada butir 3 ditetapkan bahwa Negara-negara anggota berjanji untuk menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan dengan menggunakan semua hak sipil dan politik yang temuat dalam deklarasi yang berlaku hingga sekarang.
Konvensi yang lain adalah Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 1979 (Convention for the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women atau CEDAW). Konvensi ini merupakan sebuah pernyataan hak asasi internasional untuk kaum perempuan. Konvensi ini bergerak dari norma jenis kelamin netral yang mengharuskan perlakuan sama laki-laki dan perempuan, biasanya diukur oleh bagaimana laki-laki diperlakukan, sampai mengakui kenyataan bahwa sifat khusus diskriminasi terhadap perempuan adalah jawaban hukum yang pantas dihormati.[32]
Di bidang hak-hak politik perempuan, CEDAW memperluas konsep seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan tahun 1952. CEDAW menambahkan hak perempuan untuk bersuara dalam referendum umum, partisipasi perempuan dalam perumusan dan implementasi kebijakan pemerintah selain representasi mereka pada tingkat internasional. Dengan kata lain, CEDAW memajukan perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan. Pada pasal 7 dalam konvensi ini tentang politik dan kehidupan masyarakat bagi perempuan ditegaskan kembali mengenai:
1)      Hak untuk memilih dan dipilih.
2)      Berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat.
3)      Berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan masyarakat dan politik Negara.[33]

Selain itu, tercatat beberapa konverensi di tingkat internasional yang membahas masalah-masalah perempuan antara lain:
1)      Konfrensi Internasional Perempuan Pertama (First World Confrence for Women) di Mexico tahun 1975 sebagai awal dari decade perempuan yang menghasilkan Deklarasi Meksiko dimana telah menggariskan hubungan antara status perempuan dan system politik dan ekonomi internasional.
2)      Konfrensi Internasional Perempuan Kedua (Second World Confrence for Women) di Kopenhagen, Denmark tahun 1980.
3)      Konfrensi Internasional Perempuan Ketiga (Third World Confrence for Women) di Nairobi, tahun 1985
4)      Konfrensi Internasional Perempuan Keempat (Fourth World Confrence for Women) yang diselenggarakan di Beijing, China pada tahun 1995 yang memfokuskan perhatiannya pada 12 wilayah perhatian khusus, yakni; kemiskinan, ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, ketidaksertaan dalam akses kesehatan, perempuan dalam konflik bersenjata, kekerasan terhadap perempuan, partisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, berbagai kekuasan dan pengambilan keputusan, mekanisme kelembagaan terhadap stereotype gender, hak-hak asasi perempuan, system komunikasi terutama media massa, distribusi sumber daya dan lingkungan serta hak-hak perempuan muda.[34]
B.     Konsep Gender dan Feminisme
1.      Pengertian Gender
Gender itu berasal dari bahasa latin “genus” yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya.[35] Kalau begitu antara gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.
Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause.[36]
Bagaimana pula bentuk hubungan gender dengan seks                      (jenis kelamin) itu sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.
Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dan lain-lain.
Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat.
Selain itu ada juga beberapa pendapat tentang gender. Berikut ini beberapa pengertian gender menurut para ahli, antara lain :
1.      Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran
perempuan ditentukan
.[37]
2.      Gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang
berlaku dalam periode waktu tertentu
.[38]
3.      Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi
perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya
.[39]

4.      Gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin
.[40]
a.       Bentuk Gender
Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan, terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari system tersebut. Untuk memahami bagaimana peran gender melahirkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni; marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis.[41]
Munculnya kesadaran kaum perempuan yang merasakan ketidakadilan atas peran gender mereka merupakan latar belakang lahirnya gerakan gender ini. Gerakan ini bertujuan untuk demi terwujudnya kebebasan dari segala bentuk tindak penindasan, baik struktural maupun personal, kelas, warna kulit dan ekonomi internasional.
Bentuk gerakan ini dapat dilihat dari tujuan kegiatannya:
1.      Kebutuhan Praktis Gender
Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan-kebutuhan perempuan dan laki-laki untuk dapat melaksanakan perannya secara lebih mudah, lebih efektif dan efisien dan biasanya kebutuhan itu dapat diidentifikasi oleh mereka sendiri.[42]
Kebutuhan praktis gender acapkali hanya berupa kebutuhan akan pelayanan kesehatan, pendidikan, makanan, bahan bakar, sumber air, dan lain-lain. Contoh-contoh kegiatan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan praktis gender:
·      Pengurangan beban kerja, misalnya pembangunan sumur pompa           tangan dan sebagainya.
·      Perbaikan kesehatan, misalnya mendirikan Puskesmas/Bima      Keluarga Balita.
·      Perbaikan sarana pendidikan.
·      Pendidikan pendapatan, misalnya kursus keterampilan dan kelompok   kredit.[43]
            Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka kebutuhan praktis gender mempunyai ciri-ciri:[44]
1)         Cenderung bantuan langsung dan bersifat jangka pendek.
2)         Ditujukan spesifik (misalnya program khusus untuk perempuan).
3)         Berupa pemenuhan dan penyediaan input-input tertentu.
4)         Tidak mengubah peran tradisional perempuan dan laki-laki
5)         Tidak memperbaiki hubungan antara perempuan dan laki-laki                                   dalam keluarga.[45]
2.      Kebutuhan Strategis Gender
Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang berhubungan dengan perubahan posisi “subordinasi” perempuan dalam masyarakat. Dengan pemenuhan kebutuhan strategis gender, perempuan akan dapat mencapai persamaan-persamaan peran yang telah ada dan kemudian mengusahakan perubahan posisi “subordinasi” perempuan. Berhubung pemenuhan kebutuhan strategis gender berkaitan pada perbaikan posisi baik perempuan maupun laki-laki di masyarakat, maka pemenuhan strategis gender cenderung jangka panjang.[46]
                        Contoh-contoh kegiatan yang bertujuan sebagai pemenuhan                         kebutuhan strategis gender:
1)      Perbaikan dalam bidang pendidikan, misalnya menggunakan guru perempuan sebagai contoh/panutan, buku-buku sekolah yang gambar dan kalimatnya tidak bias gender dan menghapus diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu untuk diterima pada sekolah tertentu (sekolah teknik tidak diperuntukkan untuk laki-laki saja).
2)      Perbaikan akses terhadap asset produksi, misalnya status sah atas kepemilikan lahan, hak untuk menggunakan fasilitas umum, hak untuk membuka rekening atas nama pribadi dan tanpa perlu persetujuan suami.
3)      Kegiatan-kegiatan yang ditujukan baik untuk laki-laki maupun perempuan diadakan bersamaan dan tidak dipisahkan serta berkaitan dengan perempuan akses dan control terhadap sumber daya, kesamaan hak di dalam segala bidang termasuk bidang politik.[47]
b.       Teori-Teori Gender
Ada beberapa teori gender, yaitu :
a)      Teori Kodrat Alam
Menurut teori ini perbedaan biologis yang membedakan jenis kelamin dalam memandang gender. Teori ini dibagi menjadi
dua yaitu[48]:
·      Teori Nature
Teori ini memandang perbedaan gender sebagai kodrat alam yang tidak perlu dipermasalahkan.
·     Teori Nurture
Teori ini lebih memandang perbedaan gender sebagai hasil rekayasa budaya dan bukan kodrati, sehingga perbedaan gender tidak berlaku universal dan dapat dipertukarkan.
b)     Teori Kebudayaan
Teori ini memandang gender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Menurut teori ini terjadi keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena konstruksi budaya, materi, atau harta kekayaan. Gender itu merupakan hasil proses budaya masyarakat yang membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan. Pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dibentuk dan dilatihkan.
c)     Teori Fungsional Struktural
Berdasarkan teori ini munculnya tuntutan untuk kesetaraan gender dalam peran sosial di masyarakat sebagai akibat adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Dalam era globalisasi yang penuh dengan berbagai persaingan peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan keterampilan.

2.      Pengertian Feminisme
Feminisme atau yang sering dikenal dengan sebutan emansipasi berasal dari bahasa latin yang berarti perempuan. Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.[49]
Sedangkan menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.Ada tiga ciri feminisme, yaitu;[50]
a.       Menyadari akan adanya ketidakadilan gender.
b.      Memaknai bahwa gender bukan sebagai sifat kodrati.
c.       Memperjuangkan adanya persamaan hak.
a.      Sejarah Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran Era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.[51]
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu,dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.[52]
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam  masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat.[53]
Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas.[54]
Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.   Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960.                   Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria Yang kemudian menetap diPerancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Sebagai bukan White-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu.                     Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacanapos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan.                     Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya.
Bell Hock mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya. Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastranovelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai subyek.
Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua              Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki.  Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama.[55]
Berawal dari inilah akhirnya feminism mulai menjamur ke hampir semua Negara yang ada di bumi. Namun, pergerakan feminism ini juga tergantung dari hal-hal yang ingin diperjuangkan kaum perempuan di masing-masing Negara.
b.      Aliran-aliran Feminisme
Dari berbagai aliran feminisme, sebaiknya dikenal setidaknya empat aliran, yakni aliran liberal, radikal, Marxis, dan sosialis.[56]
1)        Aliran liberal berasumsi bahwa keterbelakangan dan     ketidakmampuan  kaum  perempuan  bersaing  dengan  kaum  laki-     laki  disebabkan  oleh  kelemahan  mereka  sendiri.  Mereka             beranggapan  bahwa  kebabasan  dan  persamaan berakar pada       rasionalitas, dan bahwa perempuan sebenarnya  adalah mahluk             rasional juga. Sikap emosional hanyalah milik peradapan tradisional.            Maka mereka mengagungkan modernitas dan mempercayai            modernitas dan industrialisasi sebagai peluang bagi perempuan untuk         meningkatkan statusnya.Sedangkan  kaum  Marxis  menolak  gagasan  kaum  radikal dan melihat bahwa masalah penindasan kaum perempuan adalah masalah obyektif,  yakni bagian dari eksploitasi kelas dalam hubungan produksi.                 Menurut  Engels, status perempuan menurun sejak terjadinya perpindahan  pola mata pencaharian dari berburu menjadi beternak dan bercocok tanam  yang menimbulkan surplus. Surplus menghasilkan property dan kapital, dan perempuan mulai dianggap bagian dari property juga. Mulai saat  itulah laki-laki mendominasi kaum perempuan. Dalam era kapitalisme,  perempuan ”dirumahkan” adalah menguntungkan, sebab dia bisa  dieksploitasi oleh buruh laki-laki, sedangkan perempuan yang bekerja  menjadi buruh diupah lebih murah. Dan pemeliharaan stok buruh  menyebabkan posisi tawar-menawar buruh sangat rendah terhadap  pemilik kapital. Bagi kaum Marxis, perubahan status perempuan harus  ditempuh melalui revolusi sosialis, dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga) melalui industrialisasi. Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri.
2)        Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri.Kaum sosialis menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan  terjadi di kelas manapun. Mereka mengkritik asumsi umum bahwa  terdapat hubungan antara partisipasi kaum perempuan dalam produksi  dan status perempuan. Partisipasi Some of the earlier forms of feminism have been Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri. Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri. Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri. Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri. Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri. Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri.Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula            berasal dari dominasi laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal,            revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi        hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya      hidup pengalaman, dan hubungan mereka sendiri. Urusan penindasan     perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri.
3)        Golongan Radikal melihat penindasan terhadap kaum perempuan semula berasal dari dominasi kaum laki-laki. Bagi kaum perempuan radikal, revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup pengalaman,dan hubugan mereka sendiri. Urusan penindasan perempuan adalah masalah subjektif mereka sendiri Sedangkan kaum Marxis menolak gagasan kaum radikal dan melihat bahwa masalah penindasan kaum perempuan adalah masalah obyektif,              yakni bagian dari eksploitasi kelas dalam hubungan produksi. Menurut           Engels, status perempuan menurun sejak terjadinya perpindahan  pola         mata pencaharian dari berburu menjadi beternak dan bercocok tanam  yang menimbulkan surplus. Surplus menghasilkan property dan    kapital, dan perempuan mulai dianggap bagian dari property juga.   Mulai saat  itulah laki-laki mendominasi kaum perempuan. Dalam era     kapitalisme,  perempuan ”dirumahkan” adalah menguntungkan, sebab   dia bisa  dieksploitasi oleh buruh laki-laki, sedangkan perempuan     yang bekerja  menjadi buruh diupah lebih murah. Dan pemeliharaan           stok buruh  menyebabkan posisi tawar-menawar buruh sangat rendah             terhadap  pemilik kapital. Bagi kaum Marxis, perubahan status         perempuan harus  ditempuh melalui revolusi sosialis, dan dengan          menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga) melalui             industrialisasi.
4)        Kaum sosialis menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan     terjadi di kelas manapun. Mereka mengkritik asumsi umum bahwa         terdapat hubungan antara partisipasi kaum perempuan dalam produksi         dan status perempuan. Partisipasi  kaum  perempuan  dalam  ekonomi              memang perlu tapi tidak otomatis selalu menaikkan status perempuan.             Memang ada korelasi antara status dengan pekerjaan, namun keterlibatan  perempuan  justru  mengakibatkannya dijadikan budak            maya (virtual slaves).

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG NEGARA KUWAIT DAN LANDASAN
PERJUANGAN POLITIK KAUM PEREMPUAN DI NEGARA KUWAIT

A.    Profil Negara Kuwait
Al-Hashemi-II Marine Museum in Kuwait City .[ edit ] The Bani Utbah (Early Migration and Settlement)


Kuwait was founded in the early eighteenth century by members of the Bani Utbah tribe, also known as the Al-Khalifa , Al-Sabah , Al-Roumi , and Al-Jalahma in the year 1705.Kuwait didirikan pada awal abad ke-18 oleh anggota Bani Utbah suku, juga dikenal sebagai Al-Khalifa, Al-Sabah, Al-Roumi,                             dan Al-Jalahma pada tahun 1705. Kuwait was then known as Guraine; the Bani Utbah established the town and port of Guraine and called it Kuwait ("little fort," from kut, "fort") They were descendants of the Bani Utbah tribe who gradually migrated in the early eighteenth century from Nejd to the shores of the Persian Gulf . Kuwait kemudian dikenal sebagai Guraine yang diberi nama oleh Utbah Bani yang mendirikan kota dan Pelabuhan Guraine dan menyebutnya Kuwait ("benteng kecil," dari kut teh, "benteng"), dengan kata lain Kuwait berarti sebuah benteng kecil yang berada di dekat laut.
 [ edit ] The Anglo-Ottoman ConventionDespite the Kuwaiti government's desire to either be independent or under British rule, in the Anglo-Ottoman Convention of 1913 , the British concurred with the Ottoman Empire in defining Kuwait as an " autonomous caza " of the Ottoman Empire and that the Shaikhs of Kuwait were not independent leaders, but rather qaimmaqam s (provincial sub-governors) of the Ottoman governmentKeinginan pemerintah Kuwait sangat kuat untuk lepas dari kekuasaan pemerintahan Inggris yang telah lama menanamkan pengaruh di Kuwait, sehingga pada tahun 1913 Konvensi di Anglo-Ottoman, Inggris setuju dengan Kekaisaran Ottoman dalam mendefinisikan Kuwait sebagai " caza otonom " yang berarti bahwa pemerintahan Kuwait tidaklah independen, melainkan sub-otonom dari Kekaisaran Ottoman dan berada di bawah pengawasan Inggris. Dalam The convention ruled that Shaikh Mubarak had authority over an area extending out to a radius of 80 km, from the capital.konvensi tersebut juga diputuskan bahwa Syaikh Mubarak memiliki kewenangan memperluas wilayah hingga radius 80 km, dari ibu kota.This region was marked by a red circle and included the islands of Auhah , Bubiyan , Failaka , Kubbar , Mashian , and Warba . Wilayah ini ditandai dengan lingkaran merah dan termasuk pulau-pulau Auhah, Bubiyan, Failaka, Kubbar, Mashian, dan Warba. [ edit ] The Border War with Najd
After World War I , the Ottoman Empire was defeated and the British invalidated the Anglo-Ottoman Convention, declaring Kuwait to be an "independent sheikhdom under British protectorate."Setelah Perang Dunia I , Kekaisaran Ottoman kalah dan Inggris membatalkan Konvensi Anglo-Ottoman dan menyatakan bahwa Kuwait menjadi sebuah negara yang "sheikhdom independen”, yakni negara yang di bawah protektorat Inggris. The power vacuum left by the fall of the Ottomans sharpened conflict between Kuwait and Najd .Pada tanggal 6 Juli 1961, Kuwait secara resmi diterapkan untuk keanggotaan di PBB. Also on that day, the United Kingdom submitted a draft resolution by which the Security Council would call upon all States to respect the independence and territorial integrity of Kuwait and urge that all concerned work for peace and tranquility in the area. Dan pada hari yang sama, Inggris mengajukan rancangan resolusi oleh Dewan Keamanan yang akan memanggil semua Negara untuk menghormati kemerdekaan dan integritas wilayah Kuwait dan mendesak agar semua pekerjaan yang bersangkutan untuk perdamaian dan ketenangan di daerah tersebut. Assembly act favorably on Kuwait's request.
Kuwait also became an important player in the international family of nations, and with its wealth it became a major foreign aid donor.Kuwait juga menjadi pemain penting dalam keluarga internasional bangsa-bangsa, dan dengan kekayaannya itu menjadi donor bantuan utama luar negeri. The Kuwait Fund for Arab Economic Development is active throughout the Arab world and beyond. Dana Kuwait untuk Pembangunan Ekonomi Arab adalah aktif di seluruh dunia Arab dan seterusnya. Kuwait independently supports projects in non-Arab, non-Muslim nations as well, and has given as much as eight per cent of its annual gross national product in foreign aid. Kuwait independen mendukung proyek-proyek non-Arab, negara-negara non-muslim juga, dan telah diberikan sebanyak delapan persen dari produk bruto tahunan nasional dalam bantuan asing. The country was instrumental in the formation of the Gulf Cooperation Council in 1981, through which the states of the Gulf maintain regional security, stability, and progress.Negara Kuwait berperan penting dalam pembentukan Dewan Kerjasama Teluk pada tahun 1981, melalui  negara-negara Teluk menjaga keamanan regional, stabilitas, dan kemajuan.
1.         Sistem Politik Dan Pemerintahan Kuwait
Kuwait adalah negara Islam, kurang lebih 91,5% penduduk beragama Islam.  Sebagian besar warganya termasuk aliran Sunni. Meskipun demikian, terdapat pula kelompok Kristen dalam jumlah kecil-kecil, seperti Protestan, Katolik Roma, Gereja Ortodoks, Gereja Suriah, dan Gereja Armenia. Dominan dekatnya hubungan sejarah masa silam negara-negara Arab, tidak mengherankan apabila kesamaan dan saling berpengaruh akan tradisi budaya Timur-tengah, sosial, geografis, ekonomi (sebagai sesama negara penghasil minyak), dan agama. Itulah mengapa negara kecil Kuwait memiliki citra diri yang kuat sebagai negara Islam, kaya raya dan modern dengan ciri khasnya.[57]
In 2009, approximately 3,318 Kuwaitis were enrolled in US universitiHKuwait adalah sebuah negara yang menganut sistem politik monarkhi konstitusional, yakni sebuh kerajaan yang didirikan di bawah sistem konstitusional yang mengakui Raja sebagai kepala negara.[58] The country has the world's fifth largest oil reserves [ 9 ] and petroleum products now account for nearly 95% of export revenues, and 80% of government income. [ 1 ] Kuwait is the eleventh richest country in the world per capita. Namun, seiring perkembangan zaman, Negawa Kuwait menggabungkan sistem monarkhi konstitusional dengan demokrasi representatif,[59] yakni kerajaan tetap berada di bawah kekuasaan rakyat tetapi raja mempunyai peranan tradisional yaitu mengatur jalannya sistem politik dan ekonomi di dalam negara.
2.         Sistem Parlemen Kuwait
Dalam konstitusi 11 November 1962, terdapat suatu Dewan nasional (Majelis Al-Ummah) yang terdiri atas 50 anggota, bertugas menyusun undang-undang dan anggotanya dipilih untuk masa jabatan 4 tahun oleh para warga negara sipil  pria yang telah dewasa. Tetapi pada tahun 1985, badan legislatif ini dibubarkan akibat perselisihan tajam dengan pihak pemerintahan. Kuwait tidak mengijinkan berdirinya partai hanya ada suatu kelompok-kelompok elit politik bagi para calon yang akan berdiri di panggung politik dalam setiap pemilihan umum.[60]
Tahun 2005, Pemerintahan konservatif Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Dewan Menteri sepakat     meloloskan undang-undang yang memberi hak politik penuh kepada perempuan, seperti hak untuk ikut memilih dalam pemilihan umum, serta hak untuk bersaing menjadi salah satu dari 50 anggota parlemen.[61]Sebelum UU pemilihan umum di rubah, perempuan Kuwait tidak bisa memilih atau dipilih walaupun mereka bisa menjadi diplomat, pengusaha dan bekerja di berbagai bidang industri. Hal ini memicu perempuan Kuwait mempertanyakan haknya yang hilang, sehingga mereka memutuskan akan berusaha menuntut hak mereka sampai parlemen memutuskan untuk memberi hak politik bagi perempuan.
Berbagai unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait. Seperti penulis Fatima al-Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang mendukung penuh para calon legislatif perempuan.[62]Tuntutan kaum perempuan Kuwait selalu mendapat penentangan dari kaum konservatif Islam di Parlemen yang jumlahnya tidak sedikit. Kaum konservatif tidak menyetujui perempuan ikut aktif dalam kegiatan politik, karena bertentangan dengan tradisi budaya dan “penafsiran agama” yang telah lama berlaku di negara Kuwait. Maka tidak mengherankan bila parlemen Kuwait telah dua kali menolak usulan pembahasan kebijakan beberapa tahun sebelum undang-undang hak politik bagi perempuan disahkan.
Sejak tahun 1962, Kuwait telah melaksanakan 11 kali pemilihan parlemen, tetapi tidak pernah melibatkan perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005 lah akhirnya kaum perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya. Pemerintahan konservatif Emirat Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut Dewan Menteri, perubahan UU Pemilihan Umum Kuwait tahun 1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat” dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
3.         Konstitusional Kuwait
Sistem tata hukum Kuwait menggunakan hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadits. Selain itu, hukum adat juga masih digunakan seperti penentuan kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi dan perdagangan namun tetap bersandar pada undang-undang yang ada di Negara Kuwait, juga berbagai permasalahan keluarga seperti perceraian, warisan dan sebagainya, diurus oleh pengadilan tradisi agama masing-masing. Misalnya Sunni, Syi’ah dan Kristen.[63]
Menjalankan kebijakan damai, netral dan non-blok dan berpendirian mengembangkan hubungan dengan semua negara di atas dasar 5 prinsip hidup berdampingan secara damai. Kuwait menekankan keharusan untuk penyelesaian persengketaan antar negara dengan cara damai dan mencurahkan tenaga untuk memelihara kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Menjalankan sanksi terhadap Irak dan mengupayakan simpati dan perlindungan masyarakat internasional sebagai titik berat pekerjaan diplomatiknya. Aktif memelihara persatuan negara-negara Arab, berupaya meningkatkan hubungan dengan negara-negara Islam, menekankan koordinasi dan kerja sama antar negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk di bidang politik, ekonomi dan militer, bersama-sama memelihara keamanan dan kestabilan di kawasan Teluk serta menganjurkan berkoordinasi dengan negara-negara "Deklarasi Damaskus" di bidang keamanan regional.
Dalam urusan internasional, Kuwait berpendirian membina tata baru internasional yang adil dan rasional, menentang agresi dan ekspansi. Kuwait menganggap, PBB harus memainkan peranannya untuk memelihara keamanan dan perdamaian dunia. Kuwait menganjurkan penyelesaian masalah hutang dunia ke-3. Kuwait adalah negara anggota Uni Arab, Uni Parlementer Arab, Dewan Kerja Sama Negara Arab Teluk, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak OPEC dan Organisasi Negara Pengekspor Minyak Arab.[64]

B.     Landasan Dan Tujuan Perjuangan Politik Kaum Perempuan di Negara Kuwait
Perempuan di Negara Kuwait sama halnya dengan mayoritas perempuan di berbagai Negara Islam yang cenderung menganut paham patriarki dimana laki-laki mendominasi pengambilan keputusan hampir dalam segala bidang. Hal ini mengakibatkan jarang yang mampu untuk memobilisasi serta memberikan sesuatu yang berarti bagi perolehan hak-hak mereka.
Gerakan gender yang melahirkan partisipasi politik bagi para feminisme yang dilakukan untuk memperjuangkan keadilan dan menghapus diskriminasi diawali pada tahun 1950an yang meskipun tidak berbasis pada aksi namun mampu menyadarkan beberapa kaum perempuan di berbagai belahan dunia. Hal ini juga sedikit banyak mengajak perempuan di Negara Kuwait mengkaji posisi perempuan dalam Islam dan peranan perempuan di Negara Islam modern.
Hal yang menguntungkan bagi perempuan di Negara Kuwait adalah pasca revolusi yang mengubah system ketatanegaraan. Perempuan di Negara Kuwait sangat diperhatikan keberadaannya dan tertuang dalam konstitusi Negara. Meskipun demikian, pada kenyataannya, meski hak-hak politik mereka telah diakui oleh Negara, namun dalam praktikalitasnya, perempuan di Negara Kuwait tetap berjuang untuk keluar dari subordinasi politik yang menimpa mereka.
Paham Islam yang menjadi landasan Negara Kuwait, seringkali menjadi alasan konsep hak asasi manusia maupun implementasinya untuk masih cenderung berpihak pada kepentingan laki-laki (male bias). Hal ini mengingat struktur yang masih tertanam kuat dalam masyarakat di Negara Kuwait yang cenderung patriarki, yakni struktur yang menempatkan laki-laki berada pada posisi “kuat” dan “memegang” perempuan. Pandangan ini pulalah yang membatasi perempuan dalam politik.
Dalam bidang politik, kaum perempuan dianggap sekunder dan tidak memiliki otonomi penuh berkuasa atas dirinya. Paham Islam menyebutkan bahwa pada level mikro (keluarga), kepentingan seorang perempuan diwakili oleh suara laki-laki untuk perempuan yang belum menikah diwakili oleh ayahnya, sementara bagi perempuan yang telah bersuami, maka yang mewakili suaranya adalah suaminya.
Hal ini berlandaskan pada asumsi yang menurut mereka berlandaskan Islam, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga, dan implikasinya yang acapkali berkembang adalah bahwa urusan perempuan adalah urusannya yang harus diwakili kepada laki-laki. Hal ini berarti perempuan tidak memiliki hak suara. Berdasarkan pandangan ini, maka seringkali keterlibatan perempuan dalam urusan-urusan publik pun diwakili oleh wali yang berjenis kelamin laki-laki, entah itu suami atau ayahnya.
Sementara pada level makro, isu partisipasi politik perempuan masih diperdebatkan. Salah satu isu yang diangkat adalah anggapan bahwa perempuan diakui memiliki hak untuk memilih tetapi hak untuk dipilih masih dipertanyakan karena adanya anggapan dalam Islam bahwa yang seharusnya memimpin adalah laki-laki dan perempuan tidak pantas memimpin. Meskipun pada kenyataanya, Negara Kuwait telah mengakui hak politik perempuan pada tahun 1963, terbukti pada adanya pengakuan Negara Kuwait terhadap pembolehan perempuan untuk mencalonkan diri, namun tetap pada level praktikalitas, tetap perempuan masih di bawah level laki-laki.
Berangkat dari hal tersebut, maka dasar perjuangan perempuan di Negara Kuwait adalah upaya-upaya untuk menghapuskan perempuan dari beberapa hal sebagai berikut:
1)      Diskriminasi dan pembatasan hak-hak perempuan.
2)      Stereotipe dan prasangka terhadap perempuan.
3)      Perempuan cenderung tidak sadar akan kedudukannya di mata hukum, hak-hak yang dimilikinya, pengaruh hukum atas dirinya, serta keberadaannya yang cenderung dijadikan sasaran/objek ketidakadilan.
Gerakan para feminis dari berbagai Negara memiliki tujuan yang sama yaitu untuk penghapusan diskriminasi yang terjadi kepada kaum perempuan dan untuk memperoleh hak-hak politik yang telah dijanjikan dalam beberapa deklarasi serta konvensi yang pada akhirnya tertuang dalam konstitusi Negara masing-masing. Namun, secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan para feminis Kuwait difokuskan pada upaya untuk:  1) Menciptakan front solidaritas perempuan di Negara Kuwit untuk membela hak-hak perempuan dan meningkatkan kesadaran serta menghimpun kekuatan perempuan melalui persatuan dan solidaritas. 2) Ikut andil dalam mengangkat status sosial dan budaya perempuan di sektor-sektor umum dan khusus. 3) Ikut serta secara aktif dalam menyumbangkan gagasan, pendapat dan karya sesuai program-program nasional yang bertujuan mengembangkan kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi kaum perempuan. 4) Ikut ambil bagian dalam pemberantasan buta huruf melalui penyelenggaraan paket pendidikan dan pengajaran tulis baca di samping peningkatan kesadaran sosial, budaya dan politik. 5) Berupaya mendirikan lembaga pendidikan sosial dan individual perempuan yang bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah-masalah umum dan khusus perempuan.6)Mendirikan penerbitan untuk lahan penyebaran hasil karya perempuan di berbagai bidang keilmuan, seni, keterampilan dan kebudayaan.7) Mengikutsertakan perempuan dalam kehidupan politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang hakiki.[65]





In July 2005, the Prime Minister appointed Kuwait's first female minister, Masouma Al-Mubarak, as Planning Minister and Minister of State for Administrative Development Affairs, and later Principal Government Officials
                                                        BAB IV
WUJUD PERJUANGAN POLITIK KAUM PEREMPUAN DI KUWAIT
SERTA KENDALA DAN PROSPEKNYA


52
Kekerasan perempuan terjadi pada beberapa negara islam karena adanya  paham bahwa perempuan selalu berada di kelas bawah dan berada dalam kontrol dan kemauan laki-laki. Dianggap suatu hal yang sah bagi laki-laki untuk memukul dan mencambuk istri dan anak-anaknya dengan mengatasnamakan agama. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban domestik lebih banyak dan lebih lama dibanding laki-laki. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara rumah tangga telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah pada perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bahwa hal tersebut bukan salah satu dari tanggung jawabnya bahkan dibanyak tradisi, mereka dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut secara logis akan bertambah, jika perempuan yang juga bekerja dan menghasilkan nafkah di luar, karena mereka masih tetap harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan secara dialektika dan saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan tersebut “tersosialisasi” kepada kaum laki-laki secara perlahan namun pasti, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender tersebut seolah-olah adalah kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan sudah tidak dirasakan lagi adanya sesuatu yang salah.
Persoalan ini yang mewarnai keterlibatan perempuan di negara mayoritas Islam yakni Kuwait yang akhirnya menjadi kepentingan kelas, dimana banyak pihak di negara ini yang akhirnya berupaya untuk mempertahankan sistem dan struktur tersebut dan teradopsi dalam setiap aspek kehidupan masyarakat khusunya dibidang politik.
Salah satu manifestasi ketidakadilan gender adalah subordinasi gender khususnya kaum perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi ini diperkuat oleh tatanan budaya dan agama yang semakin menekan kebebasan perempuan untuk memperoleh hak-hak politik mereka, perempuan dan politik merupakan sebuah perpaduan kontras yang menurut sebagian besar masyarakat adalah tidak mungkin.
Perjuangan politik kaum perempuan di Negara Kuwait terbilang masih ketinggalan dibandingkan negara-negara Islam lainnya di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan banyaknya hambatan mulai dari tafsir agama maupun budaya etnis serta kebijakan pemerintah. Keterwakilan kaum perempuan di dalam institusi-institusi politik Kuwait juga masih sangat minim.  Berbagai tantangan dan kendala menghadang para perempuan yang masuk ke dalam panggung politik. Selain itu banyak laki-laki semakin enggan berbagi kekuasaan dengan perempuan. Kehadiran kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan di Kuwait masih jauh dari cukup. Banyak pemuka perempuan yang membicarakan kesetaraan gender dalam  konteks ini.
Satu Abad silam, tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti Syed Sheikh Al-Hadi, Sheikh Tahir Jalaluddin dan sejawatnya dalam gerakan Islam progresif yang terkenal dengan nama Kaum Muda, menyebarkan bahwa gadis-gadis Muslim harus mendapatkan pendidikan terbaik sejajar dengan anak laki-laki. Meski awalnya gagasan-gagasan itu ditentang oleh para tokoh konservatif, secara umum masyarakat Kuwait menyambut ajakan itu dengan tangan terbuka. 
Tidak mengherankan kalau masyarakat Kuwait rata-rata memiliki pendidikan yang tinggi. Angka buta huruf pun sangat rendah di negara  ini sehingga berpengaruh pada pola pikir perempuan Kuwait, walaupun selama ini mereka memiliki profesi sebagai pebisnis ataupun diplomat dan pekerjaan lainnya di administrasi pemerintahan maupun swasta, tetapi mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan politik. Membuat mereka merasa sudah saatnya reformasi politik segera dilakukan di Kuwait. 
Sebuah pemahaman konsep Islam yang memungkinkan orang menghargai kemungkinan-kemungkinan ke arah “pembebasan kaum perempuan” berdasarkan isi ajaran agama tersebut.  Dalam banyak kasus, agama telah memberdaya dan memungkinkan kaum perempuan mencapai serta mewujudkan potensi dan kemampuan mereka sama dengan kaum laki-laki. Tahun 2006 yang lalu, perempuan Kuwait telah membuktikannya, dalam Pemilu  tahun itu mereka mendapatkan hak memilih dan dipilih sehingga terlibat dalam kegiatan politik sesuai dengan keputusan Undang-undang yang telah di amandemen. 

A.    Perjuangan Hak Politik Kaum Perempuan di Kuwait Setelah Pembentukan Amandemen UU Pemilu (Hak Politik Bagi Semua Golongan)
Pada tahun 1962 merupakan pertama kali pemilihan parlemen dilakukan setelah kemerdekaan Kuwait tetapi tidak melibatkan perempuan. Melalui hasil amandemen konstitusi tahun 2005-lah akhirnya kaum perempuan Kuwait mendapatkan hak pilih dan dipilihnya setelah 11 kali pemilihan parlemen yang dilaksanakan dalam 4 tahun sekali pada pemilihan tahun 2006. Pemerintahan konservatif Emirat Kuwait memutuskan untuk memberi perempuan hak politik penuh. Menurut Dewan Menteri, perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kuwait tahun 1962, sebagai bagian dari kebijakan “memperluas partisipasi masyarakat” dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan UU baru tersebut, perempuan dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
      Perubahan amandemen dilakukan Pada tanggal 18 Mei 2005, Kuwait merubah Amandemen Undang- Undang Pemilu pasal I No.35 tahun 1962, yang sebelumnya Amandemen Undang-Undang tersebut hanya memberikan hak politik bagi kaum lelaki saja tetapi kini Undang-Undang tersebut telah dirubah dengan memberikan hak penuh bagi kaum perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu ataupun mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Perubahan Amandemen UU ini berdasarkan keputusan parlemen Kuwait (Majelis Al-ummah). Sebanyak 35 suara mendukung, 23 menolak, dan 1 abstain dalam voting yang memperoleh penentangan keras dari anggota parlemen dari kubu Islamis dan konservatif.
Setelah pengumuman dilakukan, sambutan tepuk tangan masyarakat yang berada di gedung parlemen bergemuruh. Perdana Menteri Sheikh Sabah al-Ahmad al-Sabah mengucapkan selamat kepada perempuan Kuwait yang berhasil memperoleh kemerdekaannya untuk menggunakan hak-hak politik mereka. Pemerintahan al-Sabah mengeluarkan keputusan itu dengan menyatakan bahwa sesungguhnya upaya tuntutan hak politik penuh kepada kaum perempuan sudah mulai dirintis sejak tahun 1999. Setelah berjuang enam tahun akhirnya keinginan itu dikabulkan. Keputusan disepakati  setelah menggelar pertemuan selama sepuluh jam.
Sebelum disahkan undang-undang bagi kaum perempuan, aneka unjuk rasa terjadi sebagai sebuah bentuk protes perempuan Kuwait dalam menuntut hak asasi mereka, misalnya seperti yang dinyatakan Lulwa al-Mullah salah seorang penggerak unjuk rasa, yang ikut dalam aksi protes menuntut partisipasi perempuan di Parlemen Kuwait. Dalam unjuk rasa tersebut, baik laki-laki maupun perempuan ikut ambil bagian dalam  aksi yang mereka gelar.
Beberapa perempuan, bahkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian khas negara. Tetapi banyak juga di antara mereka yang berpakaian biru muda. Ini sebagai simbol perjuangan perempuan di Kuwait. Para demonstran membawa plakat dengan tulisan “Hak bagi perempuan sekarang juga” dan “Hukum Islam tidak menentang hak bagi perempuan.”[66]
Unjuk rasa yang diikuti oleh sekitar 600 orang umumnya kaum perempuan. Tetapi kaum pria juga tampak hadir meramaikan kegiatan tersebut. Walaupun demikian tidak sedikit kelompok lain di Kuwait yang menentang pemberian hak politik kaum perempuan. Karena itu, tidak heran bila parlemen negara Kuwait sudah dua kali menolak usulan pembahasan kebijakan tersebut beberapa tahun terakhir sebelum disahkannya undang-undang perempuan Negara Kuwait.  
Peristiwa demi peristiwa itu  juga kian menyadarkan kaum perempuan untuk lebih aktif dalam urusan sosio-ekonomi dan politik di Kuwait. Ini dapat dibuktikan oleh kehadiran dan peranan aktif perempuan dalam gerakan reformasi yang marak sejak beberapa tahun lalu itu. Nampak nyata bahwa perempuan telah memainkan peranan yang  setidak-tidaknya setara dengan laki-laki dalam  menghidupkan program-program dalam memperjuangkan reformasi atau perubahan menyeluruh itu.
Setelah dua tahun gerakan reformasi digulirkan, berbagai peranan yang dipegang oleh kaum perempuan dalam menjaga perjuangan mewujudkan masyarakat  yang lebih terbuka, adil dan merata. Berbagai unjuk rasa, debat, banyak dilakukan oleh beberapa kelompok kepentingan dan para aktivis di Kuwait. Seperti penulis Fatima al- Baker yang tergabung dalam Asosiasi Persatuan Perempuan Kuwait, Nabil al-Mufarreh sebagai ketua Persatuan Nasional Pelajar Kuwait yang juga turut andil dalam kampanye menjelang pemilu 2006, yang mendukung penuh para calon legislatif perempuan. Semangat dan konsistensi mereka yang menyala-nyala dalam memperjuangkan cita-cita tesebut telah memupus ungkapan klise yang menyudutkan perempuan sebagai makhluk rapuh dan mudah goyah.
Tekad bulat dan tidak kenal menyerah kaum perempuan dalam perjuangan ini telah melahirkan persatuan yang alamiah  atau sinergi dalam menggalang kekuatan dan semangat untuk mewujudkan pranata masyarakat dan pemerintahan yang lebih adil di Kuwait. Meskipun kedudukan perempuan dalam politik merupakan salah satu aspek penunjang pembangunan, perlu diingat peranan-peranan lain yang dibawakan perempuan di dalam masyarakat.
Pengalaman bangsa Kuwait menunjukan bahwa diskusi tentang peranan perempuan di  bidang   politik tidak hanya terbatas pada masalah keterwakilan mereka di dalam institusi-institusi formal. Ada banyak perempuan yang setelah menamatkan studi sarjana mereka malah memilih mengurus rumah tangga. Meski mereka tidak memegang posisi formal yang relevan dengan bekal pendidikan dan gelar yang disandangnya, sesungguhnya  mereka juga memberi kontribusi bagi pembangunan masyarakat dengan membesarkan anak-anak mereka dalam tata cara dan kondisi yang lebih maju.
Disahkannya amandemen pemberian hak politik bagi kaum perempuan pada tahun 2006, mengakhiri perjuangan puluhan tahun para perempuan Kuwait untuk mendapatkan hak mereka. Undang-undang itu memberi akses bagi perempuan Kuwait untuk mencalonkan diri di dewan kota. Namun, diskusi anggota parlemen dan kabinet segera tertuju pada amandemen menyeluruh atas undang-undang pemilu Kuwait. Dalam pembicaraan itu, parlemen dan kabinet menyinggung hak perempuan dalam politik. Selama ini Kuwait hanya memberi hak politik penuh bagi kaum lelaki saja untuk ambil bagian dalam parlemen.[67]
Dalam 24 jam, parlemen berhasil mengesahkan amandemen yang mengganti kata “laki-laki” dari pasal 1 Undang-Undang Pemilu.                     Dalam voting amandemen itu, 35 setuju dan 23 menentang.                            Meski demikian,sejumlah kalangan di parlemen menyebut hukum Islam tetap harus diberlakukan.[68]
Pada pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada tahun 2006, 28 perempuan dari 249 calon legislatif ikut memperebutkan 50 kursi legislatif di Kuwait.[69] Puluhan perempuan pemilih, yang mewakili 57 persen orang yang memenuhi syarat sebagai pemilih, ikut berpartisipasi dengan penuh semangat berbaris di lokasi yang dirancang sebagai tempat pemungutan suara mulai, seperti di daerah suku Sabah As-Salem, sekitar 50 perempuan yang menutup pakaian mereka dengan abaya, jubah luar, berbaris di bawah sengatan matahari. Zahra Ramadan Benbehani perempuan berusia 54 tahun merupakan perempuan pertama yang memberi suara di tempat pemilihan tersebut.
Meski telah memperoleh hak politik penuh sejak tahun 2005, sebagian perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum tahun 2006 tersebut masih menghadapi intimidasi selama kampanye, bahkan menerima ancaman mati yang memaksa dia mundur dari pencalonan. Namun wujud dari kegigihan mereka memperjuangkan hak politik perempuaan tidak dengan mudah di lunturkan. Tekanan tersebut dianggap hal yang wajar sebagai wujud perbedaan pola fikir antara golongan islam konservatif dan golongan yang membutuhkan perubahan.
Partisipasi perempuan Kuwait untuk pertama kalinya dalam pemilihan umum legislatif di Kuwait untuk memilih dan dipilih pada tahun 2006 yang terdiri dari 28 calon perempuan belum berhasil menduduki kursi legislatif. Namun hal tersebut dianggap hal yang wajar mengingat kebijakan dan tradisi Kuwait masih butuh penyesuaian dan sosialisasi lebih baik lagi tentang keterlibatan perempuan dalam panggung politik. Adapun faktor-faktor yang mendorong sehingga terjadinya perubahan kebijakan di Negara Kuwait terhadap perempuan dan yang secara signifikan juga telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya perjuangan politik kaum perempuan di Negara Kuwait adalah sebagai berikut:
1)      Faktor Pertama adalah peningkatan pendidikan.
2)      Faktor Kedua adalah perubahan politik di dalam negeri karena munculnya kesadaran dan tafsir hukum Islam yang tidak lagi didasari budaya patriarki.
3)      Faktor Ketiga, munculnya tokoh-tokoh perempuan di Kuwait yang telah berani melawan kondisi sosial politik dan sosial budaya di Kuwait dan berusaha menegakkan HAM dan demokrasi di negerinya.
4)      Faktor Keempat, munculnya kesadaran para Mullah (pemuka agama) dan pemimpin Kuwait bahwa ajaran Al-Qur’an senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan kitab tersebutlah yang menjadi dasar Islami bagi konstitusi Kuwait, sehingga pemerintah pun mau melakukan telaah kembali bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Kuwait yang bias gender.
5)     Faktor Kelima, faktor sosial budaya masyarakat yang menghormati perempuan mulia dalam sejarah Islam, misalnya, Putri Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra, dimana kemuliaan Fatimah, perilakunya yang santun, lemah lembut, pintar, berani dan bijak, dijadikan doktrin nilai-nilai yang dianut masyarakat Kuwait. Nilai-nilai ini berisi ajaran agar kaum laki-laki dan perempuan saling menghargai, menghormati hak dan kewajiban masing-masing.
Kemudian beberapa kaum perempuan yang sangat menonjol dalam berbagai pergerakan. Diantaranya adalah Dr. Rasha Al-Sabah, Wakil Sekretaris Pendidikan Internasional (Wanita Perempuan untuk PBB) untuk tahun 1996-1997 oleh International Biographical Center (IBC) di Cambridge, England. Dr. Rasha Al-Sabah banyak berjasa dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan ketertindasan perempuan. Setelah itu, ada Nabila Al-Mulla, yang ditunjuk sebagai Duta Perempuan pertama PBB. Dia adalah seorang mantan deputi perwakilan tetap Kuwait di PBB.               Selanjutnya ada Fayza Al-Khorafi yang merupakan professor pertama wanita di Kuwait. Dia adalah ilmuwan berprestasi, dan wanita Arab pertama yang ditunjuk sebagai Rektor dari sebuah Universitas di Arab pada tahun 1993. Sara Akbar, seorang insinyur Perminyakan, Memainkan peran dalam memadamkan kebakaran minyak setelah Perang Teluk dan membersihkan salah satu bencana lingkungan terburuk dalam sejarah. Dia menerima penghargaan "Global 500" dari Program Lingkungan PBB sebagai pengakuan atas karyanya. Pejuang kaum perempuan yang terakhir adalah Badriya Al-Awadi merupakan ahli hukum atas hak asasi manusia dan hak-hak perempuan di Kuwait. Dia memegang gelar Ph.D. dalam hukum internasional, telah menerbitkan lebih dari sepuluh buku, dan telah mengajar hukum di Universitas Kuwait selama tujuh tahun terakhir. Keprihatinan Badriya Al-Awadi yang menyebabkan ia bergerak untuk menghilangkan buta huruf dan meningkatkan kesadaran akan hak perempuan hukum dan politik. Massouma al-Mubarak, adalah menteri Kabinet perempuan pertama negara itu pada 2005, aktivis hak asasi perempuan Rola Dashti, profesor pendidikan Salwa al-Jassar dan profesor falsafah Aseel al-Awadhi Mubarak adalah seorang profesor berpendidikan dari universitas AS menghabiskan masa setahun sebagai Menteri Perencanaan sebelum dilantik Menteri Transportasi pada 2006 dan Menteri Kesehatan setahun kemudian, Jassar, seorang profesor pendidikan di Universitas Kuwait, mendapat pendidikan di AS juga adalah seorang aktivis hak asasi wanita terkenal dan memngelola Pusat Konsultasi Perempuan.[70]
Pejuang-pejuang kaum perempuan inilah yang banyak membantu pergerakan kaum perempuan Kuwait. Keberadaaan mereka di tengah-tengah pergumulan politik yang tidak mengaggap kaum perempuan telah membuka mata para pemimpin untuk melibatkan kaum perempuan di berbagai bidang politik.
B.     Kendala Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Negara Kuwait
Kaum perempuan meliputi separuh dari jumlah umat manusia. Dan oleh karena itu, setiap pengambilan keputusan, baik dalam urusan pribadi, di dalam keluarga, hingga ke tingkat masyarakat atau kehidupan publik seharusnya senantiasa memperhatikan serta melibatkan peran serta kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Hak-hak politik, sosial dan ekonomi perempuan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari seluruh kerangka hak asasi mereka.
1.      Fanatik terhadap Ajaran Islam

Perjuangan wanita Kuwait mendapatkan hak politiknya sungguh sangat tidak mudah. Kaukus Islam dan kaum tradisionalis dari Suku dalam parlemen selalu menjadi penghalang kaum perempuan Kuwait meraih hak-hak politiknya. Ketika digelarnya sidang selama sepuluh jam untuk membahas masalah pengesahan undang-undang bagi kaum perempuan, beberapa pemimpin suku-suku mayoritas dan anggota parlemen yang beraliran keras menolak keputusan perubahan status tersebut. Sehingga amandemen memberatkan perempuan untuk tidak ikut serta dalam pemilihan umum di Kuwait, hanya karena terkait masalah “penafsiran” agama. Dengan adanya ketentuan itu, maka dengan sendirinya ruang gerak bagi perempuan di dunia politik akan semakin terbatas. Langkah ini di satu sisi dianggap sebagai usaha mencapai kesuksesan. Tetapi di sisi lain bisa membatasi ruang gerak perempuan untuk terlibat langsung dalam berbagai aktifitas kampanye politik.
Dalam konteks masyarakat Islam, yang sebenarnya hak-hak tersebut sudah diberikan kepada perempuan Islam berabad-abad tahun yang lalu. Walaupun demikian perempuan Islam, terutama di Negara Kuwait belum merasa puas, sebab ternyata di negara Islam, Kuwait misalnya masih tidak mengizinkan kaum perempuan mereka untuk memberikan hak pilih dalam urusan politik.
Hal ini disebabkan karena kaum lelaki menggunakan dalil hadits  Rasulullah SAW yang artinya: “Tidak ada untung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kaum perempuan”. (HR Imam Bukahri). Hadits ini yang terbukti kuat mempengaruhi pandangan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, sehingga menimbulkan kuatnya marginalisasi terhadap para kaum feminis.[71]
Walau demikian, banyak para ahli sejarah dan ahli politik yang masih mencari-cari alasan asbabul khuruj dari hadits di atas. Selain itu, Negara Kuwait yang dihuni mayoritas penduduk yang beragama Islam, juga masih memegang teguh firman Allah SWT “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”.
Hal-hal di atas merupakan salah satu hambatan-hambatan yang terkadang sampai saat ini masih menghalangi perjuangan dan partisipasi kaum perempuan secara bebas untuk membela hak-hak mereka sebagai manusia yang juga memiliki kehidupan sendiri, seperti halnya kaum laki-laki.[72]
2.      Keterbatasan kemampuan dalam hal pengetahuan politik
Hampir di semua Negara, termasuk di Negara Islam, tradisi tetap berlaku untuk menekan dan sering mendikte bahwa peran utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu. Sistem nilai patriarki, kaku dan tradisional menampilkan peran-peran yang tersegresi secara seksual, dan ini yang disebut sebagai ”nilai-nilai kultural tradisonal yang telah mendunia”.
Anggapan-anggapan yang dijadikan kultur dan dikulturkan oleh hampir sebagian besar masyarakat dunia, menjadi salah satu penghalang bagi para kaum perempuan Negara Kuwait untuk memperjuangkan aspirasi politiknya, menghalangi terjadinya kemajuan, perkembangan serta kreativitas perempuan.Masyarakat di seluruh dunia didominasi oleh suatu ideologi tentang ”kedudukan perempuan”. Menurut ideologi ini, perempuan tidak harus memainkan peran “ibu yang bekerja”, yang secara umum diupah rendah dan apolitis.
Ini adalah lingkungan yang paling banyak dihadapi oleh perempuan yakni suatu imajinatif kolektif yang pasti tentang perempuan dalam peran-peran tradisional yang terus berlangsung. Imajinasi tentang seorang pemimpin adalah seorang yang bersifat aseksual dalam berbagai sikap dan pernyataannya, meskipun ia adalah seorang perempuan, kenyataan bahwa adanya aturan permainan laki-laki yang tertulis menyebabkan politisi perempuan pada umumnya, dan perempuan anggota parlemen khususnya, harus mengalami kesulitan yang tidak menyenangkan ini dalam arena politik dunia.[73]
3.      Kurangnya Representasi Media Massa Terhadap Kaum Perempuan

Seringkali media massa cenderung meminimalkan pengungkapan berbagai persitiwa-peristiwa penting yang dilakukan oleh perempuan sebagai partisipasi aktif dalam bidang politik, yang dilakukan untuk kepentingan kaum perempuan. Hal ini pulalah yang dialami oleh kaum perempuan di Negara Kuwait. Media massa di Negara Kuwait untuk beberapa masa, termasuk publikasi-publikasi perempuan tidak diinformasikan secara memadai. Media massa pun juga hampir tidak pernah mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan langkah perempuan dalam masyarakat; tidak juga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan langkah-langkah pemerintah untuk memperbaiki posisi kaum perempuan. Ini bisa dilihat dari 80% propaganda media massa berusaha menunjukkan lemahnya sistem Negara Kuwait dalam mengangkat martabat perempuan. Padahal data-data resmi menunjukkan kemajuan yang signifikan yang dicapai oleh kaum perempuan Kuwait dalam sebuah sistem Islam di Kuwait.[74]

C.    Prospek Perjuangan Politik Kaum Perempuan Di Kuwait
Selain kendala-kendala yang dihadapi, ada juga beberapa hal yang mendorong terjadinya perubahan kebijakan di Negara Kuwait terhadap kaum perempuan dan yang secara signifikan telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya gerakan perempuan di Negara Kuwait, yang menjadikan hal tersebut merupakan prospek pergerakan dan perjuangan politik kaum perempuan memiliki harapan yang sangat menjanjikan, diantaranya:
1.      Sikap fleksibilitas para pemimpin

Cara pandang dan paham yang dianut Negara Kuwait setelah mengalami beberapa kali reformasi, banyak berpengaruh terhadap perlakuan Negara Kuwait kepada kaum perempuan. Hal ini ditandai dengan pemenuhan hak Pendidikan oleh Negara yang sudah dilaksanakan secara efektif.
Adapun landasan dan sumber Islami tentang wanita yang saat ini telah mampu menggeser paradigma Negara Kuwait tentang kedudukan perempuan, sebagai berikut:[75]
a.      QS. Ar-Ruum (30): 22
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang ……”
b.      QS. An-Nahl (16): 97
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari yang mereka kerjakan”
Perempuan juga bisa lebih tinggi di atas laki-laki. Pandangan ini berlaku untuk laki-laki sebagai anak kepada perempuan sebagai ibu. Dalam salah satu Hadits Nabi, dikatakan:“Ridlallâhi fi ridla al-wâlidain wa sukhthullâhi fi sukhthi al-wâlidain/Perkenan Allah tergantung pada perkenan orang tua, dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.” 
Sementara itu, yang dimaksud dengan kedua orang tua sebagai pihak yang berhak memperoleh penghormatan dan kebaktian dari sang anak, pertama kali adalah orang tua perempuan (ibu), baru kemudian orang tua laki-laki (bapak). Dalam salah satu Hadits Nabi yang banyak sekali dikutip oleh literatur keislaman (pada bagian akhlaq), diriwayatkan sebagai berikut: “Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi, siapakah yang paling berhak untuk diberi kebaktian? Nabi menjawab: Ibumu!  Kemudian?, tanya sahabat. Ibumu. Kemudian?, tanya sahabat lagi. Ibumu, jawab Nabi. Kemudian? Bapakmu…”.[76]
Literatur keislaman umumnya menafsirkan Hadits ini dengan menyatakan, bahwa ibu (orang tua perempuan) berhak atas kebaktian anaknya tiga kali lipat dari kebaktian yang patut diberikan kepada bapak (orang tua laki-laki). Sejalan dengan ini, banyak pula dikutip oleh literatur keislaman dan para kiai/muballigh dalam berbagai kesempatan, sebuah Hadits lain yang menegaskan, bahwa “Sorga itu berada di bawah telapak kaki sang ibu.” Suatu Hadits yang diberi tafsiran oleh literatur keislaman sebagai betapa tingginya derajat ibu seharusnya dipandang oleh anak, laki-laki maupun perempuan.[77]
Titik tolak dari wacana yang tersebut, maka posisi perempuan sangat strategis. Di sektor publik, perempuan juga harus diberi peran yang cukup, baik di wilayah politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain. Sebagian masyarakat mungkin  masih berasumsi bahwa bangkitnya peranan perempuan muslim dalam dunia publik baru terjadi di zaman kemerdekaan. Ini merupakan pandangan yang salah. Perjuangan perempuan Islam telah berusia cukup lama dengan bukti adanya Al-Qur'an yang mengisahkan beberapa perempuan, diantaranya dalam surat Al-Naml ayat 23:
Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah kaumnya dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”.

Sedikit banyak, ayat-ayat di atas telah banyak mempengaruhi pola pikir serta kebijakan-kebijakan UUD Negara Kuwait dalam memperlakukan perempuan.

2.      Persepsi Masyarakat yang telah Berkembang
Pendidikan yang tinggi serta wawasan yang luas, membawa dampak positif bagi tata cara pikir para kaum elit politik termasuk pemerintah dan masyarakat Negara Kuwait. Hal ini juga berpengaruh terhadap cara para pemerintah dan masyarakat Kuwait memperlakukan perempuan dalam berbagai aspek.
Kemajuan dalam bidang pendidikan ini merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi perjuangan politik perempuan dan kesadaran akan kesetaraan gender di Negara Kuwait. Hal ini juga dapat dilihat dengan telah adanya kebijakan pendidikan di Kuwait yang memang diperuntukkan bagi semua warga Kuwait, tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan lagi, sehingga tidak mengherankan ketika terjadi keseimbangan yang signifikan antara murid laki-laki dan perempuan di berbagai tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
Dalam bidang pemerintahan, saat ini bisa disaksikan orang yang duduk dalam kursi parlemen, bukan lagi didominasi oleh kaum laki-laki, tapi setelah diikutsetakannya kaum perempuan dalam pemilihan dan diberi kesempatan untuk juga dapat berpartisipasi aktif dan duduk di kursi parlemen, maka kaum perempuan pun saat ini telah bebas bertanggung jawab untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan di berbagai aspek.

3.      Pengaruh perkembangan Global

Saat memiliki kesempatan untuk menduduki kursi parlemen, kaum perempuan Negara Kuwait telah gencar untuk mencari dukungan dari berbagai pihak. Gerakan reformasi yang kini sedang gencar menggeliat di Negara-negara Arab, tekanan dalam negeri dan internasional berpadu menjadi sebuah kekuatan yang mengoyak tabir status quo di Kuwait. Di dalam negeri, kaum wanita telah berjuang hampir 40 tahun demi mendapatkan hak politiknya. Perjuangan tersebut menemui titik terang ketika Amerika Serikat menggulirkan konsep Timur Tengah Raya (Greater Middle East) bagi reformasi dunia Arab pada tahun 2002. 
Seperti ditulis mantan deputi Menteri Luar Negeri AS urusan Timur Tengah, William Burns, pada harian berbahasa Arab Al Hayat, konsep Timur Tengah Raya tersebut bertumpu pada empat butir utama, yaitu;
1.            Harus ada keterbukaan politik dengan memberi tempat yang layak    kepada kaum wanita dan kelompok masyarakat sipil (civil society).
2.            Gerakan demokratisasi di timur tengah harus menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik Arab-Israel dan membangun sistem demokrasi di Kuwait.
3.            Gerakan demokratisasi harus dilakukan secara bertahap.
4.            Demokratisasi harus berasal dari inisiatif kekuatan-kekuatan politik dalam negeri.[78]
Ketika Konferensi Tingkat Tinggi  dilaksanakan di Tunisia pada bulan Mei 2004, memberi respon positif terhadap konsep Timur Tengah Raya tersebut. KTT Arab itu untuk pertama kalinya mengangkat isu reformasi sebagai bagian dari salah satu agenda utamanya. Isu reformasi yang diusung KTT Arab itu berintikan dari empat poin, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, pemberdayaan kaum wanita, dan peran Civil Society.   Isu pemberdayaan kaum wanita Arab menjadi isu tersendiri dalam konsep Timur Tengah Raya. Hal ini disebabkan karena memang peran wanita Arab sangat minim dibandingkan dengan peran wanita dibelahan dunia manapun, dibandingkan dengan kaum wanita Afrika sekalipun yang dikenal secara ekonomi tertinggal.
Dengan adanya rasa diperlakukan tidak adil ini, maka kaum perempuan pun di seluruh dunia melakukan berbagai kegiatan dalam upaya untuk mencari perhatian dunia dan mampu mendapatkan hak mereka kembali. Dan saat ini perjuangan kaum perempuan termasuk kaum perempuan di Negara Kuwait, bisa memetik hasilnya. Hampir semua kegiatan partisipasi politik yang dilakukan oleh mereka mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai organisasi penting di dunia.
                                                                                   




















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN - SARAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan data-data dan fakta-fakta tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dalam perjuangan memperoleh hak-hak politik kaum perempuan di Negara Kuwait, gerakan feminis dari para aktifis yang menfokuskan perhatian mereka terhadap diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan dalam bidang politik sangat berperan besar.
2.      Pemerintah beserta para masyarakat akhirnya dapat membuka ruang yang lebar untuk kaum perempuan berpartisipasi dalam berbagai bidang di pemerintahan. Hal ini diwujudkan dengan berbagai program sebagai wujud dari tindakan nyata mereka demi terwujudnya kesetaraan gender baik kaum laki-laki dan perempuan di Negara Kuwait.
3.      Dalam proses perjuangan politik perempuan di Negara Kuwait, terdapat berbagai hambatan serta kendala-kendala seperti yang ketika berhadapan dengan ideologi Negara yang sangat disandarkan pada Ajaran Agama Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits), juga kepada pemerintah dan masyarakat yang masih sangat menganggap tabu atau sesuatu yang aneh jika perempuan disederajatkan dengan kaum laki-laki, Media Massa yang kurang menanggapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kaum feminis, serta “anggapan” global terhadap kaum perempuan yang masih mengikuti “anggapan” tradisi. Perjuangan politik kaum perempuan juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, tentunya setelah melalui proses perjuangan yang panjang. Dengan demikian, Negara Kuwait kini menjadi Negara dengan gerakan perempuan yang menunjukkan kemajuan dan mampu disejajarkan dengan negara-negara Islam lainnya.

B.     Saran-Saran
Adapun saran-saran yang penulis dapat berikan dengan melihat kondisi yang dipaparkan di atas adalah:
1.      Perlunya representasi yang lebih banyak lagi dari kaum perempuan di pemerintahan, sehingga kendala-kendala yang dapat dihadapi oleh kaum perempuan di Negara Kuwait untuk berpartisipasi dalam politik tidak lagi menemukan kesulitan dalam pelaksanaannya.
2.      Peran Media Massa perlu ditingkatkan dalam memuat isu-isu perempuan dan tidak lagi dijadikan sebagai sesuatu yang tidak relevan, mengada-ada dan tidak lagi mendukung stereotype dan mitos-mitos perempuan.
3.      Perlunya mengubah pandangan beberapa kaum perempuan yang masih terjebak dalam paradigma kuno dalam masyarakat, meningkatkan kepercayaan diri kaum perempuan serta perlunya pendidikan hak-hak serta kewajiban bagi para kaum perempuan hingga menciptakan sinergitas antara perempuan dan laki-laki khususnya dalam pemerintahan di negara Kuwait sehingga partispasi perempuan dalam perjuangan politik dapat terwadahi dengan baik terutama dalam penerapan kebijakan.


DAFTAR PUSTAKADAFTAR PUSTAKA

BUKU :
Adams, Charles J.  1976 "Islamic Religious Tradition"  - The Study of  Middle East - New York: John Wiley & Sons Press
Azwar. 2011. Teror dalam Tatanan Struktur Politik.. PT. Gramedia; Jakarta
Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan. 1995.  Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya. PT. Gramedia Pustaka Utama; Jakarta
Budiarjo Miriam. 1981. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia; Jakarta
CEDAW. 2004. “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – Mengembalikan Hak-Hak Perempuan”. New York; Partners for Law in Develompent (PLD)
Chester L, Horton Paul B dan Haunt. 1992. Sosiologi (terjemahan) edisi ke-6, Erlangga; Jakarta
Mansour ­Fakih. 1991. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hakeem, Ali Hosein. 2005. Membela Perempuan “Menakar Feminisme dengan Nalar Agama”. Jakarta; Penerbit Erlangga
Yubahar Ilyas. 1998. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Zaman Wacana Mulia, Bandung
Ja’far, Dr. Muhammad Anis Qasim. 1988.  Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam). Bandung; Zaman Wacana Mulia
Khan, Said. 2011 Wanita, Gender dan Feminisme – Perjuangan Partisipasi Politik Kaum Perempuan. Rajawali Press; Jakarta
Mernissi, Fatimah. 1999. Pemberontakan Wanita – Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. Mizan; Bandung.
Mosse, Julia Cleves. 1999. Gender dan Pembangunan Yogyakarta; Rifka Annisa Womens’ Crisis Centre dan Pustaka Pelajar
Noor, Ida Ruwaida. 2000. Agenda Demokratisasi oleh dan Untuk Perempuan, The Institute for Democracy and Human Right, Jakarta; The Habibe Centre
Patrik, Kirk. 1994. Partisipasi Politik Kaum Wanita, PT. Danur Wijaya Press; Surabaya,
Robert A. Dahl. 1971. Participation and Opposition, New Haven; Yale      University Press
Rukayyah . 2009. Perjuangan Emansipasi Perempuan dalam Politik, Aceh Jeumpa; Kelompok Anggrek, Mon Jambee, -Bireuen
Saldi, Saparinah. 1995. Pengantar tentang Kajian Wanita, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.
Siskel, Suprijadi. 2004. Gender. PT. Danur Wiajay Press; Surayabaya
Sorensen, George. 1993 “Women­ in Democracy and Democratization: Process and Prospect in A Changing World”. Boulder; Westview Press.
Thohir, Ajid. 2009. Studi Kawasan Dunia Islam – Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik. Jakarta; Rajawali Pers
Tong, Rosemarie. 2011. Feminist Thoguht: A Comprehensive Introduction, Unwin Hyman; London

JURNAL :
Masdar Helmi, Problem Metodologis dalam Kajian Islam, dalam  Paramedia,  Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan, (Surabaya, Pusat Penelitian IAIN Sunan Ampel,  2000
Muhammad Ali Taskhiri, Human Rights, A Study of the Universal and The Islamic Declarations of Human Rights, Departemen of Translation and Publication, Islamic Culture and Relations Organizations, 1997
Paris, A. Yuliani. Pemenuhan Gender vs Pembentukan Biro Wanita. Harian Fajar tajuk Opini. 1988

Russet dan Starr, A. Eby Hara “Decision Making Theory”, Suatu Upaya Teorisasi, Jurnal Politik. 1991





























































No comments:

Post a Comment