Monday, April 4, 2016

pengertian korupsi makalah tentang korupsi

A. Mengenal Korupsi


Definisi korupsi menurut Transparancy International
"Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidal legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka".

Legal View
• Melawan hukum/melanggar hukum
• Menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada padanya karena jabatan/ kedudukannya (abuse of power)
• Kerugian keuangan/kekayaan/perekonomian negara
• Memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi

B. Petunjak Awal: Sumber dari mana saja yang dapat memberikan keterangan tentang korupsi

Petunjuk awal biasanya dari:
1. Whistleblower: Orang yang mau membocorkan informasi. Biasanya berasal dari konflik manajemen antara lain: serikat perkerja, aparat pengawasan pemerintah (BPK, BPKP, Itjen, Itwil, SPI), kontraktor/supplier yang kalah dalam tender, lawan politik, dll)
2. Mempelajari kelemahan sistem dan internal control suatu objek: proyek dengan dana besar, pengadaan barang dan jasa, workflow, dll

C. Initial Investigation/Investigasi Awal
Upaya pengecekan petunjuk awal apakah memang telah terjadi korupsi terhadap suatu objek tertentu atau tidak. Ditujukan terutama untuk menemukan:
• Unsur melawan hukum/melanggar hukum
• Unsur menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada padanya karena jabatan/ kedudukannya (abuse of power)
• Unsur kerugian keuangan/ kekayaan/ perekonomian negara
• Unsur memperkaya diri sendiri

D. Menuju Pemahaman Ekonomi-Politik Korupsi
Analisa korupsi dapat dimulai dari definisi yang relatif umum dipakai yaitu korupsi sebagai penyalahgunaan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi. Namun dalam situasi dimana korupsi dianggap sudah menyebarluas (endemik) kita tetap penting untuk membedakannya berdasarkan karakteristik tertentu dimana korupsi terjadi, seperti antara negara satu dengan yang lain, antar institusi yang berbeda dalam negara yang sama, dan lain-lain.

John Girling memberikan dimensi-dimensi analitis yang dapat dipergunakan. Dimensi-dimensi itu adalah. Luas penyebaran korupsi, yaitu :
a) Insidental-Individual, Korupsi insidental/individual ini dilakukan oleh si pelaku secara individual pada suatu lingkungan/lembaga tertentu dimana sebenarnya lembaga tersebut relatif termasuk ‘bersih’ dalam hal korupsi. Korupsi semacam ini hanya dikenal pada negara-negara dengan tingkat korupsi yang sangat rendah misalnya Selandia Baru, Denmark, dan Swedia.
b) Institusional-Kelembagaan, Korupsi disebut institusional apabila melanda suatu lembaga atau suatu sektor kegiatan tertentu dimana sebenarnya keseluruhan sektor atau lembaga secara lebih luas tidak korup.
c) Sistemik-Sosial, pada kasus semacam ini korupsi sudah menyerang seluruh lapisan masyarakat serta sistem kemasyarakatan. Karena dalam segala proses kerja sistem dari masyarakat, korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Hal semacam ini disebut dengan korupsi sistemik karena sudah mempengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi tingkah laku individu pada semua tingkatan sistem politik, sosial, dan ekonomi. Korupsi jenis ini mempunyai beberapa ciri,
yaitu :
• Inklusif dengan lingkungan sosial-budayanya sehingga diterima sebagai kenyataan pada konteks sosial-budaya masyarakat itu sendiri.
• Cenderung monopolistik dimana korupsi sudah menguasai semua sistem kerja
masyarakat itu sehingga masyarakat sulit untuk mendapatkan atau menentukan
sistem kemasyarakatan yang wajar tanpa korupsi.
• Terorganisasi dan sulit dihindari karena korupsi sudah menjadi proses rutin dalam kehidupan sosio-ekonomi sehingga korupsi itu sendiri menjadi terorganisasi baik secara sadar atau tidak didalam seluruh sistem perilaku individu.

Locus dari perilaku korupsi, adalah :
a) Fungsi dari pemegang jabatan publik, dalam hal ini para birokrat, berdasarkan orientasi pelaksanaan fungsi institusi tersebut seperti apakah pejabat publik merupakan tuan atau pelayan? sebagai pejabat yang independen atau sebagai alat?, jika sebagai alat, perwujudan kepentingan siapakah yang dapat dilayani oleh alat tersebut?
b) Hubungan pertukaran antara kesejahteraan, dan kekuasaan, atau tujuan dari kepentingan publik. Dengan dimensi ini maka korupsi dapat diturunkan menjadi tiga sudut pandang definisi, yaitu berpusat pada pengabaian atas kewajiban pemegang jabatan publik, hubungan pertukaran antara kesejahteraan dan kekuasaan, atau konteks dimana korupsi terjadi dengan mengendarai apa yang menjadi perhatian kepentingan publik.

E. Contoh Temuan Pemeriksaan BPK
Penyimpangan yang ditemukan pada saat pemeriksaan sebesar Rp3.048.882.562,47 atau 0,93 % dari realisasi Anggaran Belanja Daerah yang diperiksa TA 2005 dan TA 2006 sebesar Rp326.463.824.838,00 terdiri atas penyimpangan yang berindikasi kerugian daerah sebesar Rp2.820.975.857,36 atau 0,86 % dan kekurangan penerimaan sebesar Rp227.906.705,11 atau 0,07 % dengan uraian sebagai berikut :

1. Pekerjaan Pembangunan Gedung Prasada Sasana Karya Provinsi DKI
Jakarta TA 2005 Kelebihan Bayar Sebesar Rp469.012.591,96

Bidang Bimbingan Teknik Bangunan Fasilitas Perekonomian Kantor Tata Bangunan dan Gedung (KTBG) Provinsi DKI Jakarta pada TA 2005 telah
melakukan Pekerjaan Pembangunan Gedung Prasada Sasana Karya Provinsi DKI Jakarta yang dilaksanakan oleh PT JKMP berdasarkan Surat Perjanjian Pekerjaan Nomor: 22/PGPSK/KTBG/VIII/2005 tanggal 12 Agustus 2005 senilai
Rp46.131.654.663,00. Jangka waktu pelaksanaan selama 126 hari kalender
terhitung mulai 12 Agustus s.d. 15 Desember 2005. Atas kontrak tersebut
dilakukan Addendum I Nomor: 01/ADD I/PGPSK/KTBG/XII/2005 tanggal 13
Desember 2005 tentang Pekerjaan Tambah Kurang dan Addendum II Nomor:
02/ADD II/PGPSK/KTBG/XII/2005 tanggal 14 Desember 2005 tentang
Perpanjangan Waktu serta Addendum III Nomor: 03/ADDIII/PGPSK/KTBG/XII/2005 tanggal 20 Desember 2005 tentang Eskalasi  Harga. Hasil pekerjaan telah diterima oleh Kepala Bidang Bimbingan Teknik
Fasilitas Perekonomian KTBG Provinsi DKI Jakarta sesuai BA Serah Terima
Pekerjaan Nomor: 09/BAST/PGPSK/KTBG/XII/2005 tanggal 15 Desember 2005
dan telah dibayar lunas berdasarkan SPM Nomor 00336062005 tanggal 30
Desember 2005.

Pemeriksaan atas kontrak pekerjaan tersebut mengungkapkan bahwa
terdapat kelebihan pembayaran atas pekerjaan persiapan, selisih perhitungan
volume buang tanah lumpur dan dewatering sebesar Rp469.012.591,96 dengan
rincian sebagai berikut:
a. Sewa crane dihitung selama 4,5 bulan tetapi berdasarkan laporan prestasi fisik konsultan pengawas pada laporan minggu ke 14 periode tanggal 14 Nopember s.d. 20 Nopember 2005 ternyata sewa crane tersebut belum masuk. Sewa crane baru masuk pada minggu ke 15 periode tanggal 21 Nopember sampai 27 Nopember 2005, sehingga penyewaan crane berikut genset hanya dilakukan selama 1 (satu) bulan sesuai dengan masa kontrak yang berakhir tanggal 15 Desember 2006 dengan jumlah selisih masa sewa selama 3,5 (tiga setengah) bulan sebesar Rp166.254.825,00 (Rp299.258.685,00 – Rp133.003.860,00),
yaitu:
1) Perhitungan Sewa TC dan Genset Berdasarkan Kontrak:
TC : 4,5 bln x Rp47.693.750,00 = Rp 214.621.875,00
Genset : 4,5 bln x Rp18.808.180,00 = Rp 84.636.810,00
Jumlah Rp 299.258.685,00

2) Perhitungan Sewa TC 2 buah dan Genset 2 buah adalah sebagai berikut:
TC : 2 bh x 1 bln x Rp47.693.750,00 = Rp 95.387.500,00
Genset : 2 bh x 1 bln x Rp18.808.180,00 = Rp 37.616.360,00
Jumlah Rp 133.003.860,00
b. Pekerjaan dewatering berdasarkan kontrak seharusnya dilaksanakan selama
4,5 (empat setengah) bulan sebesar Rp231.206.436,00 (4,5 x Rp51.379.208,00), tetapi dalam pelaksanaannya sesuai dengan laporan prestasi
fisik konsultan pengawas ternyata pekerjaan tersebut baru dilakukan pada
minggu ke-6 periode tanggal 19 September 2005. Dengan demikian pekerjaan
dewatering hanya dilakukan selama 3 bulan dan terdapat selisih selama 1,5
(satu setengah) bulan sebesar Rp77.068.812,00 (1,5 x Rp51.379.208,00).
c. Volume pekerjaan buang tanah lumpur sebanyak
7.946,46 m³ dengan harga kontrak sebesar Rp450.119.280,25 (7.946,46 m³ x
Rp56.644,00), tetapi dari hasil pemeriksaan/perhitungan gambar pekerjaan
tersebut diketahui bahwa volume buang tanah lumpur hanya sebanyak
3.962,12 m³ sehingga terdapat selisih kurang sebanyak 3.984,34 m³ (7.946,46
m³ - 3.962,12 m³) senilai Rp225.688.954,96 (3.984,34 m³ x Rp56.644,00/m³),
dengan rincian lampiran I.
Hal ini tidak sesuai dengan:
a. Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 108 Tahun 2003
tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Provinsi DKI Jakarta, Pasal 7 yang menyatakan bahwa Pelaksanaan
Anggaran Belanja Daerah didasarkan atas prinsip-prinsip hemat, tidak mewah,
efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang dipersyaratkan.
b. Surat Perjanjian Pemborongan Nomor 22/PGPSK/KTBG/VIII/2005 tanggal
12 Agustus 2005 atas Pembangunan Gedung Prasada Sasana Karya Provinsi
DKI Jakarta pada Pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pihak Kedua
diwajibkan untuk melaksanakan pekerjaan yang tercantum dalam surat
perjanjian/kontrak ini, sesuai dengan rencana kerja dan jadwal pelaksanaan
pekerjaan.

Masalah ini mengakibatkan kerugian keuangan daerah sebesar Rp469.012.591,96 (Rp166.254.825,00 + Rp77.068.812,00 + Rp225.688.954,96),
yang terjadi karena :
a. Panitia Pemeriksa dan Penerima Barang kurang optimal dalam melaksanakan
tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
b. Kepala Bidang Bimbingan Teknik Bangunan Fasilitas Perekonomian KTBG
Provinsi DKI Jakarta selaku Pengguna Anggaran Cabang kurang melakukan
pengendalian.
Atas masalah tersebut, Kepala Bidang Bimbingan Teknik Bangunan
Fasilitas Perekonomian KTBG Provinsi DKI Jakarta menjelaskan bahwa temuan
tersebut akan ditindaklanjuti dengan melakukan penyetoran ke Kas Daerah
Provinsi DKI Jakarta .

BPK RI menyarankan kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta agar
memerintahkan Kepala Kantor Tata Bangunan dan Gedung Provinsi DKI Jakarta
supaya:
a. Memberikan teguran tertulis kepada Panitia Pemeriksa dan Penerima Barang
supaya lebih optimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
b. Memberikan teguran tertulis kepada Kepala Bidang Bimbingan Teknik
Bangunan Fasilitas Perekonomian KTBG Provinsi DKI Jakarta agar
meningkatkan pengendalian atas kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya
serta mempertanggungjawabkan kerugian daerah sebesar Rp469.012.591,96
dengan menyetorkan ke Kas Daerah dan menyampaikan bukti setoran kepada
BPK RI.







F. Contoh Perkara Korupsi

Dakwaan
Kasus Korupsi dengan terdakwa:
Terdakwa I (T1) : MHL (Kepala Bag.Keuangan Dirjen Perhubungan Laut, Dept Perhubungan)
Terdakwa II (T2) : TW .

Delik-delik yang didakwakan:
MHL dan TW didakwa telah melakukan tindakan sesuai dengan:
Primair : Pasal 2 (1) jo Pasal18 (1) huruf a dan b, (2), (3) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 jo Pasal55 (1) ke 1 KUHP.
Subsidiair : Pasal 3 jo Pasal18 (1) huruf a dan b,  (2), (3) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 jo Pasal55 (1) ke 1 KUHP

Kasus Posisi
Tahun 2001, T1  mengatakan kepada penduduk Desa UF, Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara, bahwa akan menggunakan tanah milik masyarakat Desa UF untuk kepentingan Dirjen Hubungan Laut (Hubla) padahal Dalam Kerangka Acuan Kerja Pusat Pengembangan Perhubungan Laut Wilayat Timur Indonesia thn anggaran 2001 – 2005 tidak tercantum rencana tersebut.
Kemudian diadakan perjanjian jual beli tanah antara T1 sebagai pembeli dengan para pemilik tanah sebagai penjual yang dituangkan dalam akta Jual Beli Tanah yang ditandatangani oleh para pihak dan dibuat oleh PPAT (camat setempat – saksi BK)
T1 telah membayar harga tanah melalui perantara MAH (alm) kepada para pemilik tanah (32 orang) masing-masing Rp. 2.600.000 sedangkan harga yang tercantum dalam akta adalah Rp.4.600.000.
T1 meminta camat setempat untuk membuat SURAT PENETAPAN HARGA DASAR TANAH, dengan harga Rp. 60.000 – Rp. 75.000/M2)  padahal harga asli Rp.1000 – Rp.2000/M2. Camat menolak 3x. Akhirnya menyerah, surat tersebut dibuat sesuai permintaan T1. T1 kemudian memberikan uang Rp. 5 juta kepada camat.
T1 selanjutnya mengajukan surat kepada T2 (tgl 19 Sept 2002) yang isinya menawarkan tanah miliknya untuk dibeli oleh pemerintah cq Dirjen Hubla guna pengembangan pelabuhan umum. T1 melampirkan fotocopy sertipikat tanahnya.
T1 melalui stafnya (saksi MIH) memerintahkan saksi WI untuk membuat 2 suratuntuk DITANDATANGANI oleh T2, yaitu:
- Surat yang ditujukan kepada Kepala Daerah Kec. Pulau Kei kecil yang isinya memberitahukan bahwa areal tanah yang dinyatakan layak untuk pengembangan pelabuhan umum Tual adalah terletak di desa uf. Padahal T2 tidak pernah melakukan penelitian/pengecekan ke lokasi terlebih dahulu.
- Surat yang ditujukan kepada T1 sebagai jawaban atas penawaran T1, yang isinya antara lain memuat agar T1 mengajukan penawaran harga tanah atas rencana jual beli tanah yang akan digunakan sebaai data pendukung pengajuan usul pengadaan tanah ke Menkeu.
T1 kemudian mengajukan penawaran harga tanah sebesar Rp.95.000/M2
T1 kemudian memerintahkan stafnya IH untuk membuat surat usulan revisi ke II DAFTAR ISIAN KEGIATAN SUPLEMEN (DIK-S) thn 2002 yang ditujukan kepada Sekjen Dephub, DENGAN MEMASUKKAN BIAYA UNTUK PEMBEBASAN TANAH PELABUHAN LAUT DI Danar – Tual, Maluku dan biaya retipikat tanah sebesar Rp. 11.300.000.000,- (11 milyar 300 juta rupiah).
Setelah terbitnya SK Menkeu yang menyetujui peningkatan penggunaan dana PNBP untuk jasa pelabuhan, T1 melakukan pertemuan untuk pembahasan usulan revisi ke II DIKS DI Hotel Millenium yang dihadiri oleh Dirjen Anggaran Depkeu dan Dirjen Hubla. Dalam pertemuan tsb, pihak Dirjen Anggaran meminta data pendukung harga pembebasan tanah pelabuhan di Danar, Tual.
T1 kemudian memerintahkan stafnya untuk menyerahkan kepada Dirjen Anggaran 1 lembar asli surat penetapan harga dasar tanah (yg dibuat Bahar Koedoeboen), disertai permintaan agar memasukan dalam revisi II DIKS harga dasar tanah sebesar Rp.75.000/M2.
19 Desember 2002, T1 dan T2 membuat dan menandatangani SURAT KESEPAKATAN JUAL BELI TANAH untuk Daerah Kerja Pelabuhan Umum di Danar/Tual atas tanah milik T1 yang terletak di Desa UF dengan harga Rp.75.000/M2 dan harga keseluruhan Rp.10.875.000.000, tanpa T2 melakukan penelitian lapangan dan T2 sudah pernah tahu bahwa T1 membeli tanah tersebut Rp.10.000/M2.
Dengan ditandatanganinya surat tersebut, telah melanggar Pasal6 (1) dan Pasal2 Keppres No.55/1993 tentang Pengadaan Tanah yang menyatakan bahwa pelabuhan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum; pengadaan tanahnya dilakukan dengan bantuan PANITIA PENGADAAN TANAH, dan pengadaan tanahnya dilakukan dengan cara pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah.
20 Desember 2002, T2 kemudian mengatasnamakan Dirjen Hubla menerbitkan dan menandatangani SK Dirjen Hubla tentang Penetapan Panitia Penaksir Harga Tanah untuk Pembangunan Pelabuhan tersebut. Panitia mana tidak pernah melakukan tugasnya.
T2 pada waktu menandatangani Surat Kesepakatan JB Tanah dan SK Dirjen Hubla tersebut telah memasuki masa pensiun sejak tanggal 1 Desember 2002, sehingga secara hukum T2 tidak lagi punya wewenang untuk bertindak atas nama Dirjen Hubla.
20 Desember 2002, T1 menandatangani surat bukti pembayaran sejumlah Rp.10.800.000.000 sebagai penerima uang kemudian surat tersebut diserahkan kepada Bendahara Rutin DIKS (saksi DD) disertai surat kesepakatan JB Tanah. Selanjutnya, 23 Des 2002 Dammikrot Daulay mengirimkan surat-surat tersebut ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), yang kemudian pada tanggal 24 Desember 2002 KPKN mengeluarkan Surat Perinatah Membayar (SPM) sebesar Rp. 10, 8 M kepada Dammikrot D.
T1 setelah SPM dicairkan dan masuk rekening bendahara kemudian memerintahkan DD untuk mentransfer uang tersebut ke rekening pribadinya.
T1 setelah menerima transfer uang tersebut, kemudian menggunakannya untuk kepentingan pribadi .
T1 kemudian memberikan kepada T2 sebesar Rp. 1 M (lihat hal.43 dan 59 putusan) dan T1 juga memberikan kepada orang-orang tersebut dalam hal 43-44 dan 59-60 putusan.

Putusan
Terdakwa I dan Terdakwa 2 dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian tanah untuk Pelabuhan Laut Tual yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 10,262 miliar.
Putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi No. 01/PID.B/TPK/2005/PN.JKT.PST di atas kemudian diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta (Putusan No. 02/PID/TPK/2005/PT.DKI) pada tingkat banding yang menyatakan bahwa pada prinsipnya alasan pertimbangan dan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah sudah benar dan tepat  dan karena itu alasan dan pertimbangan tadi diambil alih oleh Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi.
Mahkamah Agung berbeda pendapat baik dengan Pengadilan Tinggi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maupun dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, khususnya yang membebaskan para terdakwa dari dakwaan primer . Dalam Putusan nomor  1557 K/PID/2005 Mahkamah Agung menyatakan bahwa judex factie dalam dalam mengambil pertimbangan putusan tersebut telah salah menerapkan hukum. Mahkamah Agung selanjutnya membatalkan dan mengadili sendiri perkara ini dan menyatakan bahwa dakwaan primer bagi para terdakwa yaitu melanggar Pasal 2 (1) jo Pasal 18 (1) huruf a dan b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dinyatakan terbukti.



No comments:

Post a Comment